Sarmina Belajar Politik
Sarmina dan Gatot hari ini jalan-jalan berdua ke taman kota. Tak seperti biasanya, suasana di taman kota cukup ramai. Ada suara menggema terdengar dari kejauhan, mobil polisi berjejeran di depan kantor walikota, ada pula atribut bendera kuning terpampang di setiap pembatas pagar taman. Instrumen tersebut lantas membuat bingung Sarmina dan mencoba bertanya kepada Gatot. “Ini sudah masuk tahun 2004 kan Sar, biasa tahun politik. Mulai banyak deh orang-orang yang ingin daftar jadi pejabat,” jawab santai Gatot sembari menenggak minuman ber-ion.
Sarmina memang tak paham dengan dunia politik. Bahkan, parahnya lagi–karena memang benar-benar tidak mengerti–nama Bupati di tempat ia tinggalpun saja tidak tahu. Hal itulah yang terkadang membuat segelintir teman-temannya suka mengejek dan mengibuli Sarmina jika berbicara tentang politik di negara ini. Namun, berbeda dengan teman-teman Sarmina. Gatot rupanya berniat baik untuk mengenalkan sedikit demi sedikit dunia yang sama sekali tak dikenali Sarmina. Gatot memanggil si perempuan tersebut, lalu mengajak keliling di sekitaran taman kota. Tanpa berpikir panjang, Sarmina mengangguk tanda setuju menerima ajakan Gatot.
Waktu masih menunjukan pukul 08.00 WIB, dan acara di panggung utama belum mulai. Hal tersebut membuat mereka berdua masih leluasa bergerak kesana kemari. Selama berjalan, Gatot layaknya seorang guru, mempresantasikan apa saja yang terdapat di sekitar.
“Kampanye itu apa Tot?” Sarmina membaca banner yang dipasang di belakang panggung.
“Nggak tahu kampanye? Itu semacam ajang promosi gitu sih, menjelaskan visi dan misi yang mau diterapkan.”
“Oh jadi ini namanya kampanye. Temen-temenku bilang kalau ajang promosi calon pejabat-pejabat namanya simpanse, duh!”
“Hahahaha, dasar.. .”
Para simpatisan tampak berlalu lalang menggunakan identitas kebanggaannya masing-masing. Bendera berukuran besar, syal, kaos, topi, dan lain-lain bergambar raut muka calon pejabat yang diusung bertebaran di setiap sudut taman. Hampir semua golongan memakai, tidak terpaut usia maupun golongan. Dalam benak Sarmina, acara ini layaknya nonton sepakbola di stadion. Gemuruh suara yel-yel pendukung mulai terdengar. Gatot, masih terus sibuk mempresentasikan sedangkan Sarmina tetap mendengarkan penjelasan dengan antusias, hingga akhirnya muncul pertanyaan.
“Kok meriah banget acara macam gini ya?”
“Orang Indonesia menganggap hal ini pesta rakyat Sar, para calon pejabat pada berlomba-lomba merebut hati rakyatnya, sedangkan simpatisan memanfaatkan “keuntungan” dari acara seperti gini.”
“Ih, aneh.”
“Loh, kok aneh?” Gatot menyimak serius.
“Ya aneh aja buat aku Tot”
“Kamu ini memang betul-betul buta soal politik ya. Kenapa bisa begitu?”
Mendapat pertanyaan semacam itu, membuat Sarmina mengingat penuturan sang ayah bahwa Sarmina tidak boleh mengenal dunia politik. Entah apa penyebabnya. Apapun yang berbau politik pasti disingkirkan, diisolasi, dijauhkan dan dimusnahkan dihadapan Sarmina. Yang terparah, ketika Sarmina menduduki bangku kuliah, pernah satu waktu ayahnya melarang keras untuk mengikuti matakuliah etika politik di Indonesia. Kala menempuh semester terakhir, Sarmina harus terhambat 2 tahun lulus, sehingga wajib mengulang matakuliah tersebut. Ayahnya mau tidak mau harus membayar uang “pelicin” kepada penguji dan pengawas ujian akhir.
