Menggurat Visi Kerakyatan

Mitos kebangkitan PKI

Komunisme bukanlah partai, apalagi harus identik dengan PKI. Ia hanyalah idelogi usang yang sudah terbukti pernah gagal diterapkan di Uni Soviet. Cina pun sekarang sudah mulai bergeser menjadi negara kapital.

1,031

SAYA hanya ingin sedikit mengulas peristiwa-peristiwa kemanusiaan apa yang coba diungkapkan oleh redaksi Majalah Lentera dalam majalahnya. Selain sebagai upaya mewacanakan ulang hal-hal yang dianggap tabu, juga bentuk apresiasi saya secara pribadi karena mereka telah bersusah payah melakukan riset, menghimpun data wawancara untuk kemudian ditulis dalam bentuk narasi mendalam. Sebuah upaya yang sulit dan melelahkan. Mengingat tidak semua orang yang pernah menjadi korban, mau diwawancarai akibat trauma paska konflik.

Awak redaksi LPM Lentera juga telah berjasa dalam menyelamatkan fakta-fakta sejarah kemanusiaan di Salatiga. Setidaknya sudah mereka mulai sejak jadi mahasiswa. Menyelamatkan dalam arti, fakta-fakta yang dihimpun bersumber dari saksi, pelaku, dan korban berusia senja. Dalam hitungan tahun ke depan, bila para narasumber kekerasan 1965 tidak diwawancarai, maka ragam peristiwa sejarah G30S di tingkat lokal akan semakin sulit terungkap. Hilang ditelan kubur bersama kisahnya masing-masing. Apalagi negara sampai sekarang belum melakukan rekonsiliasi, terhadap kasus kekerasan dan banyak pelanggaran kemanusiaan lain yang dialami para korban.

Upaya para awak redaksi LPM Lentera dalam pemberitaan mengenai pembunuhan massal pasca peristiwa G30S di Salatiga, bila dipahami betul, mereka hanya ingin memberikan cerita tentang kasus kejahatan kemanusiaan oleh negara era Orde Baru. Tanpa ada maksud kebencian. Apalagi membela PKI dalam konteks politik, ajaran dan gerakannya. Sama sekali tidak ada. Paling banter hanya memberikan versi baru, untuk kembali mewacanakan bahwa PKI beserta simpatisannya –setidaknya yang ada di daerah-daerah –tidak tahu sama sekali tentang peristiwa G30S, apalagi tentang pembunuhan dan penyiksaan para jenderal di lubang buaya.

Selebihnya hanya mengungkap kejahatan kemanusiaan di Salatiga yang didukung militer. Bagaimana proses eksekusi para PKI, simpatisannya atau yang menjadi korban tuduhan, harus kehilangan nyawa. Sisanya mengalami trauma panjang akibat intimidasi, pengasingan atau diskriminasi hak sipil.

Dalam rubrik Liputan Khusus berjudul “Hingga Tengaran Banjir Darah” yang dimuat Majalah Lentera, Alexio Alberto Caesar menulis kisah seorang saksi penggali lubang eksekusi. Namanya Kasrowi, sudah berumur 80 tahun. Bersama warga dusun Cabean, Kasrowi disuruh aparat militer untuk membuat banyak lubang. Satu lubang untuk satu truk tawanan.

Pada satu kesempatan, Kasrowi pernah menyaksikan seorang perempuan yang sulit dibunuh. Sebelum mati karena dikubur hidup-hidup, perempuan tersebut lantas berkata, menunjukkan bahwa dia tidak salah apa-apa, “Ealah kok aku koyo ngene, ojo nganti turun anak putuku, aku iki ora salah apa-apa (Ealah, kenapa saya seperti ini, jangan sampai hal ini berlanjut sampai anak cucu saya, saya ini tidak salah apa-apa).

Sudut pandang lain ditulis oleh Galih Agus Saputra, dalam liputan khusus berjudul “Saksi Dari Lubang Buaya. Galih menulis kisah seorang senior Pemuda Rakyat – organisasi yang berafiliasi dengan PKI –dari Jakarta yang menyaksikan pembunuhan Jenderal di lubang buaya dalam peristiwa G30S 1965. Ia yang tidak mau disebutkan namanya, bisa berada di lokasi lubang buaya karena bergabung menjadi relawan saat Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Para relawan seringkali berlatih di kawasan lubang buaya.

Galih mendapat informasi bahwa tarian Harum Bunga dan lagu Genjer-Genjer tidak ada kaitannya dengan peristiwa G30S. Tarian dan lagu Genjer-genjer hanyalah sebagai hiburan usai latihan. Cerita versi Orde Baru tentang Gerwani melakukan pesta seks dengan tarian Harum Bunga serta menyanyikan lagu Genjer-Genjer untuk perayaan kematian para jenderal sepenuhnya tidak pernah terjadi.

