Menggurat Visi Kerakyatan

Universitas Jember Tak Tegas Tangani Kekerasan Seksual

Terbungkam sebab paksaan diluar nurani. Perempuan, tubuhmu adalah kuasamu. Tak ada yg berhak mengendalikan selain dirimu. Kini saatnya bicara, Lawan! (@duagigikelinci)
72,820

Kasus kekerasan seksual oleh dosen kepada mahasiswinya terjadi di Sastra Inggris,  Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UJ). Sudah lima bulan lamanya laporan dan surat permohonan pemberhentian secara tidak hormat sampai ke sekretaris rektor, namun hingga Maret 2019 masih belum ada keputusan yang jelas.

Ruri (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswi Sastra Inggris, FIB UJ mendapat kekerasan seksual dari seorang dosen laki-laki berinisial HS. Ruri sempat berani jika ceritanya akan kami muat di media Ideas. Alasan Ruri bercerita pada kami, ia ingin kasusnya tidak terjadi pada mahasiswi Sastra Inggris yang lain. Namun Februari lalu ia  mengurungkan niatnya. Ruri sebenarnya ragu dengan hukum di Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih sering kali tidak dapat memberi keadilan bagi korban.

Salah satu kasus kekerasan seksual terbaru menambah ketakutannya. Kasus itu adalah kasus Agni yang ada di Universitas Gajah Mada. Kasus Agni terjadi antar sesama mahasiswa dan Agni merupakan korban kekerasan seksual yang berani bersuara. Namun kasus Agni hanya berakhir damai.

Akhirnya redaksi Ideas memutuskan untuk menghimpun data dari dosen-dosen Sastra Inggris FIB UJ yang pernah mendampingi Ruri. Beberapa di antaranya yaitu Hat Pujiati, Ikhwan Setiawan, dan Sabta Diana. Selain itu kami juga menghimpun data dari pihak kampus yang memproses kasus ini. Mulai dari Ketua Jurusan (Kajur) Sastra Inggris FIB UJ, Wakil Dekan II (WD II) FIB UJ, Kepegawaian UJ, Sekretaris Rektor, Wakil Rektor (WR II), Biro II, hingga Hubungan Masyarakat (Humas) UJ.

14 April 2018, Ruri mengadu pada dua orang dosen perempuannya, salah satunya Hat. Ruri bercerita bahwa ia mendapat kekerasan seksual dari HS. Ruri dan Hat pun cerita pada Ikhwan.

Pada akhir April 2018 Hat dan dua orang dosen Sastra Inggris FIB UJ memutuskan lapor pada Supiastutik  Kajur Sastra Inggris. Mereka menceritakan dengan jelas nama korban serta kekerasan seksual yang ia alami. Ketiga dosen itu pun memberi tahu nama terduga pelaku dan bagaimana ia mendekati korban.

Awal Mei 2018, Kajur pun memanggil Ruri untuk menemuinya di Ruang Sidang. Ia meminta Ruri untuk menceritakan ulang kekerasan seksual yang ia alami. Supik juga meminta Hat dan Ikhwan untuk datang ke Ruang Sidang sebagai saksi.

“Mahasiswa lapor ke saya kemudian saya catat, saya rekam, untuk diberikan berita acara,” tukas Supik. Ia menjelaskan proses penyusunan laporan kronologis kasus Ruri.

Berdasarkan kesaksian Ruri di Ruang Sidang, Supik mengetahui ternyata Ruri bukan satu-satunya korban. Mahasiswi dari beberapa angkatan juga mengalami pelecehan seksual dari HS.

Supik membenarkan jika memang ada mahasiswi lain yang diduga mendapat pelecehan seksual dari HS. Namun mahasiswi-mahasiswi tersebut enggan mengungkap nama dan ceritanya. Ruri satu-satunya mahasiswi yang berani melapor.

Kajur Sastra Inggris FIB UJ, tidak menindaklanjuti kasus pelecehan beberapa angkatan tersebut. Ia hanya fokus pada kasus kekerasan seksual Ruri. Kasus pelecehan seksual seolah tidak menjadi perhatian kampus. Sebenarnya pelecehan seksual tidak hanya terjadi di kampus. Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat ada 708 kasus pelecehan seksual di ranah komunitas yang terjadi sepanjang tahun 2017. Pelecehan seksual tersebut berupa sentuhan fisik maupun tindakan verbal yang tidak korban kehendaki.

