Barangkali valentine bukan satu-satunya jenis perayaan yang tak saya ketahui asal muasalnya. Beberapa jenis perayaan yang lain juga melalui proses penga-ada-an kurang lebih serupa. Itu menurut saya bedasarkan segala kemungkinan yang telah saya himpun sebelumnya.
Pernah saya membayangkan, mengapa valentine disebut sebagai valentine. Mengapa valentine disebutkan mempunyai sejarah semacam itu, kemudian disimpulkan atau diseret secara paksa untuk menjadi titik tekan sebuah momentum. Mengapa yang ini bisa disebut sebagai valentine sedangkan yang itu bukan termasuk valentine. Apakah ada pembekuan atas sebuah ide yang di sekitarnya telah ditanami batas-batas. Di luar batas itu yang disebut valentine akan menjadi bukan valentine.
Mungkin bukan hal yang aneh jika segala jenis pemikiran yang lalu lalang dipikiran kita sangat sulit diterjemahkan. Hal tersebut tentu saja dilakukan karena antar satu orang dengan yang lain berinteraksi sekaligus saling menyampaikan informasi. Maka dari itu pemikiran atau ide yang akan didistribusikan harus dimanifestasikan dahulu. Maka hadirlah dia yang sebelumnya ada sebagai bukan yang tampak menjadi dia yang ada secara penampakan.
Akan tetapi ide dengan manifestasi atas ide punya celah yang rapuh. Bisa jadi keretakan itu membuat keduanya berjalan sendiri-sendiri. Dalam artian ide akan mencari maksudnya sendiri sedangkan manifestasi atas ide akan mendapatkan maksudnya sendiri pula. Bisa juga kita menyebut celah atau keretakan manifestasi itu sebagai bagian dari noise dalam berkomunikasi.
Dalam beberapa kasus, kita akan menemukan renik noise. Misalnya saja ketika anda pulang ke rumah. Lalu anda terlibat dalam kebiasaan keluarga yang menurut anda menjijikkan. Ibu anda yang tergila-gila pada tayangan telenovela sedang menguasai remot televisi. Anda dan seluruh keluarga terjebak di dalamnya.
Kemudian muncul inisiatif anda untuk mengajak seluruh elemen keluarga tertawa. Anda bermaksud mengerjai Ibu dengan cara mematikan sakelar listrik rumah. Maksud anda di awal memang ingin membuat Ibu marah-marah lalu keluarga anda yang lain ikut menertawakan kemarahan Ibu. Namun ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Ibu anda memang marah-marah, terlebih ternyata keluarga anda yang lain juga ikut memarahi anda karena telah mengerjai ibu. Maksud anda memang Ibu akan ditertawakan karena punya kebiasaan buruk. Kemudian Ibu pun menyadari bahwa ternyata selama ini dia telah melalukan kebiasaan buruk. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Atau barangkali dengan kasus sederhana yang lain. Misalnya di ruang tunggu stasiun kereta api anda merangkul seorang teman. Memang sang teman mempunyai jenis kelamin yang sama dengan anda. Kala itu maksud anda ialah merangkul atas dasar kerekatan hubungan pertemanan. Sebelum berpisah, anda lebih memilih memeluknya karena merasa dia akan kembali seteleh melewati waktu yang panjang. Namun orang-orang disekitar anda memaknai kejadian itu sebagai pasangan homo atau lesbi yang sedang dalam jenjang menuju perpisahan.
Bisa jadi dalam beberapa kasus tersebut noise telah berhasil menunjukkan eksistensinya. Ternyata ide atau pikiran bisa berjalan terpisah dengan manifestasi. Masing-masing dari mereka tidak berjalan dengan bergandengan tangan. Dari sana bisa kita simpulkan secara sementara jika setiap ide yang disampaikan memang retak.