Pada waktu itu, ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam peristiwa G30S, sehingga harus diasingkan ke pulau Buru. Setelah 17 tahun diasingkan, pada 1979 ia dibebaskan: bisa pulang dan mengakses informasi. Setelah bebas ia baru menyadari apa yang sedang terjadi pada peristiwa G30S.

Satu lagi, hasil liputan yang bagi saya menarik untuk disinggung. Tulisan hasil reportase dari Efatania Krispaty dan Gabrilla Harsinta Putri yang berjudul “Dapat Perintah Eksekusi Dari Tentara”. Mereka berhasil mewawancarai Yosi Dumeri, seorang anggota Banser yang pernah diangkat sebagai penjaga tahanan politik. Berita tersebut ditulis dengan sudut pandang orang pertama seperti catatan dari narasumber secara langsung.

 

SAAT peristiwa G30S 1965 meletus, kubu masyarakat sipil yang tidak sejalan dengan PKI dan korban kebohongan informasi (kisah 1965 versi Orde Baru),  seperti PNI, NU dan Ormas-ormas di Salatiga lainnya seperti Banser, Kokam, Pemuda Marhaen, GAMKI, GMKI, Pemuda Katolik dan PMKRI, tergabung menjadi satu dalam wadah Pasukan Garuda Pancasila.

Terbentuknya persatuan Pasukan Garuda Pancasila, tidak lepas dari peran aparat Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Pasukan Garuda Pancasila kemudian dilatih secara militer oleh RPKAD untuk menumpas PKI dan simpatisannya. Yos Dumeri yang ikut dilatih untuk kemudian ditugaskan menjaga tahanan politik, bercerita bagaimana ia dipersenjatai dan disuruh membunuh, bila ada yang tidak patuh atau melawan, Kami diberi senjata panjang le, yang diisi peluru demi keamanan bersama. Jadi apabila ada tahanan yang memberontak maka dia akan mati.”

Selama bertugas, Yos Dumeri mengaku tidak pernah membunuh tahanan politik, apalagi berbuat keji dengan menggauli istri dan merampas harta tahanan, seperti yang dilakukan para Banser lain.

“Saya berbeda dengan anggota Banser lain yang sering melakukan kesalahan dalam menangkap dan bertindak keras serta mempunyai motivasi lain untuk menggauli isteri orang PKI maupun mendapatkan harta mereka. Saya tidak demikian. Selama bekerja, kami seringkali diberikan perintah dari tentara untuk mengeksekusi tapol. Namun saya tidak pernah…”

Dari ulasan singkat di atas, setidaknya sudah bisa mewakili beberapa bagian tentang apa yang ingin diungkap oleh awak redaksi LPM Lentera. Bahwa para korban pasca G30S di Salatiga, tidak tahu-menahu apa kesalahan mereka dan Angkatan Darat merupakan pihak yang mendalangi peristiwa pembunuhan massal di daerah. Tentunya kisah-kisah yang diungkap redaksi LPM Lentera tidak ada hubungannya dengan mitos kebangkitan PKI.

Justru untuk pembelajaran agar peristiwa kelam tersebut tidak terulang kembali dan negara mau melakukan rekonsiliasi: paling tidak bisa mengurangi rasa takut dan trauma para korban. Seperti yang diungkapkan Bima Satria Putra, Pemimpin Redaksi Lentera dalam editorialnya, “Mereka hidup dalam katakutan, bahkan ketika tirani telah tumbang, mereka masih takut[…]kami berusaha untuk mencari fakta tentang peristiwa yang selama ini buram bagi generasi kami.”

Tapi sayangnya, aparat kepolisian masih saja salah sambung. PKI sudah sangat usang tidak ada di Indonesia. Lambangnya tidak lebih hanya sebatas kenangan kelam. Perlu dipahami ulang, PKI adalah partai politik yang menganut paham komunisme. Dan komunisme bukanlah partai, apalagi harus identik dengan PKI. Ia hanyalah idelogi usang yang sudah terbukti pernah gagal diterapkan di Uni Soviet. Cina pun sekarang sudah mulai bergeser menjadi negara kapital.

Apabila ada generasi sekarang yang coba menyelami lautan Das Kapital Kalr Max yang tebal itu, atau membaca tulisan Leon Trotsky tentang teori revolusi permanen, catatan pemikiran Che Guevara dan  sebagainya, saya rasa itu hanya sebatas untuk pengetahuan akademik. Tidak lebih. Sudah sedari dulu, ketika reformasi bergulir, rasa phobia terhadap kebangkitan kembali PKI harus dihilangkan. Ia hanyalah mitos politik yang diproyeksikan agar kisah-kisah kejahatan kemanusiaan pasca 1965 yang dilakukan oleh aparat negara, terus dilupakan.[]

Leave a comment