Pelecehan seksual maupun kekerasan seksual merupakan tingkatan dalam budaya perkosaan. Sayangnya, saat ini tidak ada hukum mengenai pelecehan seksual. Indonesia hanya mempunyai KUHP yang menangani kekerasan seksual berupa tindakan pencabulan dan perkosaan saja.

Hukum yang tidak jelas mengenai pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia, juga berpengaruh di kampus. Sampai saat ini, tidak ada aturan tegas untuk menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus.

18 Mei 2018, Supik mengadakan rapat jurusan dengan mengundang seluruh dosen Sastra Inggris FIB UJ termasuk HS. Rencananya ia akan membuka kasus kekerasan seksual ini di rapat tersebut atas dorongan Ikhwan selaku sekretaris jurusan. Supik  mengirim undangan pada HS sebanyak tiga kali. HS tak pernah datang.

5 Juni 2018, Supik tetap mengadakan rapat jurusan untuk ketiga kalinya meski HS tidak datang. Forum rapat jurusan Sastra Inggris FIB UJ memutuskan bahwa HS akan mendapat skorsing sampai kasus ini mendapat keputusan sanksi yang jelas dari rektor.

HS merupakan dosen yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan III B. Ia mengajar lebih dari lima mata kuliah di tiap semesternya sejak 2014. Selain itu, HS bertanggung jawab atas ruang kelompok belajar di Sastra Inggris FIB UJ. HS juga menjadi salah satu pengajar di Unit Pelaksana Teknis  (UPT) Bahasa UJ.

Setelah melakukan tiga kali pemanggilan tanpa membuahkan hasil, akhirnya Supik meminta HS untuk bertemu empat mata. HS pun memenuhi panggilan Supik. HS mengaku pada Supik bahwa ia memang memiliki hubungan romantis dengan beberapa mahasiswi. Namun, HS enggan menandatangani laporan kronologis. Ia merasa bahwa apa yang terjadi antara dia dan mahasiswinya itu berdasarkan suka sama suka. “Ada pengakuan dari pelaku bahwa dari beberapa angkatan itu ada yang memiliki hubungan romantisme,” tukas Supik.

20 Maret 2019 Reporter Ideas mengklarifikasi pada HS melalui telepon soal keterlibatannya dalam kasus kekerasan seksual di kampus. Ia membantah laporan yang menyebutkan bahwa ia adalah pelaku kekerasan seksual. “Kalau gak bisa dibuktikan secara meteriil ya gak salah mbak dalam hukum ini,” tukas HS.

HS juga beralasan bahwa ia  tidak memenuhi panggilan Supik dalam rapat jurusan karena merasa dipermalukan. “Aku gak datang karena aku kecewa karena dibiarkan secara terbuka aku dipermalukan seperti itu,” tukas HS.

HS ingin menyelesaikan kasus ini bertiga saja, bersama Supik dan Ruri. Supik tidak memenuhi permintaan HS. “Kalau saya panggil berdua begini saya melihatnya kan bisa saja saya terpengaruh oleh yang lebih pinter kan,” tukas Supik. Ia takut akan terpengaruh pada HS yang menurutnya lebih pandai bersilat lidah.

Supik tetap menyusun laporan kronologis berdasarkan pertemuan empat mata dengan HS. Sesuai kesepakatan bersama dosen-dosen Sastra Inggris, Supik pun membuat usulan surat permohonan pemberhentian secara tidak hormat untuk HS. Laporan dan surat permohonan itu ditandatangani oleh dua orang saksi yaitu Ikhwan dan Sabta.

Supik sempat menunjukkan laporan kronologis pada reporter Ideas. Namun tak sempat membaca lebih lanjut, Supik segera menyembunyikan laporan itu pada tumpukan berkas di mejanya. Ia beralasan bahwa itu rahasia.

Kajur Sastra Inggris itu kemudian mengirimkan laporan dan surat permohonan pemberhentian tersebut pada Titik Maslikatin  yang menjabat sebagai Wakil Dekan II (WD II) FIB UJ.

Supik dan Titik tidak tahu prosedur penanganannya. Mereka menemui Wachju Subchan, Wakil Rektor II (WR II) UJ, untuk berkonsultasi tentang alur pelaporan kasus kekerasan seksual. Namun Wachju tidak menjelaskan alur atau prosedur pelaporan. Ia hanya menyarankan Supik dan Titik untuk melakukan pemeriksaan lalu membuat laporan kronologis.

