Menggurat Visi Kerakyatan

Mengorbankan Bumi Demi Solusi Tak Mau Repot

Ilustrasi keadaan gedung G dulu dan sekarang (Cahya/Ideas)
6,312

Beberapa bulan lalu, saya berkali-kali didesak teman saya untuk menulis esai memuat kritik dan saran terhadap jajaran Dekanat Fakultas llmu Budaya (FIB) mengenai fasilitas gedung G FIB. Menurut dia, juga beberapa teman yang lain, suara kipas angin di gedung G sangat mengganggu jalannya perkuliahan.

Kipas angin itu memang menyejukkan (walau menurut segelintir mahasiswa masih terasa kurang sejuk), tapi di lain sisi, ternyata malah menimbulkan masalah baru: polusi suara.

Selain soal kipas angin, teman lainnya mengeluhkan suara bising mahasiswa di depan gedung G. Meskipun mereka yang lewat mengetahui di dalam kelas sedang terlaksana proses belajar-mengajar, kadang mereka bodo amat dan merasa tidak mengganggu. Tetapi kadang memang tidak tahu.

Saya tidak ingat keluhan-keluhan apa lagi yang teman-teman sampaikan kepada saya, yang mereka harapkan saya tulis pada sebuah esai yang “julid”. Jujur saja saya tidak berbakat julid, dan sampai berbulan-bulan setelahnya, saya tak kunjung menulis esai pesanan itu.

Dan kali ini, saya benar-benar menulisnya. Tapi maaf agak tidak sesuai pesanan.

Beberapa hari lalu, saya kembali berkuliah di gedung G setelah dua bulan liburan. Saya terkejut mendapati ruang kelas itu kini dihiasi air conditioner (AC). Saya tidak menulis esai, tidak pula menyampaikan keluhan-keluhan ke Dekanat dengan cara lain, tapi tak disangka Dekanat memahami perasaan mahasiswa. Atau barangkali ini ulah teman-teman saya? Mereka mengkritik tanpa saya? Bisa jadi. Oh, mungkin suara kipas dan suhu ruangan juga dikeluhkan para dosen.

Sebenarnya ini bukan tentang kipas angin lagi. Esai ini memelototi AC itu. Saya tidak puas dengan problem solving yang ditempuh Dekanat untuk mengatasi kipas angin.

Mari mundur ke belakang sebentar.

Beberapa tahun silam, Banyuwangi membangun bandar udara yang ditahbiskan sebagai bandara hijau pertama di Indonesia. Selain taman-taman hijau dan atapnya yang berumput, yang juga dibangga-banggakan adalah sebagian besar ruangannya tidak menggunakan AC. Sesuatu yang jarang diterapkan, mungkin di seluruh bandara di Indonesia.

Yang lebih baru, gedung G Kementerian PUPR dibangun dengan konsep ramah lingkungan. Estimasi penggunaan listriknya mencapai 59% lebih hemat dibanding Intensitas Konsumsi Energi (IKE) rata-rata gedung perkantoran. Penggunaan airnya 71,7% lebih irit dibanding IKE Standar Nasional Indonesia (SNI)1.

Contoh pembangunan dua gedung berkonsep green building oleh elemen pemerintahan tersebut, nyatanya merupakan satu bukti betapa krisis iklim menjadi orientasi krusial dalam memecahkan masalah suhu ruangan. Seandainya para arsitek dan pemegang wewenang Bandara Banyuwangi tidak mau repot memikirkan konsep hijau yang asing dan mungkin tidak praktis, mereka akan memasang AC; cara paling mudah mengatasi suhu panas dalam ruangan. Tapi, menyadari dampak buruk AC terhadap lingkungan dan kebutuhan energinya yang tidak sedikit, mereka lebih memilih repot-repot memikirkan desain arsitektur hijau daripada ‘ambil gampang’ dengan memasang AC.

Dalam laporannya, International Energy Agency (IEA) memprediksi selama 30 tahun ke depan jumlah AC di seluruh dunia akan naik tiga kali lipat. Bertepatan dengan itu, penggunaan AC harus bertanggung jawab atas 15% dari total keseluruhan emisi karbon di bumi. Kenaikan ini tidak lepas dari ketergantungan manusia terhadap alat instan pengatur suhu ruangan tersebut. Padahal, terdapat tiga jenis gas rumah kaca penghasil emisi karbon yang terkandung dalam penggunaan AC2.

