Menggurat Visi Kerakyatan

Homogen

570

Sudah beberapa bulan ini, setiap kali menonton televisi atau ketika melihat sosial media, semua pembicaraan begitu homogen, seperti telah ada permufakatan sebelumnya. Dan segala gaduh-gaduh itu, tak lain berasal dari resonansi yang tunggal: para supporter calon presiden (Capres), adu tepuk tangan dan yel-yel bertagar dalam diskusi raksasa dunia maya. Berharap dengan diskusi, dapat memengaruhi peserta diskusi yang lain, padahal sendirinya sama-sama tahu, diskusi seperti apapun juga, semua akan tetap pada pegangan masing-masing.

Jenuh dengan copras-capres itu, saya mencoba menyingkir, dan warung bubur kacang ijo (Burjo) dekat kosan adalah tepian yang saya pilih. Awalnya berhasil, sampai akhirnya tanpa sengaja saya membaca selembar koran tentang Panglima Laskar Jihad Ja’far Umar Thalib, tanpa tedeng aling-aling sesumbar siap perang melawan pluralisme. Artikel di Koran itu sontak mengingatkan saya pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang beberapa waktu lalu juga menggelar “Konferensi Islam dan Peradaban 1435 H/2014 M” yang konon serentak di tujuh puluh kabupaten/kota di seluruh Indonesia, dengan slogannya yang menggemaskan: Indonesia Milik Allah.

Alih-alih berhasil menepi, saya malah iseng menghubung-hubungkan isi koran itu dengan momen pemilihan presiden (Pilpres). Golongan-golongan ekstrim kanan tiba-tiba saling berbagi oportunisme yang sama, heboh sendiri seperti tukang obat di tengah ramainya pasar, berteriak-teriak minta diperhatikan oleh khalayak yang sedang bergaduh perihal Pilpres. Jika memang ini ada hubungannya dengan Pilpres, semakin menguatkan kesimpulan bahwa Indonesia memang masih gini-gini aja: isu sektarian yang seharusnya telah menjadi makanan basi, masih terus dihangat-hangatkan.

Jika kita mundur beberapa bulan lalu, mudah sekali dijumpai stiker bergambar wajah Pak Harto, lengkap dengan kalimat tanya, “Piye kabare, Le, enak jamanku to?” Silakan saja jika mau berspekulasi tentang pihak mana yang repot-repot membuat lay out, mencetak menjadi stiker, lalu membagi-bagikannya keangkutan kota, bus antar kota, dan truck lintas pulau.Yang jelas, stiker-stiker itu bukan tanpa maksud.

Lantas apa hubungan HTI dan Ja’far Umar Thalib dengan stiker Pak Harto? Untuk menjawabnya, kita perlu mundur lagi lebih jauh ke zaman VOC, ketika jawara dari kalangan pribumi banyak dipelihara sebagai centeng untuk melawan pribumi lainnya. Dari VOC, tradisi centeng is me ini diteruskan di masa kolonial, baik oleh Inggris, Hindia Belanda, bahkan Jepang. Kekuasaan dilanggengkan dengan meminjam tangan rakyat untuk menabok rakyat yang lain, nabok nyilih tangan.

Dan Orde Baru (Orba) adalah pewaris tradisi nabok nyilih tangan ini, di mana Indonesia pasca-1965, adalah Indonesia yang subur dengan organisasi kepemudaan. Pemerintah atas nama stabilitas, memelihara geng-geng yang langsung dibina oleh militer. Tujuannya sangat strategis dan multi fungsi, dari urusan pembebasan lahan, meredam protes, sampai pembersihan paham-paham yang tak dikehendaki Orba, yang minoritas dipaksa mengikuti mayoritas, masyarakat diseragamkan agar mudah dikendalikan, perbedaan-perbedaan diminimalkan, yang heterogen dihomogenkan, yang bhinneka dipaksa menjadi eka. Orba memang sengaja menumpulkan kesadaran politik rakyatnya, juga terhadap konsep keberagaman.

Sekarang, satu setengah dekade berlalu setelah reformasi yang heroik itu menumbangkan Orba, tapi kenapa konflik-konflik horizontal berlatar belakang perbedaan etnis maupun agama, justru lebih sering muncul, lebih sistematis dan telanjang, dengan agenda politik yang teramat kasat mata? Tiga kali sudah Pemilu digelar setelah rezim Orba ditumbangkan, kenapa tak juga mampu melahirkan pemerintah yang mampu mengobati penyakit peninggalan Orba?

Jika geng a la Orba adalah perpanjangan tangan pemerintah, geng pasca-Orba tak selalu punya hubungan istimewa dengan penguasa. Kesejahteraan tak kunjung meningkat, sumpek karena kebutuhan hidup, sementara lapangan kerja semakin sempit, adalah kombinasi yang membuat masyarakat mudah kemrungsung. Banyaknya golongan yang gelisah inilah yang lantas diorganisir menjadi geng-geng kemrungsung,mudah dimobilisasi untuk turun ke jalan, perbedaan digesek-gesek sebagai pemantik, membakar ketakutan kepada yang liyan.

Eric Hobsbawn, sejarawan Inggris, pernah mendefinisikan ciri-ciri fasisme di Italia dan Jerman dalam bukunya “The Ages of Extremes A History of the World” (1994), salah satunya adalah gemar mengagung-agungkan kejayaan masa lalu sebagai solusi terhadap krisis sosial yang sedang berlangsung. Seperti slogan di stiker-stiker “Piye kabare, Le, enak jamanku to?” yang merindukan Orba, begitu juga golongan ekstrim kanan yang gagal move on dari khilafah yang dulu “pernah” jaya.

Dan 9 Juli nanti adalah Pilpres keempat sejak Pak Harto diturunkan, dan untuk Pilpres yang tinggal hitungan hari itu, pertanyaan yang patut dikemukakan di antaranya adalah: adakah Capres yang membahas hal-hal semacam ini dalam visi misinya? Masih adakah harapan untuk keberagaman? Atau justru akan melahirkan Orba jilid dua? Mengingat banyaknya angka Golput yang sudah-sudah, jangan sampai ini menjadi pertanda bahwa masyarakat telah terlalu lelah dengan harapan yang ditawarkan oleh Pemilu.[]

 

Penulis: Taufiq, Pegawai negeri  yang jatuh cinta kepada marxisme, mengaku suka sastra meski gak ngerti-ngerti banget, boleh disapa  di Twitter: @trendingtopiq ; dan WordPress: trendingtopiq.wordpress.com

Leave a comment