Menggurat Visi Kerakyatan

A Taxi Driver, Sebuah Keberanian Menyuarakan Sejarah Kelam Korea

5,026

“Kami berjuang untuk keadilan! Hidup dan mati bersama! Kami lebih suka mati berdiri daripada hidup berlutut! Kami memperjuangkan keadilan! Warga Gwangju bersatu!” Para mahasiswa menyanyikan yel-yel di atas truk yang berjalan menuju rumah sakit. Mereka bersemangat ketika seorang wartawan mengambil gambar saat sedang berdemonstrasi. Ada sebuah harapan bahwa keadilan akan segera menghampiri mereka.

Judul Film       : A Taxi Driver

Sutradara         : Jang Hoon

Tanggal Rilis   : 02 Agustus 2017 di Korea Selatan

Skenario          : Eom Yu-na

Durasi Film     : 2 jam 17 menit

Di ujung sebuah gang beberapa mata mengintip ke arah jalan raya. Mereka menyaksikan beberapa orang yang terluka tergelepar di tengah jalan. Beberapa orang yang masih mampu berjalan berusaha menyelamatkan diri, namun peluru sudah lebih dulu menembus pinggang dan perut mereka. Teriakan histeris mewarnai kejatuhan mereka. Pemuda berambut gondrong yang memakai ikat kepala keluar dari gang sembari membawa bendera putih. Ia mengayunkan bendera tersebut, namun timah panaslah yang menyambut kedatangannya. Seorang sopir taksi yang turut menyaksikan kejadian tersebut menatap ke arah aparat keamanan yang masih siaga dengan senjata apinya. “Bagaimana mereka bisa menembak orang begitu saja?” ungkapnya tak percaya.

Begitulah adegan dalam film A Taxi Driver pada menit ke 102. Film yang disutradarai oleh Jang Hoon ini menceritakan kisah wartawan Arbeitsgemeinschaft der öffentlichrechtlichen Rundfunkanstalten der Bundesrepublik Deutschland (ARD-nDR) Jerman yang meliput konflik. Ia bernama Jürgen Hinzpeter, yang diperankan oleh Thomas Kretschmann.

Sebelum menyutradarai A Taxi Driver, Jang Hoon telah menyutradari beberapa film yaitu, Rough Cut, Secret Reunion, dan The Front Line. Rough Cut bercerita tentang kehidupan seorang gengster, Secret Reunion mengisahkan kehidupan dua orang mata-mata negara, sementara The Front Line merupakan film yang mengisahkan Perang Korea 1953.

A Taxi Driver merupakan film keempat karya Jang Hoon yang memiliki latar cerita di Gwangju pada tahun 1980. Pada saat itu Korea Selatan dipimpin oleh Chun Doo-hwan. Sebelumnya, Korea Selatan dipimpin oleh Presiden Park Chung Hee. Dalam pemerintahan Park Chung Hee berlaku Konstitusi Yushin yang memungkinkan presiden Korea Selatan untuk berkuasa dalam waktu yang tidak terbatas. Konstitusi tersebut ditetapkan sejak 1972.  Kepemimpinan Park Chung Hee cenderung bersifat otoriter. Rezim pemerintahan ke empat Korea Selatan dimulai pada 1979. Chun Doo-hwan yang merupakan kolega Park Chung Hee menjadi presiden Korea Selatan, setelah melakukan kudeta terhadap pemerintahan Korea pasca kematian Park Chung Hee pada 1979. Hubungan antara Amerika dan Jepang dengan Korea Selatan membaik pada masa pemerintahan Chun Doo-Hwan.

Pada 17 Mei 1980 hukum Martial (Martial Law) atau darurat militer mulai diberlakukan di Korea Selatan. Tidak disebutkan alasan diberlakukan hukum martial ini. Akibat dari diberlakukannya darurat militer adalah universitas-universitas di Korea Selatan ditutup, kebebasan pers dirampas, dan kegiatan-kegiatan politik ditiadakan.