“Oh begitu, tetapi kamu harus tahu loh Sar. Politik itu seru. Kalau ingin maju negara ini, minimal mengerti dasar-dasar berdemokrasi,” respon Gatot yang mulai tadi menyimak penjelasan Sarmina.
“Aku pingin sih, makannya aku minta kamu jelasin segala yang ada di acara ini. Dulu ya…”
Belum selesai Sarmina berbicara, tiba-tiba ada seorang tak dikkenal menghampiri mereka berdua. Rupanya orang tersebut adalah simpatisan dari atribut warna kuning. Ia membagikan selebaran brosur dan pin bergambar foto dua calon pejabat kota itu. Sarmina dan Gatot menerimanya. Tak lama kemudian, orang tak dikenal itu berbisik pada si Sarmina “pilih kuning aja ya, jangan warna lain karena suka menghasut dan programnya nggak jelas.” Setelah mendapat bisikan halus, Sarmina kebingungan. Sarmina lalu mencoba bertanya kepada Gatot, mengapa ia serasa dipengaruhi. Gatot pun geleng-geleng kepala dan terkekeh sedikit karena pertanyaan yang dilontarkan cukup membuat geli. Cowok itu lalu menjawab bahwa apa yang dilakukan oleh orang barusan adalah bagian dari strategi politik.
“Seru juga sebenarnya ya. Tapi kenapa ayahku selalu melarang aku menyentuh dunia politik ya,” entah kepada siapa Sarmina berbicara.
“Udahlah, begini aja, kita dari pagi sampai sekarang kan udah keliling, muter-muter, berbincang sambil dengerin orang-orang teriak, orasi memaparkan visi dan misi. Gimana kalau sebentar lagi aku ke rumah kamu, ngomong sekaligus minta ijin sama ayah kalau kamu ingin belajar dunia politik?” cetus Gatot.
“Boleh, ide bagus dan aku setuju. Aku pingin belajar politik, siapa tahu negeri ini maju karena aku, hehehe.”
Melihat antusias Sarmina, Gatot tanpa basa-basi mengajaknya untuk pulang. Ia jalan menyusuri keramaian orang-orang di taman kota, menggunakan angkutan umum menembus macet, kemudian berjalan lagi di bawah teriknya matahari.
Sesampainya di rumah, Sarmina dan Gatot cukup lega. Mereka sangat lelah, karena biasanya jarak taman kota kota ke rumah hanya 15 menit, kini mereka tempuh 90 menit. Sarmina mempersilahkan Gatot masuk. Sarmina membuka pintu rumah, dan melihat ayahnya nonton tv bersama kucing kesayangannya.
“Yah, ini ada Gatot datang.”
Ayah Sarmina mematikan tv kemudian menghampiri Gatot diikuti kucing mungil kesayangan ayahnya.
“Eh, nak Gatot….Mari duduk, apa kabar nih?”
“Baik. Om sendiri bagaimana, sehat?”
“Sehat nak.”
“Yah, hari ini aku keliling taman kota. Seru. Tadi banyak belajar soal politik sama Gatot, kebetulan pas ada acara apa dah, hmm, apa Tot, simpanse ya? Tanya Sarmina pada Gatot berusaha mengingat.
“Kampanye Sar, waduh.. .”
Raut wajah ayah seketika berubah. Matanya mulai terbelalak. Badannya ia tegakkan sembari membenarkan posisi duduk. Ia tatap mata Gatot dengan tajam. Melihat postur ayah Sarmina yang berubah, Gatot sedikit berdeham.
“Ayah, aku bikinkan minum dulu buat Gatot dan ayah ya.. .” ijin si Sarmina.
Sarmina lalu bergegas ke dapur. Ayah dan Gatot berbincang dengan sedikit agak canggung karena Sarmina menyinggung soal politik.
“Jadi, kamu mau mengenalkan dan menjeremuskan anak saya ke dunia politik?” tanya serius sang ayah.