Setelah selesai menyusun laporan kronologis, Supik dan Titik mengirim berkas itu ke rektorat. Tak lama kemudian, Poedji Waloejo staf kepegawaian pusat UJ mendatangi Titik di kantornya. Poedji memberi tahu bahwa laporan itu tidak sesuai dengan format yang ada di Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 tahun 2010 mengenai disiplin PNS. Seharusnya laporan kronologis itu lengkap dengan tanda tangan dosen terduga pelaku. PP No. 53 tahun 2010 sebenarnya sudah bisa diakses oleh siapa saja melalui internet.

Titik meminta Supik memperbaiki laporan tersebut. “Yang agak lama itu di jurusan. Karena kelengkapannya belum segera dilengkapi,” tukas Titik. Akhirnya pertengahan November Titik  mengirim berkas itu pada rektor.

Menurut PP No. 53 tahun 2010, orang yang berwenang melakukan pemeriksaan dan memberi usulan sanksi kepada PNS yang diduga melakukan pelanggaran, adalah atasan langsung.  Dalam kasus ini, yang berwenang adalah Kajur. Prosedurnya, Kajur memanggil dan melakukan pemeriksaan secara tertutup dengan dosen pelanggar. Bila dua kali pemanggilan tidak hadir, maka Kajur berhak  menetapkan sanksi berdasarkan bukti dan keterangan tanpa ada pemeriksaan. Usai melakukan pemeriksaan, Kajur membuat laporan kronologis dan surat keputusan sanksi dari jurusan, kemudian menyerahkan pada dekanat. Dekanat mengirim laporan ke rektorat. Lalu rektorat memberi keputusan mengenai tindak lanjut sanksi.

Dasar hukum yang kepegawaian rujuk, tidak memuat secara spesifik penanganan kekerasan seksual. Peraturan itu hanya membahas tentang pelanggaran disiplin PNS. Saat ini UJ dan universitas yang lain, tidak punya hukum yang jelas untuk menangani kasus kekerasan seksual di dalam kampus.

Pihak Rektorat Saling Lempar

WR II menganggap kasus yang di Sastra Inggris ini hanya perlu pembinaan saja, tidak perlu melibatkan pihak rektorat. “Sebenernya kalau memang gak ada masalah ya dibina aja di sana.  Itu misalnya sampek pada level pembinaan, diingatkan dan sebagainya cukup sampai di dekan gak perlu kita,” tukasnya. Padahal saat itu ia sudah mengetahui duduk perkara kasus yang ada di Sastra Inggris, karena Titik dan Supik sempat berkonsultasi pada Wachju soal alur pelaporannya.

Jika merujuk pada PP No. 53 tahun 2010,  pihak yang juga bertanggung jawab atas masalah kepegawaian adalah bidang kepegawaian. WR II berwenang atas bidang umum dan keuangan yang membawahi Biro II. Biro II menaungi bagian keuangan dan bagian kepegawaian. Namun WR II enggan memberi keterangan mengenai sanksi dari kasus tersebut.

Wachju mengungkapkan, jika dosen melakukan tindakan yang menyalahi aturan, maka cukup jajaran dekanat yang memproses. “Cukup di level dekan. Tembusannya ke kita. Penetapan sanksi bukan kewenangan dekan. Sanksi itu rektor,” jelasnya. WD II hanya bertugas mengirimkan laporan ke rektorat. Rektor melalui rapat bersama jajarannya yang menetapkan sanksi.

Wachju menyarankan reporter Ideas untuk mengonfirmasi pada sekretaris rektor soal  laporan itu. Kami pun langsung mendatangi ruangan sekretaris rektor. Saat kami konfirmasi, salah satu sekretaris rektor yang bernama Dhimas Darmadhiar Irawan langsung  terdiam beberapa detik mengawasi kami. Ia mengalihkan pandangan, menghadap komputer, tetapi jarinya tidak bergerak untuk mencari file di komputer. Anehnya, Dhimas malah meminta kami menyebutkan nomor surat yang bahkan kami tidak tahu.

Keesokan harinya kami pun menemui Titik untuk meminta nomor surat. Namun Titik malah mengernyitkan dahi dan heran pada permintaan sekretaris rektor itu. Surat dan laporan yang ia kirimkan bersifat rahasia. Tapi sekretaris rektor malah meminta reporter IDEAS untuk meminta nomor surat itu pada Titik. Akhirnya Titik membekali kami memo agar bisa bertemu dengan Poedji, staf kepegawaian yang sempat membantunya melengkapi laporan.

Kami mendatangi ruangan kepegawaian dan langsung bertemu dengan Poedji. Ia menodong kami dengan pertanyaan “Mau wawancara soal pak H ya?”