Pemberlakuan darurat militer membuat mahasiswa di Korea Selatan geram. Mahasiswa yang berada di Seoul maupun di daerah-daerah lain di Korea Selatan melakukan aksi demonstrasi.

Demonstrasi rakyat dan mahasiswa juga terjadi di kota Gwangju, kota yang berada di bagian selatan Korea. Tak ada satu artikelpun yang menggambarkan kondisi di Gwangju saat itu, bahkan koran lokal dari Gwangju mengalami penyensoran penuh.

Hinzpeter semakin resah dengan kondisi tersebut. Ia ingin segera pergi ke Gwangju. Ia pergi ke Gwangju menggunakan taksi yang telah disewa oleh kenalannya. Di sinilah awal pertemuannya dengan seorang sopir taksi dari Seoul yang diperankan oleh aktor Song Kang Ho. Sopir taksi inilah yang akan mengawal perjalanannya sepanjang meliput konflik yang terjadi di Gwangju. Sopir taksi yang menemani Hinzpeter adalah seseorang yang apatis terhadap kondisi politik di negaranya sendiri.

Roda perekonomian di Gwangju terhenti, toko-toko ditutup. Mahasiswa-mahasiswa sibuk berdemonstrasi. Situasi semacam ini pernah pula terjadi di Indonesia. Pada 1998, 18 tahun setelah perjuangan rakyat Gwangju menuntut keadilan, hal serupa terjadi di Indonesia mahasiswa tumpah ruah ke jalanan. Mereka melakukan demonstrasi, menuntut Soeharto yang dinilai otoriter turun dari jabatannya.

Demonstrasi dari mahasiswa yang bertujuan untuk menyalurkan aspirasi, seringkali mendapat respons negatif dari pemerintah. Kebanyakan dari mereka justru mendapat tindakan represi dari aparat militer. Hal itu bukan hanya terjadi di Gwangju pada 1980 dan di Indonesia pada 1998, akan tetapi juga masih terjadi dewasa ini.

Alur cerita dalam A Taxi Driver berkolerasi dengan apa yang terjadi di Indonesia baik di masa lalu maupun di masa sekarang. Rakyat merasa terkekang, kemudian melakukan demonstrasi, dan aparat militer menggunakan dalih komunisme dan komunis untuk membenarkan upaya penekanan, penindasan, ataupun pengekangan terhadap rakyat.

Sopir taksi yang menemani Hinzpeter selama melakukan peliputan di Gwangju sempat pula mengalami tindakan represi dari aparat militer. Dalam upaya penyelamatan diri, ia sempat menyaksikan banyak laki-laki yang bertelanjang dada tengah dipukuli oleh aparat negara. Sopir taksi tersebut berlari menjauh dari aparat keamanan yang tengah mengejar dirinya. Ia melewati lorong-lorong penuh asap berwarna jingga. Pada akhirnya ia tetap tertangkap. “Di mana kau akan lari?” Si aparat keamanan membentak sembari terus memukul sopir taksi. “Ampuni aku, aku bukan komunis!” Sopir taksi itu mulai mengiba, namun si aparat militer justru memukulnya lebih keras dan mencekiknya menggunakan tongkat hitam. Dalam kejadian tersebut, Jae Sik seorang mahasiswa yang membantu Hinzpeter berkomunikasi dengan rakyat Gwangju harus rela meregang nyawa. Ia dibantai hingga diseret dan kemudian mayatnya dibuang di sawah.

Sopir taksi tersebut merupakan bagian dari rakyat yang seharusnya dilindungi, akan tetapi lagi-lagi komunis dianggap sebagai alat pembenaran untuk melanggengkan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Apa yang terjadi pada Jae Sik juga terjadi di Blitar, Indonesia pada Oktober 1965. Saat itu terjadi kasus pembunuhan kilat dan pembunuhan di luar proses hukum kepada rakyat yang disangka sebagai komunis.

