Puisi-Puisi Ainun Nafhah
Bingkisan
Kabarnya, dia tidak percaya dengan salah satu hari paling bahagia yang katanya pasti akan datang dalam kehidupan manusia
Seperti malam saat dia menerima sebuah bingkisan ke-17
Dengan senyum sinis dan keyakinan yang sangat egois. Lalu udara yang tiba-tiba menjadi sangat dingin saat ditiupnya lilin yang menjadi penerangan satu-satunya di ruangan itu
“Aku Harap”
Asap itu menjadi sebuah kapal ringan yang dapat mengangkut berbagai macam harapan yang keluar dari tertutupnya mata. Sedikit ragu, melihat betapa apatis asap itu melirik. Udara menjadi dingin
…
Katanya, bingkisan yang dulu dia terima sekarang menjadi rongsokan, terkadang dia berharap bisa mendapatkan lebih baik dari itu dan terkadang dia tidak ingin memilikinya.
Saat dia membuka mata. Bingkisan ke-20 sudah menggelayut di kepalanya. Sekelebat datang tanpa asap, hanya menyapa dengan tangan berisi udara dan beberapa harapan yang malu-malu untuk terbang ke luar.
Aku yakin dia mulai bertanya-tanya. Apakah asap lilin bingkisan ke-17 telah terbang utuh atau dipaksa menghilang saat akan keluar dari pintu ruang tamu, karena dia masih tidak mengerti bagaimana cara mengucapkan terima kasih,
Bahkan dengan cara yang paling angkuh sekalipun.
…
Aku melihat dia memilih membakar jembatan yang sudah lama dia bangun dan melihatnya jatuh, lalu pergi. Mungkin dengan sedikit penyesalan yang ditolak mentah-mentah oleh diri sendiri
Asap yang malang, entah isinya yang terlalu lemah atau asap itu memang tidak cukup kuat untuk mengangkut harapannya yang terlalu berat.
…
Aku mulai khawatir, karena bingkisan selanjutnya akan datang sebentar lagi
Dia duduk di depan cermin, menatapku
Merencanakan sesuatu
“Haruskah aku terima bingkisan ini?
Efek Kupu-kupu
Jika aku memilih menetap,
Apakah kebenaran tentang predestinasi itu akan mengubah bagaimana caraku mengendalikan waktu?
Saat meraih acak lengan-lengan buana yang niskala aku pun sempat curiga
Benarkah peluru yang menembus kepala adalah jelmaan dari sang pemilik nyawa?
“Berjalan saja” katamu, “Kenapa kau masih berprasangka?”
;lebih dekat lagi
Saat satu dari seribu satu domino jatuh
Satu paku membuatnya menjadi seribu
Lihatlah bagaimana kekacauan menciptakan atma
Satu langkah kanan, depan, kiri, belakang sudah cukup menghasilkan nama
;Lihat
Lengan buana yang ku pilih tidak merestuiku untuk menetap
Jadi, percepat saja
Sungguh aku akan sangat bahagia untuk musnah
“Tidak” katamu, “Tidak dengan cara seperti ini”
Masa antara satu kepakan kupu-kupu ke kepakan selanjutnya
Di sana pertanyaan ‘kenapa’ selalu muncul di kepala
Rasa terima kasih yang terucap karena melihat darah saudara sendiri, ngeri.
Ampun,
Aku masih manusia penasaran,
mencari kepuasan, menyangkal kebenaran
Via Lactea
Sejajar garis lurus sedikit lebih tinggi
Iris menarik paksa pupil, kini
Berhasil mengintimidasi nadi yang telah mati
Melucuti mahkota yang angkuh karena posisinya yang terlalu tinggi
“Apakah ada rasa malu?”
Kelelawar berkeliaran tak terlihat
Pertanyaan lewat sekelebat
Tubuh pun terguncang hebat
Elusif, otak meronta sekarat
“Di mana poisimu sekarang?”
Aku hanya merasa yakin
Bahwa atmosfer menyimpan aku yang lain
Bahwa jika dibandingkan,
Semut adalah aku yang berjalan beriringan
Satu Koma
Hanya itu
Tidak lebih dalam
Di sanalah kamu
Merangkak membebaskan seperempat kejujuran
Lambat satu per satu,
Jangan percaya
Aku masih satu koma satu
Lebih dekat?
Tunggu dulu,
Labirin mana yang baru kau kuak itu?
Kau sangat yakin kekuatan pijakanmu
Bukankah seratus dua puluh masih di ujung kuku
Di tempat semula
Kau masih sama
Ainun Nafhah, Lahir 9 Januari 1998 di Probolinggo. Mahasiswa sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Seorang perempuan yang ingin berkarya.