Memang benar, AC masa kini telah mengganti kandungan Klorofluorokarbon (CFC) dengan Hidrofluorokarbon (HFC) yang dinilai lebih ramah lingkungan kecuali saat AC bocor. Usaha tersebut mematuhi Montreal Protocol, traktat internasional tahun 1987 tentang perlindungan lapisan ozon, salah satunya dengan melarang penggunaan CFC. Nyatanya, kebutuhan AC akan energi listrik yang besar turut mendukung sektor energi sebagai sektor dengan emisi paling merusak bumi, yakni berjumlah 73,2% dari total emisi karbon.

Arsitektur hijau kini tidak hanya sebuah tren dan keinginan latah. Telah dijumpai banyak eksperimen green building yang dikembangkan firma-firma arsitektur demi membangun bumi dengan ramah lingkungan. Peperangan terhadap krisis iklim telah menjadi sebuah visi ambisius berbagai unsur kepentingan, termasuk institusi pendidikan. Mungkin inilah solusi yang seharusnya ditempuh oleh FIB dan Unej secara umum dalam mengatasi suhu ruangan.

Sekolah Terpadu Pahoa di Tangerang bisa menjadi contoh terbaik. Dalam sebuah liputan oleh DW Indonesia, Adi Purnomo, arsitek perancang sekolah tersebut, menyebut desain sekolah ini sebagai desain pasif (passive design). Gedung sekolah memanfaatkan cahaya matahari dan angin di sekitar gedung untuk mengatur pencahayaan dan suhu ruangan3.

Caranya adalah dengan menciptakan ventilasi bersilang yang mempertimbangkan jalur matahari dan gerak angin tahunan. Kipas angin dihidupkan hanya jika tidak ada angin sama sekali, itu pun menggunakan watt yang rendah. Proses penyejukan ruangan juga memanfaatkan tanaman di dinding dan rumput di atap, sehingga tidak menggunakan AC sama sekali.

Visi Theresia Mareta, kepala proyek sekolah itu sangat jelas: membuat siswa terbiasa dengan iklim alamiah, bukan terus-terusan disediakan ruangan berAC. Dan akhirnya, Sekolah Pahoa berhasil mengurangi 50% energi dibanding rata-rata sekolah di Indonesia pada umumnya.

Civitas akademika Universitas Jember (Unej) boleh berbangga dengan kawasan hijau Unej yang menyumbang 195,19 ton oksigen perhari. Tapi, kita juga tidak boleh berhenti khawatir dan menampik mentah-mentah kenyataan: berapa emisi karbon yang dihasilkan lampu yang dihidupkan; AC yang mendinginkan ruangan; laptop, HP, dan komputer yang tersambung listrik; serta kendaraan berbahan bakar fosil yang lalu lalang di bawah pepohonan Unej yang rindang itu?

Saya hanya bermaksud mengajak pembaca untuk berpikir reflektif tentang masa depan bumi. Bertepatan dengan aksi di beberapa kota di Indonesia pada Jumat, 3 Maret 2023 lalu, dalam rangka Jeda Iklim Global atau Global Climate Strike Indonesia 2023.

 

 

Referensi:

1 Diambil dari tulisan berjudul Terapkan Konsep Gedung Hijau, Gedung G Kementerian PUPR Terima Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi Tahun 2022 https://pu.go.id/berita/terapkan-konsep-bangunan-gedung-hijau-gedung-g-kementerian-pupr-terima-penghargaan-subroto-bidang-efisiensi-energi-tahun-2022

2 Diambil dari tulisan Riz Afrialldi berujudul Dilema AC Mendinginkan Ruangan, Meningkatkan Suhu Bumi https://www.cxomedia.id/science/20220521010800-43-174929/dilema-ac-mendinginkan-ruangan-meningkatkan-suhu-bumi

3 Diambil dari tulisan berjudul Bangunan Sekolah Berdesain Pasif di Indonesia https://www.google.com/amp/s/amp.dw.com/id/bangunan-sekolah-berdesain-pasif-di-indonesia/a-64746131

4 Diambil dari tulisan berjudul Universitas Jember Sumbang 195,19 Ton Oksgen Perhari https://unej.ac.id/blog/2019/11/20/universitas-jember-sumbang-19519-ton-oksigen-perhari/

Leave a comment