Menggurat Visi Kerakyatan

Potret Kartini dan Lawan Baru Feminisme

472

Waktu itu, di era sekitar 1970-an hingga 1980-an, banyak film Indonesia yang sengaja memposisikan perempuan hanya sebagai pelengkap dalam cerita. Jika perempuan dikisahkan sebagai pemeran utama, peran itu kerap berkaitan dengan pandangan bahwa posisi perempuan ada di lingkup kehidupan lokal, sebagai ibu, istri, kekasih, atau anak yang penurut. Sebaliknya pada laki-laki, peran yang ditampilkan selalu berkaitan dengan aktivitas di lingkungan publik, seorang yang mengambil dan menghasilkan keputusan masuk akal. Tapi perlu diingat, waktu itu Kartini juga ‘dihidupkan’ kembali.

Dia hidup dalam sebuah film yang disutradarai oleh Sjumanjaja. Di sana tampil sosok Kartini yang tertindas. Sewaktu hidup, kebebasan Kartini dikekang oleh ideologi patriarki yang sangat kental dalam budaya Jawa. Kaum wanita menjadi objek kehidupan laki-laki. Kartini muncul sebagai sosok revolusioner yang berjuang untuk kaumnya. Dia menuntut kesetaraan. Begitulah film itu menjelaskan. ‘R. A. Kartini’ adalah sebuah film drama perjuangan Indonesia, yang diproduksi tahun 1982. Kini film itu dan 21 April menjadi sebuah monumen. Memberi semangat para ibu, kaum remaja, dan mengingatkan segenap kaum lelaki untuk menghormati dan menghargai wanita. Sekali lagi Kartini hidup.

Sosoknya yang masih membayang sampai saat ini tak lain karena semasa hidupnya dulu, Kartini dibekukan oleh sebuah kehidupan. Dia tumbuh di tengah masyarakat yang terbiasa menempatkan perempuan di posisi kedua dalam ruang publik. Hingga kemudian melalui Rosa Abendanon, Stella Zeehandelaar, temannya berkirim surat, dan lewat para sahabatnya yang lain. Kartini mendapatkan buku, majalah, dan koran terbitan Eropa yang mengajarinya cara berfikir luas. Surat-menyurat menghancurkan belenggu besar yang dihadapinya. Dari situ pandangan kritisnya terhadap budaya masyarakat Jawa di tempat dia hidup, muncul. Membawa Kartini pada sebuah pemikiran, bahwa bukan hanya sekedar masalah kedudukan perempuan yang buruk pada waktu itu. Akan tetapi dia melihat bagaimana pengaruh sebuah sistem terhadap kehidupan masyarakat di sekitarnya. Akhirnya kebekuan itu, justru mengantar Kartini pada sebuah kesadaran.

Door Duisternis Tot Licht atau yang lebih kita kenal: Habis Gelap Terbitlah Terang, adalah yang membuat Kartini ‘hidup’ kembali melebihi masa hidupnya yang pendek. Pemikiran yang tertulis di sana, menggambarkan seorang pembelajar pengetahuan modern. Di sisi lain menjadi bukti daya kritis Kartini untuk melawan kekangan sistem feodal, yang kala itu menghambat kemajuan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

Kartini adalah potret anak zaman yang durhaka. Dia melawan zamannya. Sosok yang besar di Jepara dan tak pernah jauh dari rumahnya ini, tak banyak melihat kehidupan luar. Kedurhakaan itu membawa Kartini menjadi sosok pendobrak. Dia dapat melihat bahwa zaman yang sedang membesarkannya adalah sebuah jalan gelap.

Kini setelah kematiannya, dia masih menjelma lewat 21 April. Memberi tahu bahwa, dia dengan pemikirannya tentang emansipasi, muncul karena sebuah kondisi yang kritis. Zaman itu memang sedang butuh sosoknya. Dia dan kaumnya masih harus berjuang.

Sekarang ini, para feminis masih harus membangun kesederajatan dan konstruksi kemanusiaan. Banyak perempuan diperjualbelikan. Dieksploitasi sedemikin rupa untuk memuluskan sebuah komoditas yang dipasarkan. Sebuah produk akan lebih laris kalau ada wanita yang menantang. Sebotol minuman misalnya akan lebih nikmat jika memperlihatkan sedotan wanita.

Terjadi penumpukan modal oleh kelas tertentu atas kelas yang lain. Akhirnya muncul tindakan penguasaan secara material oleh kelas yang memiliki modal tersebut. Asmaeny Azis, dalam bukunya, Feminisme Profetik, mengatakan bahwa konstruksi kelas ini ternyata menyebabkan terjadinya eksploitasi perempuan. Perempuan adalah kelas yang dimarginalkan oleh konstruksi kelas tersebut. Konstruksi kelas adalah wacana kolonial atas tubuh perempuan yang  harus dibebaskan. Sehingga feminis zaman ini, (seharusnya) muncul dari kekecewaan atas dominasi tersebut.

Setiap kali kita menengok media massa, disana selalu ada iklan yang ‘menggunakan’ perempuan untuk berjualan. Barangkali benar apa yang dikatakan Feminis sosialis, Zoonen dan Steeves, yang menganggap media massa adalah medium utama untuk menyampaikan stereotip patriarkal dan hegemoni mengenai feminitas. Media massa menampilkan kapitalisme dan skema patriarkal, hal ini dianggap sebagai sistem yang paling menarik yang pernah ada. Selain itu mungkin juga, menjadi lawan baru untuk gerakan emansipasi.

Berlaku tanpa mereduksi peran perempuan sejatinya, ketika sebuah pembongkaran wacana feminisme ditegakkan. Sosok Kartini menjadi efektif karena ia muncul dari semangat komunal untuk mendobrak sebuah sistem yang bergerak secara diskriminatif.[]

 

Penulis: Budi Setiono, Anggota Istimewa Unit Pers Mahasiswa (UPM) Millenium, tinggal di @budihidup.

Leave a comment