PADA pertengahan bulan Agustus 2015, tiga orang Mahasiswa Universitas Jember harus diinterogasi pihak kepolisian gara-gara membuat mural bergambar lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) di dinding ruang publik sekitar kampus. Tidak lama kemudian, pada awal bulan Oktober, seorang Mahasiswa Universitas Muhammadiayah Jember juga didatangi aparat kepolisian dengan persoalan serupa; menyimpan poster bergambar lambag PKI di kamarnya.
Kedua peristiwa tersebut, sama-sama bermasalah karena lambang PKI. Mereka semua masih muda, sama seperti saya sebagai generasi yang belum lahir ketika peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 meletus.
Bulan ini, tiga orang Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera, juga dipanggil aparat kepolisian, gara-gara menerbitkan majalah tentang korban peristiwa G30S di Salatiga, Jawa Tengah. Pihak kepolisian lantas meminta agar 500 eskemplar Majalah Lentera yang sudah disirkulasi, untuk ditarik kembali.
Ada tiga poin yang dipermasalahkan oleh aparat kepolisian; sampul majalah menampilkan lambang PKI, judul sampul “Salatiga Kota Merah” –yang dianggap menimbulkan persepsi Salatiga sebagai kota PKI, dan informasi dari narasumber yang diragukan kebenarannya.
Ini hanya persepsi subjektif saya; bahwa pihak kepolisian tidak sepenuhnya selesai membaca Majalah Lentera. Mereka hanya phobia dengan lambang PKI. Kalaupun pihak kepolisian telah tuntas membaca Majalah Lentera, penilaian tentang kualitas jurnalisme pers mahasiswa, bisa saja hanya alasan atau bentuk lain dari ungkapan: awas PKI kembali bangkit. Sebuah jargon yang sengaja diciptakan dan dipelihara rezim Orde Baru.
Bila ditinjau ulang, identitas narasumber yang diwawancarai oleh redaksi Majalah Lentera, sebagian besar merupakan warga sipil biasa yang pernah menyaksikan peristiwa pembunuhan massal di Salatiga. Sebagian juga korban (eks-tahanan politik) dan keluarganya. Ada lagi dari lingkaran birokrasi seperti, mantan pegawai BPS, mantan kepala desa, mantan penjaga tahanan politik dan Humas Pemerintah Kota Salatiga. Saya rasa semuanya sudah lengkap dan masuk dalam kategori sumber primer –pelaku, korban dan saksi. Apalagi juga ada dari kalangan intelektual, sebagai pengamat yang menyucikan fakta akademik. Lengkap sudah. Apa yang harus diragukan. Apalagi ditakuti.
Kalaupun ada potensi protes dari ormas yang tidak ingin Majalah Lentera beredar luas, seharusnya itu sudah menjadi kewajiban pihak kepolisian untuk memberi jaminan keamanan terhadap redaksi LPM Lentera –sesuai undang-undang kebebasan pers.
Dari kasus pemberedelan Majalah Lentera, semakin menguatkan bahwa rasa takut aparat militer atau pihak kepolisian tentang mitos bangkitnya kembali PKI di era Orde Baru, masih mengakar sampai sekarang. Bila rasa takut tersebut masih terpelihara, rezim Orde Baru akan terus dianggap sebagai pahlawan penumpas PKI –yang telah dituduh secara tunggal: berkhianat pada negara. Cara demikian terbukti efektif untuk mendapatkan dukungan, sehingga Golkar sebagai mesin pencari massa dapat melanggengkan Orde Baru selama 32 tahun.
Di era Orde Baru, mitos kebangkitan PKI yang menjadi musuh bersama tidak hanya berwujud dalam bentuk simbol palu arit. Melainkan juga berupa aktivitas berpikir yang melawan pemerintah –terkait persoalan korupsi dan kasus HAM –yang disampaikan dalam aksi demonstrasi, kritik melalui lagu, tulisan di media, serta bentuk aspirasi lain, seringkali mendapat tuduhan PKI atau membawa paham komunisme.
Mitos kebangkitan PKI terus terpelihara, dan nasib aspirasi masyarakat sipil sebagai pelengkap asas demokrasi Pancasila, berujung mendapat kontrol ketat, terutama dari aparat militer. Lantas bagaimana PKI dan paham komunisme di Indonesia era Orde Baru menjadi terlarang, bahkan sampai sekarang?
Ini berawal dari sejarah pergantian kekuasaan rezim Soekarno ke rezim Soeharto dalam peristiwa G30S 1965. Rezim Orde Baru membuat satu versi sejarah tunggal. Bahwa PKI merupakan dalang peristiwa G 30 S. Sebuah gerakan yang ingin mengkudeta pemerintahan Soekarno dengan peristiwa penculikan dan penyiksaan para jenderal sampai meninggal. Peristiwa sejarah G30S versi Orde Baru dikemas dalam film G30S/PKI dan buku pelajaran sekolah. Sampai sekarang versi tersebut masih diyakini oleh aparat militer dan sebagian masyarakat yang belum mengetahui perspektif lain.