“Maksud saya bukan gitu Om. Saya kemari mau minta ijin pada Om perihal saya mau berbagi ilmu soal wawasan politik dengan Sarmina. Apakah om mengijinkan?”
“Cukup ya, setelah kamu minum, kamu saya persilahkan pulang!” nada tegas dilontarkan oleh ayah Sarmina.
“Tapi om, maaf, sangat disayangkan jika om melarang-larang Sarmina belajar politik, sedangkan ia sangat antusias belajar.”
“Cukup!!!!! Saya nggak mau Sarmina tertipu oleh celana dalam, foto syur, uang pelicin, dan segala kejelekan dan kemunafikan politik!!”
“Maaf, maksud om?”
“Keluar!!!!!!!!!!!!” bentak ayah Sarmina.
Gatot keluar dari rumah Sarmina. Ia minta maaf dan pamit pada ayah temannya itu. Sementara, Sarmina yang keluar membawa 2 gelas itu ikut bingung akan peristiwa apa yang barusan terjadi sehingga menyebabkan Gatot pulang. Ia mencoba tanya pada sang ayah, tetapi instruksi untuk masuk kamar dan tidak boleh berteman dengan Gatot yang didapat.
Diluar, Gatot berjalan sendirian melewati gang-gang sempit. Tak sampai 2 meter dari rumah Sarmina, Gatot berhenti. Pandangannya tertuju pada koran yang diinjak oleh Gatot. Ia mengambil, kemudian membaca headline berita yang terpampang jelas dengan huruf kapital berukuran besar di halaman depan koran lokal.
CALON KEPALA DESA MUNDUR MENGIKUTI PILKADES KARENA AIR CUCIAN SEMPAK, PAHA MULUS, UANG “PELICIN” DAN BH
Sarwoto yang saat ini menjadi cakades di Pilkades Roworowo mendadak jadi perbincangan publik. Hal ini lantaran viralnya berita dan foto yang diduga mirip dengan mantan anggota Badan Pertimbangan Desa Roworowo periode 1977-1981. Foto paha mulus tersebut diketahui tersebar di kalangan awak media melalui pesan gosip tukang sayur. Redaksi Beritaseru juga mendapatkan dua foto yang salah satunya menampakan pria tanpa celana. Di tangan kirinya tampak memegang sebuah Bra dan Uang. Latar foto itu diduga di sebuah kamar.Kemudian di foto kedua, tampak pria yang mirip Sarwoto itu sedang berada di dalam mobil dengan menggunakan kaus berwarna biru tua. Di dalam mobil itu juga tampak ada sebuah botol dan sempak bergelantungan di dashboard mobil. Dikonfirmasi, Sarwoto menganggap ada proses pembunuhan karakter terkait polemik pencalonan pemilihan kepala desa. ”Jadi terkait apa yang jadi desus-desus itu, saya sudah biasa. Perlakuan yang sama persis seperti ini sudah saya terima sejak tahun kedua menjabat ketika saya menerapkan sejumlah kebijakan. Saya dilaporkan melakukan kriminalisasi kebijakan karena kebijakan-kebijakan tersebut,” jelas Sarwoto kepada Beritaseru.”Bahkan saya juga dikirimi macam-macam gambar dan benda-benda di masa lalu untuk mencegah saya mengambil kebijakan-kebijakan tertentu. Tapi kan saya tetap lanjutkan apa yang baik bagi orang banyak,” imbuh Sarwoto. Ia saat ini mundur menjadi calon kepala desa dan berkarya di jalan lain.
Membaca berita barusan cukup membuat Gatot terkejut. Ia sekarang mengerti mengapa ayah Sarmina melarang anaknya mengerti dunia politik. Keras, kejam, dan licik. 3 kata yang menggambarkan politik saat itu. Alhasil, kini Sarmina semakin tidak mengerti dengan dunia politik. Ia tetep diejek oleh teman sebayanya. Sarmina benar-benar buta akan politik.
Wiviano Rizky Tantowi mahasiswa Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. Bisa menyapanya via twitter @Vino_Oren12