H yang Poedji maksud, merujuk pada HS. Padahal kami hanya ingin memperjelas sudah sampai mana rektorat menangani laporan kasus kekerasan seksual ini, bukan mencari tahu sosok pelaku, apalagi korban.

Poedji mengajak kami memasuki ruang Kepala Bagian (Kabag) kepegawaian. Di sana, sudah ada Mohammad Sabar, Kabag kepegawaian dan salah satu stafnya. Mereka sepakat dengan Titik bahwa laporan itu bersifat rahasia. Sabar mengatakan bahwa kepegawaian memang akan ikut memproses kasus tersebut. Namun mereka menunggu mandat dari pimpinan yaitu rektor. “Istilahnya sudah terkirim ke rektor, ya kita jujur saja di kepegawaian memang memproses tapi memprosesnya tunggu dari pimpinan” ungkap Sabar. Hingga 29 November 2018  belum ada mandat apapun dari rektor terkait proses kasus tersebut.

Kami tidak meminta WD II, kepegawaian, dan sekretaris rektor untuk menunjukkan surat dan laporan kekerasan seksual di Sastra Inggris FIB UJ. Kami hanya meminta kejelasan apakah surat dan laporan dari Sastra Inggris FIB UJ sudah sampai ke rektor. Setelah menemui mereka, kami masih belum mendapat kejelasan.

Akhirnya, kami kembali mendatangi ruangan sekretaris rektor. Dhimas tidak ada di ruangannya, hanya ada sekretaris rektor yang lain. Kami pun meminta wawancara dengan rektor. Sekretaris rektor itu menyuruh kami menyerahkan surat tugas wawancara. Kemudian ia berjanji akan memberi kabar seminggu lagi.

Tujuh hari berlalu, alih-alih bisa wawancara rektor, Agung Purwanto kepala Hubungan Masyarakat (Humas) UJ malah menghubungi Ideas. Ia mengaku bahwa rektor telah memberikan mandat padanya untuk memenuhi permintaan wawancara Ideas.

Dalam menanggapi kasus ini, Agung mengacu pada UU Aparatur Sipil Negara (ASN) No. 5 tahun 2014. Menurut UU ASN, PNS dapat diberhentikan secara tidak hormat. Keputusan itu berlaku apabila PNS yang bersangkutan mendapat hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan dan menjadi terpidana.

Agung menyimpulkan bahwa kasus ini hanya akan berakhir pada catatan kepegawaian. Catatan ini berpengaruh pada kenaikan pangkat dosen dan sertifikasi. “Satu menunda kenaikan pangkat, dua mencoret nama yang diusulkan untuk menerima sertifikasi karena ketidakcukupan angka kredit,” ujar Agung menjelaskan tindak lanjut dari laporan dan surat permohonan pemberhentian dari Sastra Inggris FIB UJ.

Agung mengungkapkan bahwa skorsing yang diberikan pada HS sudah merupakan hukuman. Pemberlakuan skorsing hanya berlaku sampai rektorat menetapkan sanksi. Padahal, skorsing merupakan prosedur dalam menangani pegawai yang bermasalah sesuai PP No. 53 tahun 2010, bukan sebagai hukuman. Meskipun mendapat skorsing, HS pun tetap mendapat gaji.

Agung malah menyuruh kami mengajak Ruri untuk lapor ke kepolisian jika ingin HS mendapat hukuman yang berat. Ia menganggap Ruri pengecut ”Ajak temenmu yang jadi korban dan laporkan ke polisi. Jangan gini-gini tok aja, sama-sama pengecutnya,” tukas Agung sembari menyeringai.

Ia membandingkan kasus kekerasan seksual ini dengan pengalamannya mengajar di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Ia merasa terganggu dengan mahasiswi yang menurutnya menggunakan baju ketat dan rok pendek. Agung langsung mengusir mahasiswi tersebut. “Segini lengannya mbak, jangkis, ininya ketat, ininya menonjol. Duduk di depan sendiri,” kata Agung menggunakan bahasa Jawa sambil memegang dadanya, menunjukkan bagian yang ketat dari baju mahasiswi tersebut. Saat berkata ‘menonjol’, Agung menunjuk bagian perut.

“Pindah! Anda tidak sopan. Keluar!” tukas Agung menggunakan bahasa Jawa, sambil menunjuk ke luar pintu, memperagakan pengusiran tersebut.

Kepala Humas UJ itu menyimpulkan bahwa perempuan yang memakai baju menurutnya ketat termasuk dalam porno aksi dan mengundang terjadinya pelecehan seksual. “Kalau perempuan tidak ingin dilecehkan, jangan mengundang provokasi,” jelasnya.

