Suatu ketika saya sedang terbenam dalam kegalauan akut, salah seorang teman memutarkan sebuah lagu yang aroma musiknya tidak asing bagi saya. Kemudian dengan nada suara parau dan sedikit mengejek dia berkata, “Daripada kamu mikir cinta yang macam tai kucing, mending kamu dengerin lagu ini.” Sembari meletakkan gelas bir yang baru saja menempel di bibirnya. Kemudian dia kembali melanjutkan kalimatnya. “Lebih baik kamu memikirkan yang lebih penting macam pembantaian besar-besaran bangsa Armenia yang diceritakan lagu ini. Kegalauanmu bakal lebih berguna dibandingkan memikirkan wanita yg tidak aka ada habisnya.” Sejenak kemudian saya diam dan mencoba untuk mendengarkan dengan cermat lagu itu.
Akhirnya saya tahu, lagu yang diputar teman saya itu adalah lagu milik System Of A Down (SOAD) yang berjudul Holy Mountain. SOAD adalah sebuah band yang memadukan musik underground trash metal dan musik alternative rock. Banyak pengamat musik mengatakan SOAD telah menciptakan aliran musik sendiri. Cenderung sangat unik, keras, tapi enak didengar1.
Akhirnya saya pun mengamini apa yang diungkapkan oleh seorang teman tadi. Beruntunglah kegalauan saya pun berputar 180o (derajat) dari kegalauan. Barangkali bisa dimaklumi jika cinta menjadi kegalauan seseorang tersebab sisi kemanusiaan yang mengobang-ambingkannya. Tapi yang menjadi pertanyaan saya saat itu, kenapa hampir setiap orang bisa begitu menghayati suatu musik dengan menyelaraskan kondisi psikolgis mereka? Misalnya saja, ketika sedang patah hati akan selalu ada lagu melankolis yang mengiringi keseharian kita. Begitu sebaliknya, ketika kita sedang bersemangat tentu lagu penggiring semangat yang akan diputar.
Tapi sepertinya teman saya mencoba merubah presepsi itu dengan mengganti lagu melankolis saya dengan lagu yang bisa membalikkan psikologi saya saat itu. Saya pun tidak lagi galau gara-gara cinta, tapi malah galau gara-gara memikirkan bagaimana musik bisa sangat berpengaruh pada diri pendengarnya. Selain itu saya juga memikirkan nasib bangsa Armenia yang ternyata sampai saat ini masih belum menemukan penyelesaian. Cinta menjadi tak sesempit apa yang selama ini saya bayangkan. Dari hubungan antar personal menjadi personal pada suatu kelompok.
Menurut Alf Gabrielsson, seorang ahli di bidang psikologi musik, untuk memahami ekspresi emosi dalam musik, kita perlu membedakan antara proses emotion perception dan emotion induction. Tenyata seorang pendengar bisa menangkap ekspresi emosi sebuah lagu tanpa harus terbawa atau mengalami emosi yg diciptakan oleh lagu itu sendiri. Proses itulah yg disebut Alf sebagai emotion perception. Sedangkan emotion induction adalah proses ketika mendengar sebuah musik, kita dapat mengalami emosi tertentu, di mana musik membawa kita hanyut dalam emosi tertentu2.
Kedua proses inilah yang saya rasakan ketika mendengarkan dua lagu yang berbeda. Ketika kondisi saya sedang galau kemudian mendengarkan musik yang melankolis, akhirnya saya mengalami emotion induction. Tapi ketika saya mendengarkan lagu SOAD dengan keadaan yang sama (galau) saya mengalami kedua proses itu sekaligus. Pada awalnya ketika mendengarkan Holy Mountain untuk pertama kali saya menangkap maksudnya tanpa terbawa pada emosi yang diciptakan lagu itu. Tapi ketika saya mendengarkannya berkali-kali, akhirnya mulai terbawa walaupun kondisi saya sebelumnya begitu terbalik dengan emosi yang diciptakan oleh SOAD, dalam Holy Mountainnya.
Saya akui ketika mendengarkan Holy Mountain, semua kesakitan dan penyiksaan yang terjadi pada bangsa Armenia juga saya rasakan. SOAD benar-benar pintar meramu emosi dengan ketukan drum dan cabikan melodi gitar yang begitu garang. Kemudian diraciknya gambaran sejarah kekejaman bagaimana bangsa Armenia dimusnahkan. Mungkin latar belakang para personil SOAD juga menjadi salah satu faktor lagu Holy Mountain. Jadinya begitu dekat dengan apa yang ingin diungkap dalam lagu itu. Hampir semua personil SOAD adalah keturunan Armenia dan mungkin mereka masih menyimpan kemarahan juga keperihan sejarah yang terjadi pada tetua mereka dulu, sejarah genosida Armenia (Armenian Holocaust atau Armenian Massacre).
