Menggurat Visi Kerakyatan

Ia yang Mengubah Segalanya

971

13 April 2000 mungkin jadi hari yang mengubah wajah musik selama-lamanya.

Hari itu, grup heavy metal terkenal, Metallica, mengajukan tuntutan hukum pada Napster. Metallica menuntut Napster karena di situs itu terdapat lagu versi demo “I Dissapear”, yang bahkan belum dirilis secara resmi. Ini adalah kasus hukum pertama yang melibatkan musisi melawan situs peer-to-peer files sharing (P2P).

P2P adalah sebuah istilah untuk menyebut distribusi dan berbagi data melalui internet. Dengan sistem ini, para pengguna internet bisa berbagi dan saling mengunduh aneka file secara gratis. Mulai dari musik, film, game, hingga buku elektronik. Dan Napster, bisa dibilang, adalah pelopor dari sistem P2P ini. Selain Napster, beberapa situs P2P yang terkenal adalah Limewire atau Pirate Bay.

Napster didirikan oleh tiga pemuda badung penyuka teknologi:  Shawn Fanning, John Fanning, and Sean Parker. Trio ini baru berusia belasan tahun ketika mendirikan Napster. Tujuan mereka sederhana: agar para pengguna internet bisa saling berbagai file. Pada masa jayanya, situs ini punya 80 juta anggota terdaftar.

Namun dasar enggan berbagi, para kapitalis industri musik menuntut Napster karena satu alasan: hak cipta. Metallica pun tak mengibarkan bendera perang sendirian. Karena ada 18 label besar yang turut menuntut Napster. Menyusul kemudian, para artis yang merasa dirugikan oleh Napster.

Pengadilannya berlangsung seru. Namun anti-klimaks. Napster tumbang. Situs legendaris ini harus ditutup pada tahun 2001, plus membayar denda US$ 26 juta pada para pencipta musik dan pemilik hak cipta.

Tapi sejak saat itu, musik tak akan pernah sama lagi.

Internet dan Musik

Industri musik memang mengalami perubahan yang sangat signifikan dalam dua-tiga dekade terakhir. Apalagi setelah munculnya internet. Salah satu contoh yang paling relevan selain Napster: kini musisi tak harus merilis karya melalui label musik besar.

Sebelum era internet dan free music, para musisi berusaha keras agar bisa direkrut oleh label rekaman. Alasannya tentu jelas, popularitas akan datang. Otomatis uang akan mengalir lancar. Tapi keberhasilan ini menuntut ongkos yang tak sedikit. Musisi harus tunduk pada selera pasar. Idealisme harus dikarungkan dan digadaikan.

Menggambarkan fenomena ini sebenarnya sama dengan belajar ekonomi dasar yang diajarkan di sekolah menengah. Pasar atau konsumen sedang banyak membutuhkan barang A, maka produsen harus memproduksi barang A sebanyak mungkin. Konsumen musik sedang gandrung musik pop menye-menye, maka label harus memproduksi album pop menye-menye sebanyak mungkin untuk memenuhi keinginan pasar.

Sederhana bukan?

Fenomena ini pernah dikritik oleh Frank Zappa, musisi legendaris yang memang dikenal sinis terhadap industri musik.

Leave a comment