Menggurat Visi Kerakyatan
980

“Keseluruhan bisnis musik di Amerika Serikat itu selalu berbasis angka, berdasarkan angka penjualan, dan bukan kualitas,” katanya beberapa puluh tahun silam.

Namun sekali lagi harus ditulis: internet memang mengubah segalanya. Kini para musisi bisa bebas mengunggah karyanya ke banyak media sosial. Mulai dari MySpace, Youtube, Soundcloud, dan mengabarkannya pada dunia melalui Twitter atau Facebook. Karena itu pula, banyak musisi baru bermunculan. Mereka pun nyaris mengindahkan selera pasar. Alih-alih berkeinginan jadi jutawan dan terkenal, para musisi internet ini bermusik karena ingin bermusik.

Musik pun tak harus dijual. Sekarang tren yang sedang terjadi adalah musik dibagi gratis. Musisi lantas hidup dari mana? Penjualan merchandise dan honor manggung. Pemasaran merchandise band pun juga dijalankan di dunia maya. Banyak musisi hidup berkecukupan dengan menjual merchandise. Koil dan Seringai misalkan. Tapi ini tentu dengan catatan, sebuah band harus punya basis massa yang lumayan besar dan fanatis.

Label musik sekarang juga tak harus label raksasa dengan kantor mentereng dan biaya operasional yang besar. Di dunia musik, ada istilah netlabel untuk menjelaskan label musik yang berbasis internet. Label ini merilis album via internet. Biasanya dapat diunduh secara gratis.

Yes No Wave adalah salah satu netlabel pertama di Indonesia. Netlabel yang berbasis di Yogyakarta ini dibentuk oleh duo seniman kontemporer Wok the Rock dan Bagus Jalang pada tahun 2007. Hingga sekarang, mereka sudah merilis banyak album dari banyak musisi lintas genre. Mulai White Shoes and the Couples Company; Sangkakala; Senyawa; Frau; hingga Rabu.

Netlabel punya keunggulan. Yang pertama, mereka tak perlu kantor operasional. Itu artinya lebih hemat ongkos produksi. Kedua, Netlabel nyaris tak pernah tunduk pada selera pasar. Itu artinya, musisi yang bergabung bisa lintas gagrak musik. Ketiga, mereka tak merilis album dalam bentuk fisik.  Jadi mereka tak perlu mengeluarkan ongkos produksi untuk album fisik.

Kala muncul pertama kali, netlabel dipandang remeh. Nubuat yang santer terdengar, label macam ini tak akan bertahan lama karena kapital yang nyaris nihil. Namun benar adanya: dunia musik tak lagi sama. Netlabel semakin banyak bermunculan. Puluhan, bahkan ratusan. Musisi baru juga turut bermunculan. Mereka adalah tipe musisi yang bermain musik untuk bersenang-senang, tanpa ada pretensi untuk jadi populer atau mencari penghidupan. Mereka adalah tipe musisi yang biasanya tak akan dilirik oleh label besar.

Sekarang, masih bingung bagaimana merilis musikmu?

Internet dan Pers Mahasiswa

Tak sekedar dunia musik, internet juga mengubah wajah jurnalistik secara keseluruhan. Namun bagian ini tak akan menulis mengenai itu. Terlalu panjang. Melainkan fokus pada pers mahasiswa.

Berkat adanya internet, sekarang para anggota pers mahasiswa sudah gampang terkoneksi. Bisa saling berbagi tulisan. Bisa berdiskusi via dunia maya. Jarak pun seakan tiada artinya. Dulu, pada awal 90-an, korespondensi dilakukan via surat. Tentu banyak halangannya. Namun semua aral itu diterabas oleh internet.

Andreas Harsono, sifu jurnalisme sastrawi itu, pernah mengusulkan agar pers mahasiswa tak lagi mencetak majalah dan tabloid. Andreas menyerukan agar pers mahasiswa sekarang menggunakan web untuk memaksimalkan kekuatan redaksi, produksi, atau bisnis via situs.

Bahkan Andreas mengusulkan saran yang lumayan radikal: mengganti istilah pers mahasiswa menjadi media mahasiswa. Ini karena pers berasal dari kata Bahasa Inggris “to press” yang artinya mencetak.

Leave a comment