Sejarah memang mencatat pernah terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap bangsa Armenia pada tahun 1894 sampai kurang lebih tahun 1917. Pada tahun 1909, pemerintahan Ottoman, perpanjangan tangan Turki di Armenia membantai sekitar 15 sampai 30 ribu warga Armenia di provinsi Adana. Pembantaian yang dikenal sebagai The Adana Massacre ini merupakan upaya menghabisi bangsa Armenia yang (dengan dukungan oleh Rusia) menentang pemerintahan Ottoman serta diskriminasi yang dilakukan terhadap bangsa Armenia yang menganut Nasrani3.
Selain The Adana Massacre, masih banyak catatan sejarah yang mengungkapkan kekejaman pemerintahan Ottoman pada bangsa Armneia yang samapai sekarang hanya beberapa negara saja yang mau mengakui adanya genosida pada bangsa Armenia. Serj Tankian, vokalis SOAD yang notabene adalah keturunan Armenia, mungkin melihat sejarah genosida Armenia ini sebagai peristiwa yang harus diungkap. Merujuk salah satu karyanya yang membahas tentang kampanye recognition terhadap genosida Armenia adalah Holy Mountain4.
Holy Mountain lagu yang membuat saya merasakan dua proses penangkapan terhadap musik. Bisa dianggap sebagai ungkapan kegeraman. Bahkan kebencian yang sangat jelas terhadap sejarah kelam, cipta’an bangsa turki dan pemerintahan Ottoman pada bangsa Armenia.
Judul Holy Mountain diambil dari pegunungan Ararat yang menjadi tempat suci dari bangsa Armenia. Pada bait pertama lirik Holy Mountain mengungkapkan tentang kedatangan mereka, bangsa Turki yang menghantui. Kedatangan mereka sebagai LIAR (pembohong), KILLER (pembunuh, dan DEMON (iblis) yang menciptakan kengerian di Armneia. Kengerian yang tercipta itu membuat bangsa Armenia menginginkan kebebasan “Freedom… Freedom… We’re free… We’re free…”.
Bait kedua lirik Holy Mountain menurut saya lebih mengungkapkan kegerian yang mengakar. “Someone’s mouth said paint them all red,” baris ini seperti mengungkapkan bahwa, ada seorang pemimpin yang menginginkan banyak darah yang tumpah dan banyak kengerian yang harus diciptakan. Harapan pun hanya bisa digantungkan pada yang illah. Pada yang mereka (bangsa) Armenia anggap suci, yaitu pegunungan suci Ararat tempat perahu Nuh terdampar setelah banjir besar. “They have all returned//Resting on the mountainside//We have learned that you have no.” dalam bait kedua juga diungkapkan kengerian lain selain pembantaian yaitu kekerasan seksual yang dilakukan tanpa pandang umur dan jenis kelamin, terlihat dalam lirik, “Honor, Murderer, Sodomizer.”
Pada akhir lirik pun SOAD tetap menghembuskan kebebasan dan kepedulian terhadap bangsa Armenia, dengan mengutuki agar bangsa Turki “Back to the river Aras”. Kembali pada sungai Aras yang berada di Turki. Holy Mountain begitu emosional, diawali dengan suara Serj yang menggambarkan kengerian dan notabene dinyanyikan oleh keturunan Armenia.
SOAD dan secara tidak langsung teman saya, berhasil membuat saya menjadi seseorang yang mengalami dekadensi. Tentu saja karena seharusnya saya bisa memilah lagu mana yang pantas untuk dinikmati dengan emosional dan mana lagu yang cukup didengarkan saja. Lewat SOAD saya sadar bahwa musik dapat menciptakan banyak kemungkinan yang tidak bisa diprediksi oleh pendengarnya . Selain itu akhirnya saya pun sadar bahwa musik bisa menjadi fragmen untuk memaknai sejarah.
Malam ini pun, ketika saya mengakhiri tilisan ini saya tetap menikmati beberapa lagu SOAD sembari mendekatkan diri pada kopi dan realitas yang semakin khayal.[]
Daftar Pustaka:
1 http://soadfansindonesia.blogspot.com/2011/02/artist-title-song-flash-mp3-musik-code.html (diakses pada 11 februari 2014)
2 http://ruangpsikologi.com/warna-warni-emosi-dalam-musik/ (diakses pada 10 februari 2014)
3 http://mediasastra.com/ruang_diskusi/teras/obrolan_bebas/2374 (diakses pada 10 februari 2014)
4 http://sejarahsystemofadown.blogspot.com/2011/07/serj-tankian.html (diakses pada 11 februari 2014)