Warung Kopi Pawon Carkelacer diramaikan oleh beberapa mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) pada Selasa (30/5). Komunitas Gelanggang mengadakan bedah novel Gidher bersama Arung Wardhana Ellhafifie sebagai pengarang novel Gidher, ditemani dengan Muhammad Roisul Kholis dan Herjuna sebagai pembedah novel.
Munculnya bahasa-bahasa vulgar di dalam novel Gidher, menjadi pembahasan pokok dalam acara bedah novel ini. Wardhana mengungkapkan pertimbangannya untuk memasukkan kata-kata vulgar ke dalam novelnya karena dianggap sebagai penguat karakter tokoh utama. “Ini bagian dari karakter Aku, kalau aku lepaskan misalnya cara makian dan bahasa-bahasa kelamin ini vulgar dihilangkan. Hilanglah karakter Aku,” jelas Wardhana kepada forum.
Tokoh Aku merupakan tokoh utama dalam Novel Gidher. Tokoh Aku dinarasikan sebagai seseorang yang melawan batasan-batasan mengenai stratifikasi sosial dikarenakan kekasihnya, tokoh Kau dijodohkan oleh orang tuanya dengan sesama keturunan bangsawan. Penindasan-penindasan itu membuat tokoh Aku mengalami kemerosotan mental dan menjadi gila. Gidher sendiri berasal dari bahasa Madura Bangkalan yang artinya setengah gila.
Wardhana melakukan riset ke beberapa rumah sakit jiwa untuk memperkuat karakter kegilaan tokoh Aku dalam novelnya. Kata-kata vulgar tersebut ia gunakan sebagai cara pelepasan depresi dan kegilaan serta pembangunan psikologis tokoh Aku. “Aku kira hal ini harus ada. Sehingga dengan cara itu akhirnya tokoh Aku berhasil melepaskan diri, berhasil melepaskan bayangan-bayangan kegilaannya, penindasan-penindasan terhadap tokoh Si Akunya,” jelas Wardhana. Ia juga mengaku sempat merombak novelnya dengan menghilangkan kata-kata vulgar tersebut, namun hasilnya ia menjadi kehilangan karakter sebenarnya dari tokoh Aku.
Ahmad Shidiq Putra Yuda memberikan tanggapan mengenai persoalan vulgar dalam novel Gidher. Ia tak mempersoalkan penggunaan kata-kata tersebut di dalam novel. “Bagiku gak ada istilah vulgar ketika ditekskan,” ungkap Yuda kepada forum. Ia menganggap pembahasan mengenai kata-kata yang dianggap vulgar di dalam novel Gidher bukan merupakan hal yang tabu untuk diungkapkan. “Kenapa itu dianggap tabu? Itu bagian dari tubuh kita dan keseharian kita,” ujar Yuda. []