Malam itu saya menonton film yang diputar oleh salah satu stasiun televisi swasta. Sepertia biasa ritual khas pecandu film, selalu mengantisipasi agar ketidaknyamanan ketika menonton dapat tereleminasi. Maka dari itu sebelum duduk santai di depan televisi, saya telah menyiapkan sebungkus rokok, kopi, dan berbagai perhiasan tidur seperti bantal, guling, dan selimut. Kemudian meyakinkan diri sendiri jika nanti saya akan sangat nyaman menikmati tiap lekuk adegan dalam film.
Bagi saya, beberapa menit lagi adalah tayangan film hyperfavorit bagi semua mahluk yang ada untuk berpikir. Ya memang, saya hidup untuk berpikir, berimajinasi secara bebas dengan batasan kebebasan orang lain. Dan sebagian kecil lainnya untuk mencintai remahan separuh lingkaran bulan dalam bola mata gadis mungil yang saya sayangi. Ah, ini hanyalah igauan sesaat. Sudahlah lupakan. Lupakan. Akan tetapi untuk masalah igauan, sebenarnya kita tak pernah memahami jika dalam keadaan paling sadar yang manapun, ternyata separuh dari kesadaran kita adalah mimpi.
Remote televisi sudah ada dalam genggaman. Saya menyentil tombol power. Aih, mengapa masih iklan. Sambil menunggu iklan sebelum film favorit saya diputar, alangkah lebih baiknya jika saya mengalihkan kebosanan dengan bermain handphone. Sial sekali, ternyata sedari tadi ada beberapa pesan yang tak sempat saya buka. Pesan itu berisi tentang omong kosong dan rayuan hasrat untuk membeli sebuah produk.
Saya bernapas dalam-dalam sejenak. Lalu menyandarkan bantal pada dinding membentuk kursi empuk yang sederhana. Perlahan emosi saya mulai rileks kembali ketika punggung ini menindih bantal. Ada baiknya saya membuka situs jejaring sosial. Alangkah tak lebih buruk dari neraka, ternyata wall Facebook saya telah dipenuhi berbagai macam cara amoral dari pedagang sebuah produk. Ini benar-benar paksaan. Paksaan untuk membeli dan mengkosumsi.
Facebook saya tinggalkan. Kali ini saya mencoba jalan-jalan ke Twitter. Harapan terbesar yang tiba-tiba muncul, bagaimana agar tak saya temukan iklan lagi. Aduh koneksi lemot sekali. Mungkin mereka memang tak pernah puas menghantui saya dengan iklan lewat berbagai macam saluran informasi sebelumnya tadi. Ternyata di Twitter juga ada iklan. Bukankah ini keterlaluan yang paling.
Kemarahan benar-benar merata di sekujur tubuh kali ini. Hanphone saya matikan, entah untuk beberapa bulan ke depan. Dengan berat hati merelakan diri menyewa film “The Winner”, untuk mengganti rasa penasaran akibat tak jadi menonton film yang diputar stasiun televisi swasta semalam.
Tentu saja apa yang saya tuliskan di atas hanyalah imajinasi belaka. Tapi belum tentu juga saya sendiri atau kalian tidak pernah mengalami. Mungkin ini hanya semacam gerbang yang menjadi jalan satu-satunya menuju pokok bahasan saya.
Kali ini saya melamun. Entah mengapa, mendadak saya trauma dengan iklan-iklan komersil. Mengapa mereka tega menyakiti hari-hari yang seharusnya bisa saya lalui dengan tenang? Mengapa mereka tega membanjiri jalur informasi dengan sampah-sampah yang menstimulus hasrat untuk membeli? Terlebih yang menggelikan, mengapa mereka memaksa saya untuk membeli barang-barang yang tak pernah saya perlukan?
Iming-Iming dari makna simbolik
Jika realitas sosial adalah sebuah tubuh. Maka kapitalisme global telah menyuntikkan virus pada lapisan kulit paling dasar. Ujung suntikkan memuntahkan penyakit yang mengeleminiasi budaya lama dengan budaya baru. Budaya baru itu adalah budaya membeli.
Kita menjadi tidak gampang puas dengan apa yang telah kita miliki. Terus-menerus terpancing untuk mempunyai berbagai macam bentuk komoditas yang sebenarnya tidak pernah kita butuhkan. Sebenarnya kita sedang dipaksa memikirkan jika berbagai masalah dapat dipecahkan lewat komoditas yang ditawarkan oleh iklan.
Betapa tidak sadarnya kita, ketika membeli terdapat sebuah pola yang cenderung aktif. Pola tersebut telah mengendap dalam kesadaran kita dalam berbagai bentuk makna simbolik. Parade iklan yang terus-menerus diulang dalam media sosial membuat kita memaknai KFC itu gaul, Marlboro itu macho, dan sebagainya. Bayangkan saja jika sebagian temanmu menjadi sepasang sepatu Adidas yang sedang berjalan.
Ternyata sebuah produk dibeli hanya berdasarkan makna simboliknya saja. Makna simbolik tersebut pada akhirnya melebur dalam diri. Secara perlahan namun kejam menggeser identitas diri. Maka anda akan segera menjadi apa yang anda konsumsi.