“Saya juga punya hak untuk tidak mendapatkan pemandangan buruk, kalau undang-undang itu anti pornografi pornoaksi,” kata Agung. Ia malah mengaitkan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus dengan undang-undang pornografi dan porno aksi.

Kasus Kekerasan Seksual Kalah dengan Akreditasi

Hingga 5 Maret 2019 tidak ada keputusan yang jelas terkait sanksi yang akan HS terima. Kami kembali menemui Supik untuk menanyakan lebih lanjut kejelasan kasus kekerasan seksual Ruri. Alih-alih memberi tanggapan, Supik malah meminta kami untuk menghentikan pemberitaan karena takut kasus tersebut akan merusak akreditasi Sastra Inggris FIB UJ.

Ia pun enggan memberi tanggapan karena ia mengaku sedang sibuk mengurus berkas-berkas akreditasi. “Sekarang orang-orang lagi sibuk ngurus borang dan evaluasi diri. Saya gak mau ini besar, sebelum akreditasi selesai,” ujar Supik.

Kajur sastra inggris itu menganggap bahwa tugasnya telah selesai karena ia sudah mengirimkan berkas-berkasnya ke pihak rektorat. Ia pun berkata bahwa laporan itu sudah diproses di tataran rektorat.

Masih di hari yang sama, kami kembali meminta wawancara dengan rektor. Lagi-lagi sekretaris rektor menyuruh kami menemui Humas saja. Agung kembali kami temui. Ia menyuruh kami untuk langsung menemui Biro II yang menaungi bidang kepegawaian, untuk memastikan sejauh mana perkembangan laporan kasus kekerasan seksual di Sastra Inggris FIB UJ.

Namun saat kami temui, Biro II bahkan tidak tahu apa-apa tentang kasus tersebut. Hingga 5 Maret 2019 biro II tidak menerima mandat apapun dari rektor terkait kasus kekerasan seksual.

“Kok belum pernah ya? Sudah masuk ta?” tanya Biro II saat kami konfirmasi. Ia menyarankan kami untuk memastikan kembali ke sekretaris rektor.

Kami pun mendatangi sekretaris rektor. Ada Dhimas di sana. “Sudah diproses kok, Mbak,” katanya ketika kami tanya lagi soal surat dan laporan kasus kekerasan seksual di Sastra Inggris FIB UJ. Kami tanya tanggal surat dan laporan masuk. Akhirnya ia mencari laporan dan surat itu di komputernya.

“Ini kan yang sampean mau?” katanya. Dimas menunjukkan tanggal dan perihal surat laporan kasus kekerasan seksual pada kami. Ternyata surat tersebut sudah sampai ke sekretaris rektor bahkan sejak 16 November 2018.

Dari sekian banyak birokrasi yang terlibat, menunjukkan mereka tidak tegas menangani kasus kekerasan seksual. Birokrat UJ saling lempar. Hukum dan aturan mengenai kasus kekerasan seksual maupun pelecehan seksual di kampus tidak ada.

Ketua Jurusan Sastra Inggris pun bahkan menganggap laporan itu sudah pihak rektorat tangani. Padahal, dari 16 November 2018 hingga 5 Maret 2019 belum ada proses yang jelas di tataran rektorat. Sudah lebih dari lima bulan kasus itu tersendat.

Kami melakukan survei dari bulan April hingga Juni 2018. Hasil dari survei tersebut menyatakan bahwa 33 orang dari 70 responden memilih diam ketika mendapat pelecehan seksual. Sedang 42 orang menyatakan bercerita kepada teman. 14 orang berani melapor pada orang tua dan dua  lainnya berani melapor ke aparat keamanan. Survei tersebut membuktikan bahwa tidak banyak korban kekerasan maupun pelecehan seksual yang berani bersuara, apalagi melapor ke pihak yang bertanggung jawab dan kepolisian.

Ketika korban kekerasan seksual berani melapor seperti yang Ruri lakukan, kasusnya belum tentu selesai. Ruri bahkan mengalami ketakutan dan tekanan yang berlipat karena harus menceritakan kisahnya berulang-ulang pada banyak pihak. Bukannya memperjuangkan keadilan untuk Ruri, kampus malah sibuk urus akreditasi.

Sampai saat ini tidak ada prosedur hukum yang jelas untuk menangani kasus kekerasan dan pelecehan seksual di dalam kampus. Bahkan di luar kampus pun hukum masih tidak berpihak pada korban. Berapa banyak lagi Ruri, Agni, RW, Dias, yang harus mengalami ketidakadilan? [].

Leave a comment