***
Bukan hal yang aneh memang jika di masa remaja kita sudah pernah terlibat pada budaya yang tak sepenuhnya kita pahami mengapa ada. Di masa SMP dan SMA, pada setiap tahun ajaran terselip satu momentum budaya remaja yang aneh. Setau saya kala itu teman-teman memaknai valentine sebagai hari kasih sayang. Lantas kemudian yang tak saya pahami sampai sekarang, mengapa kasih sayang harus dimanifestasikan lewat sebatang coklat. Di sisi lain ternyata bukan hanya coklat yang dijadikan simbol maksud kita (memberikan berarti menyayangi orang yang diberi) yaitu beberapa barang yang berhubungan dengan area romantis remaja. Misalnya saja bunga, boneka, atau makanan yang disukai pasangannya.
Awalnya saya menganggap itu jenis perayaan yang biasa saja. Dia akan terus ada walaupun tanpa kehadiran saya. Anehnya lagi, kala itu saya menganggap memang hal tersebut sejenis ritual yang harus dilakukan jika mempunyai seseorang yang disayangi. Saya memang menunaikan ritual itu juga dengan senang hati dan merasa bangga.
Belakangan ini saya teringat kembali momen itu. Kemudian merasa gelisah dengan budaya khas remaja yang pernah saya jalani sendiri. Apakah mungkin saya punya makna yang sama tentang hal itu dengan pembuat budaya itu. Dalam artian makna yang saya berikan pada perayaan valentine apakah sesuai dengan maksud si pembuat budaya itu. Entahlah saya tidak mengetahui secara penuh mengenai hal itu.
Namun yang lebih saya risaukan mengenai cara merayakannya. Bagaimana mungkin maksud saya atas sebuah coklat yang saya berikan sesuai dengan makna yang diproduksi oleh orang yang saya beri. Padahal kala itu saya dan teman-teman cowok yang lain berkonsultasi mengenai barang apa yang akan diberikan terlebih dahulu. Entahlah mengapa masing-masing dari kami kala itu menganggap semakin mahal harga coklat maka akan semakin besar rasa sayang kami pada seseorang yang akan diberi. Pada akhinrnya kami bareng-bareng pergi ke luar kota hanya untuk mencari coklat yang paling mahal. Saya masih ingat kalau waktu itu pulang dari luar kota dengan membawa satu tas kresek berisi coklat putih. Saya lupa apa nama mereknya, akan tetapi saya yakin itu coklat mahal dengan merek berkelas. Pasalnya sebelum memastikan untuk membeli, saya sudah terlebih dahulu bertanya pada situs search engine Google.
Hasilnya, ada sebagian teman memasang raut muka yang bahagia sedangkan yang lainnya tidak. Mereka yang terlihat tidak bahagia itu terjadi karena seseorang yang mereka berikan coklat ternyata tidak suka coklat. Beberapa teman yang beraut muka bahagia itu karena coklat yang mereka berikan dibalas dengan coklat mahal. Sedangkan saya tidak. Coklat putih mahal yang saya berikan ditukar dengan sebatang coklat Silver Queen yang bisa dipastikan dibeli dari Indomaret depan sekolah. Sampai lebih dari tiga hari setelah ritual saling tukar coklat itu saya memasang ekspresi muka cemberut. Hari-hari saya kala itu dihantui dengan pemikiran bahwa dia sudah tidak sayang lagi. Pikiran saya penuh dengan bagaimana cara memusutkan hubungan dengannya. Namun tak sampai putus, di hari keempat saya berubah pikiran. Saya menganggap senyuman yang selalu dia berikan lebih mahal dan lebih manis dari coklat manapun. Terlebih saya kagum dengan cara dia mendapatkan coklat. Dia harus menabung jauh-jauh hari. Sedangkan saya membeli coklat mahal dengan terlebih dahulu meminta uang pada Ibu.
Barangkali kita bisa menyatakan bahwa dengan mudah dan instan sekali makna berpindah tangan. Di sisi lain setiap perpindahan tak selalu berwujud sama dengan yang sebelumnya. Atau mungkin yang lebih merisaukan lagi jika setiap saat makna atas benda yang sama bisa terus bereproduksi dengan kilat dan berganti-ganti rupa. Barangkali itulah noise.[]