Perspektif baru dalam kajian sejarah G30S 1965 –yang sudah bisa lebih leluasa dipelajari pasca reformasi –memberikan versi akademik lain, bahwa PKI bukan satu-satunya pelaku tunggal. Sejarawan Asvi Warman Adam, dalam buku Panggung Sejarah merangkum beberapa versi penelitian dari dalang peristiwa G 30 S, antara lain: Sebuah Klik Angkatan Darat (Cornell Paper, Wertheim), CIA/Pemerintah Amerika Serikat (Peter Dale Scott, G. Robinson), Presiden Soekarno (John Hughes, Antonie Dake), Oknum PKI (Tim ISAI), dan Tidak Ada Pelaku Tunggal (Nawaksara, Manai Sophian).
LEPAS dari siapa dalang dari peristiwa G30S yang masih jadi perdebatan, bagi saya yang terpenting adalah mengetahui bagaimana terbentuknya ketegangan politik antara PKI dan Angkatan Darat. Sehingga pada akhirnya kubu militer yang berkuasa di era Orde Baru pasca 1965 sangat anti terhadap PKI. Bahkan sampai sekarang.
Untuk mengetahuinya perlu penelusuran berbagai peristiwa sejarah yang cukup panjang. Setidaknya bisa berangkat dari periode revolusi fisik 1945-1949, era demokrasi parlementer 1950-1959 dan periode demokrasi terpimpin yang berlangsung sejak 1959 sampai meletusnya peritiwa G 30 S 1965.
Kubu militer yang menganggap telah berjasa besar terhadap negara (salah satunya dalam perjuangan perebutan Irian Barat dan Konfrontasi Malaysia) merasa punya otoritas menentukan jalannya politik pemerintahan sipil. Maka muncul konsep Dwifungsi ABRI pada 1958. Sedangkan PKI sebagai partai, secara masif berhasil mengais massa dengan beragam cara. Termasuk merebut tanah para pemodal yang sebagian dikuasai kelompok agama untuk dibagikan kepada buruh tani. Sehingga PKI memiliki musuh baru dari kalangan sipil.
Melalui legitimasi undang-undang Reforma Agraria 1960. Soekarno yang lebih dekat dan mendukung pergerakan PKI membuat Angkatan Darat merasa tersaingi. Dua kekuatan antara Angkatan Darat dan PKI yang secara ideologis sudah berseberangan, pada ujungnya saling bersitegang.
Kekuatan Soekarno melalui sistem demokrasi terpimpin yang sentralistik dan pernah menasbihkan diri sebagai presiden seumur hidup, tidak bertahan lama. Ketika perekonomian Indonesia memburuk di penghujung 1965, Soekarno jatuh sakit. Perebutan kekuasaan pun tidak bisa dihindari. Sebagaimana hukum politik: ada yang menang dan kalah. Konsep Soekarno tentang Nasakom dan ajaran Manipol Usdek 1945, tidak lagi berlaku.
Setelah peristiwa G 30 S, melalui Surat Supersemar –yang keberadaannya masih menjadi tanda tanya –Suharato memutuskan PKI sebagai pelaku. Dominasi kekuasaan wacana telah diambil alih Suharto. RRI dan sejumlah surat kabar seperti Koran Api Pantjasila, Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha menciptakan cerita sadis pembunuhan enam jenderal oleh PKI, Gerwani serta simpatisan lain di lubang buaya.
Cerita itu kemudian jadi pemantik kemarahan dari masyarakat sipil dari kubu Agamis dan Nasionalis ekstrim untuk membunuh PKI dan simpatisannya di daerah-daerah –dengan suruhan dan dukungan militer.
Pembunuhan massal petinggi PKI, anggota dan simpatisannya di daerah-daerah berlangsung massif sampai 1966. Pada tahun itu, PKI yang diperkirakan memiliki massa lebih dari 3 juta –terbesar setelah Uni Soviet dan Cina –sepenuhnya telah lenyap. Alias sudah tidak ada lagi pergerakan PKI. Hantu bernama komunisme atau ketakutan PKI bangkit kembali di era Orde Baru, sepenuhnya mitos politik belaka. Sayangnya setelah Suharto runtuh, mitos kuno tersebut masih berlaku sampai sekarang.
Rezim Orde Baru menciptakan mitos hantu komunisme melalui ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara NO: XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI serta larangan kegiatan yang mengembangkan paham atau ajaran komunis/marxisme-leninisme. Logika mendasarnya, paham komunisme dari siapa bila petinggi, anggota dan simpatisan PKI sudah lenyap di akhir 1966.
Namun peraturan tersebut akan dinilai menjadi penting bagi masyarakat –bahkan sampai sekarang –ketika sejarah pembunuhan massal anggota PKI dan simpatisannya oleh rezim Orde Baru tidak diungkap sesuai fakta dilapangan yang lebih objektif. Hanya berasal perspektif tunggal; sejarah bikinan rezim Soeharto.
Dan LPM Lentera mencoba mengungkap fakta yang sudah lama terpendam dari para pelaku, saksi dan korban: tentang bagaimana kejahatan kemanusiaan rezim Orde Baru dalam peristiwa pembantaian di daerah. Bahwa yang selama ini dituduhkan Orde Baru tentang bahaya laten komunisme dan upaya bangkitnya kembali PKI untuk balas dendam hanyalah mitos. Ketika diketahui bahwa para korban pembunuhan tidak tahu sama sekali apa yang terjadi di Jakarta tentang kudeta G30S 1965.
Peraturan nyatanya hanya menjadi legitimasi untuk menekan kebebasan berpendapat. Siapapun yang berani mengkritisi Orde Baru akan sangat mudah dituduh menyebarkan paham komunisme. Dari situlah hantu komunisme semakin terpelihara.