Menggurat Visi Kerakyatan

Menceritakan Penyintas 65 Melalui Film Dokumenter

936
Dliyaur Rohman (Foto: Dok.Pribadi)

30 September 2017 lalu tanah air dihebohkan dengan pemutaran kembali film Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Redaksi Ideas kali ini berkesempatan mewawancarai Dliyaur Rohman, Mahasiswa Program Studi Televisi dan Film (PSTF) yang pernah menjadi anggota dari Layar Kemisan. Ia sedang mengerjakan Film dokumenter sebagai tugas akhirnya. Film dokumenter tersebut menceritakan tentang penyintas  65. Mari simak obrolan kami.

Denger-denger Mas Dliyak lagi sibuk bikin film untuk tugas akhir, itu filmnya tentang apa ya mas?

Iya nih, bikin dokumenter dikerjakan kolektif bareng dua teman lain, dengan Fauzi Rahmadani dan Agus Fadiyani. Bercerita tentang dua orang yang jadi subjek utama film. Subjek pertama Slamet AR atau biasa kami panggil Bung Slamet, beliau sedang berjuang mendirikan sanggar yang diberi nama Angklung Soren dan sanggar ini dia dedikasikan untuk melestarikan tari dan lagu asli Banyuwangi. Subjek yang kedua Bambang Ruswanto yang pernah menjadi tahanan politik selama 12 tahun tanpa kejelasan apa kesalahannya, Juga cerita tentang kehidupan sekarang beliau yang melayani umat dengan mengabdi menjadi pendeta di salah satu gereja di Genteng Banyuwangi.

Apa yang ingin mas sampaikan dalam film itu?

Keinginan aku ya bagaimana cerita tentang perjuangan seorang seniman yang tulus seperti Bung Slamet dan bagaimana Mbah Rus yang terus bersemangat menjalani aktivitasnya dalam beribadah dan melayani umat itu dapat tersampaikan kepada masyarakat yang lebih luas. Sesederhana itu sebenarnya.

Film itu ada kaitannya sama penyintas 65 kan ya mas?

Bung Slamet dan Mbah Rus itu penyintas 65.

Gak takut dihadang antek-antek orba mas? Haha

Tidak ada darah dan amarah dalam film ini, ya semoga yang kamu sebut antek Orba itu juga tak memiliki amarah dalam memahami film ini.

Bagaimana tanggapan mas soal pemutaran film G30S/PKI, yang pas Orba dulu wajib ditonton dan kini marak diputar kembali?

Sudah banyak film, kajian ilmiah, atau riset terbaru tentang peristiwa 65, ngapain kembali ke film itu lagi. Banyak sekali film baru yang menarik untuk ditonton tentang peristiwa 1965, ada film “Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jendral” bikinan pelajar Purbalingga yang menyabet beberapa penghargaan di festival film, ada garapan Lexy Rambadetta berjudul “Mass Grave” ada “Rante Mas” karya BW Purba, ada juga “Act  of Killing” dan “The Look of Silence” yang nominasi Oscar.

Menurut mas, gimana sih mas pengaruh film dalam mempengaruhi pandangan masyarakat?

Menurut kengawuranku ya. Bagi aku saat film telah tersusun menjadi rangkaian shot, bahasa film lahir. Terus biasanya unsur-unsur artistik yang  berada di film dibangun sedemikian rupa untuk menyusun argumen tentang satu pokok pandangan tertentu. Saat semua itu terbangun, mungkin itu yang bisa mempengaruhi efek-efek tertentu bagi tangkapan penonton. Apalagi film sifatnya kan menjangkau khalayak luas.

Setauku Mas Dliyak sering ikut workshop dan seminar film, nah itu gimana cara membangun jaringannya mas? Mas ikut komunitas gitu ta?

Duh, jarang kok. Satu dua kali saja.

Dengan ikut beberapa kali workshop atau seminar itu film itu cara Mas Dliyak bangun jaringannya gimana mas?

Ya salah satu yang memperluas jaringan pertemanan ya ikut komunitas, kalau dikatakan ikut komunitas aku pernah belajar di Layar Kemisan. Aku beruntung pernah belajar di Layar Kemisan.

Leave a comment