Bukankah menakutkan sekali misalnya ketika kamu bertemu dengan seorang teman. Dia bilang baru pulang dari Pizza Hut. Kemudian dia bercerita banyak hal tentang bagaimana rapinya toko itu mengemas makanan. Terlebih dia bercerita pula tentang suasana di tempat itu yang benar-benar membuat nyaman. Lalu kamu bertanya, “Bukannya kamu tadi pamit cari makan ya? Gimana kenyang apa tidak makan di sana?”
Pastilah temanmu takkan memikirkan hal itu. Bisa jadi yang sebenarnya dia cari hanyalah atribut dari sebuah tempat yang telah dicitrakan berlebihan dalam iklannya. Bahkan makna simbolik citra itu akan menjadi dirinya. Dia yang berharap status sosialnya terangkat oleh ilusi iklan. Dalam artian yang paling sederhana, dia mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari golongan kelas atas yang terbiasa mengkonsumsi komoditas itu.
Pada intinya dia tidak sedang mengkonsumsi substansi material dalam Pizza Hut, akan tetapi substansi simbol kelas Pizza Hut. Maka dia takkan peduli seberapa lezat, mengenyangkan, dan mahalnya makanan itu. Karena yang penting lobang-lobang kepesimisan diri tertutupi dengan kasta baru.
Membuat kita mencandu hasrat
Atas nama percepatan ekonomi, mega mesin kapitalis senantiasa menderu dan siap melindas apa saja yang membuat dia terhambat. Karena globalisasi atau wajah lain dari kapitalisme internasional girang sekali menaklukan negara lain dengan cara ekspansi di jalur pasar. Maka dari itu mereka akan senantiasa mengacaukan irama laju kehidupan yang sebenarnya belum terlalu rapi.
Salah satu celah yang dimainkan oleh pasar adalah karena tak ada batas bagi pemenuhan kebutuhan hasrat. Konsumen dibuat untuk patuh secara terus-menerus dan berlaku kelipatan untuk mengkonsumsi makna simbolik dalam komoditas. Objek yang dikonsumsi tersebut menjadi medium untuk menyatakan identitas diri. Konsumen dibuat bangga pada status sosial, prestise atau wibawa yang dimainkan oleh sisi yang lain dari komoditas. Kemudian konsumen diatur untuk merayakan makna-makna simbolik sekaligus melupakan nilai fungsi dari sebuah komoditas. Maka pasar mengkonstruksi perubahan dari nilai guna ke arah nilai tanda. Otomatis semakin lenyaplah batas antara realitas dengan fantasi.
Wacana untuk giat mengkonsumsi merupakan salah satu jenis penipuan massa. Diam-diam aneka ragam bayangan dalam bentuk citra ditanam dalam komoditas. Pantaslah jika iklan menjadi tangan panjang yang tak tampak dalam mengendalikan selera massa. Pada akhirnya mereka akan mengkonstruksi cara berpikir kita. Karena bagi mereka, kepulan arus asap pabrik produksi harus berbanding lurus dengan daya keinginan mengosumsi yang tinggi.
Kepuasan hampa mempengaruhi persepsi kita melalu sistem syaraf tubuh. Tiap personal akan mudah diatur pola hidupnya. Kehidupan akan berubah menjadi panggung drama dan kita memainkan skenario yang telah disiapkan oleh tuhan pasar. Menjadi masyarakat sakhau yang tenggelam dalam budaya konsumsi.
Bagi Yasraf Amir, dalam era kekinian terjadi dromologi atau percepatan informasi dan pencitraan di dalam media. Pada saat yang bersamaan terjadi pula pendangkalan makna. Misalnya saja sebuah iklan yang mengatakan jika, “Orang pintar harus minum tolak angin”. Bukankah secara tidak langsung iklan tersebut juga mengatakan jika orang-orang pintar adalah orang yang sakit-sakitan. Sedangkan orang-orang bodoh adalah mereka yang mungkin sedang sehat. Menjemukkan sekali, mana ada hubungannya obat masuk angin dengan tingkat intelektual seseorang.
Guy Debord mengatakan, jika semua sisi kehidupan kini menjadi komoditi, dan semua komoditi jadi tontonan. Coba liat keluar sana, udara dicemari kemudian diciptakan tabung-tabung oksigen dengan daya tawar bahwa itu adalah udara segar yang ketika menghirup serasa di pegunungan. Masyarakat hidup dengan mengontrak tanah dan air saja harus membeli. Sumber daya alam diperkosa untuk diperjual belikan, lalu diganti dengan gambar pemandangan yang memanjakan ilusi.
Tumbuhan-tumbuhan diperjual-belikan, dengan bangga si pemilik beraneka macam tumbuhan menanamnya di pelataran rumah mereka. Dengan menggelembungkan dada menganggap merekalah yang sebenarnya cinta pada kelestarian lingkungan. Betapa tidak sadarnya mereka bahwa sebenarnya telah disulap menjadi mahluk konsumtif yang mengoleksi tanaman demi sebuah citra. Mall-mall dibangun menjulang tinggi yang menjadi kurungan demi menghidupi budaya massa yang konsumtif. Pasar para pedagang kaki lima ditendang sejauh mungkin demi ekspansi sirkulasi ekonomi yang stabil dan berlipat-lipat.
Oleh karena itu saya lebih memilih menjadi orang yang gila. Berupaya menunggangi diri sendiri dengan adonan pemikiran kritis. Bahwasanya kesadaran dari orang gila seperti saya akan lebih mudah menguliti pembodohan dari politik citra iklan yang berkembangbiak dimana-mana.
Aduh sial, saya lupa menghidupkan Handphone kembali.[]