20 Mei 1980 beberapa wartawan Gwangju akan menerbitkan berita mengenai apa yang terjadi di Gwangju, akan tetapi tiba-tiba terjadi pemboikotan. Mesin-mesin produksi koran dimatikan dan beberapa wartawan dipaksa keluar dari ruang cetak. Pada 1982 kejadian hampir serupa terjadi di Indonesia. Majalah tempo mengalami pembredelan, karena dianggap terlalu tajam dalam mengkritik pemerintahan orde baru. Tak tanggung-tanggung, majalah tempo mengalami dua kali pembredelan, yaitu pada 1982 dan 1994. Majalah Pers Mahasiswa SAS juga mengalami pembredelan pada 1994 karena mewawancarai sastrawan Pramoedya Ananta Toer, yang dianggap menganut komunisme. Begitulah cara kerja rezim otoriter, mengekang segala bentuk pandangan yang dianggap tak sejalan dengan pemerintah.

Setidaknya perjuangan sopir taksi, Hinzpeter, mahasiswa, dan semua rakyat Gwangju saat itu berhasil terdokumentasikan. Kemudian difilmkan dan ditonton oleh beribu pasang mata di dunia ini. Bahkan film yang diproduseri oleh Park Un-kyoung dan Choi Ki-sup ini berhasil menyabet beberapa penghargaan. Di Asian World Festival (AWF) ke tiga, A Taxi Driver berhasil meraih kategori best picture. A Taxi Driver juga terpilih menjadi nominator Best Foreign Language Film dalam Academy Awards ke-90, selain itu film ini juga berhasil meraih penghargaan kemanusiaan “Dr. Kim’s Can Do She Can Do”.

Sementara kisah kelam korban pelanggaran HAM di Indonesia karena isu komunisme hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Hingga 30 September 2018, film yang boleh dipertontonkan untuk rakyat Indonesia hanya Penumpasan dan Pengkhianatan G30S/ PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer. Pada 11 Oktober 2017 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aktualita menggelar diskusi film Shadow Play. Panitia yang mengadakan diskusi film tersebut mengaku bahwa merasa dipersulit ketika berusaha mendapat perizinan di dekanat Universitas Muhammadiyah, Jember. Hal tersebut membuktikan bahwa masih ada kekhawatiran mengenai terkuaknya cerita kelam tentang catatan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Dari film A Taxi Driver penonton bisa tahu bagaimana perbedaan sudut pandang mengenai apa yang terjadi di Gwangju dari sisi rakyat di luar Gwangju, rakyat Gwangju, dan wartawan. Hinzpeter memperoleh sebuah penghargaan berkat liputannya di Gwangju, hingga akhir hayatnya Peter tak berhasil menemukan siapa nama asli sopir taksi yang mengawal perjuangannya mengabadikan kejadian di Gwangju. Saat mereka berpisah, sopir taksi itu mencatat bahwa namanya adalah Kim Sa Book. Setelah ditelusuri oleh salah satu rekan Hinzpeter, ternyata Sa Book adalah salah satu merk rokok di Korea.

Di akhir film Hinzpeter dan sopir taksi yang bersamanya di Gwangju tetap tidak dapat bersua. Padahal di adegan sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa mereka bersahabat. Seharusnya hubungan emosional mereka akan memberikan cukup motivasi kepada si sopir taksi untuk berusaha menemui Hinzpeter. Akhir yang seperti ini bagi saya merupakan akhir cerita yang menggantung, ada pertanyaan-pertanyaan yang justru bermunculan setelah menonton film ini. Mengapa Sa Book tak ingin identitas aslinya diketahui? Mengapa ia tak pernah berusaha menemui Hinzpeter, sahabatnya ketika ia tahu Hinzpeter berada di Korea?

Setelah menyaksikan film berdurasi 2 jam 17 menit ini, mata saya menjadi bengkak. Ketika mencoba memutar ulang film ini untuk kedua atau ketiga kalinya tetap saja saya dibuat meneteskan air mata pada menit ke 102, kediktatoran di manapun lokasi dan kapanpun waktu terjadinya akan selalu memiliki pola yang sama.[]

Leave a comment