Memoar Alfonso
Alfonso mati bunuh diri. Begitulah buah bibir yang bertebaran dari kampung ke kampung, dari desa ke desa, dari pasar ke pasar hingga nun jauh tersebar. Barangkali buah bibir tentang kematian tak akan secepat itu meluber jika yang meninggal bukan Alfonso.
“Siapa yang meninggal?”
“Alfonso.”
“Alfonso Si Gila itu?”
“Ya, betul!”
“Alfonso si tukang ngigau?”
“Ya, betul!”
Kabar tersebut sempat menghebohkan siapa saja yang mendengar dari segala penjuru. Tetapi tetap saja, pembicaraan seputar Alfonso memang bukan perkara yang baru, apalagi jika berbicara tentang dirinya yang menggilai Sumini, anak gadis seorang tetua dukun sihir, Ki Bejo.
-0-
Tiga hari sebelum mayatnya ditemukan, penduduk tak melihat batang hidung Alfonso. Terkadang ia berjalan memutari desa dan menyapa penduduk desa. Hingga suatu pagi penduduk mendatangi rumahnya dan menemukan mayatnya bergelantungan tak bernyawa pada batang pohon mangga golek di pekarangan rumahnya. Alfonso meninggal dengan cara yang amat sangat tragis. Tubuhnya yang ringkih menjadi semakin ringkih.
Penduduk yang bergotong royong menurunkan tubuhnya sempat tak kuat dengan bau bacin yang keluar dari telinganya, hampir-hampir membusuk. Kengerian pada wajah Alfonso lebih terlihat jelas saat dia meninggal, atau bahkan lebih mengerikan. Tidak ada yang bisa membayangkan kengerian yang terlihat pada wajahnya.
Kematiannya tidak pernah disangka-sangka. Tidak ada yang tahu mengapa Alfonso nekat melakukan hal yang demikian. Kabar kematiannya menyebar ke segala arah, hingga berujung pada perkara kisah cintanya yang pelik dengan Sumini, anak Ki Bejo. Sumini dan Alfonso bak sebuah film roman yang sudah dapat ditebak akhir ceritanya. Siapa yang tak tahu cerita tentang dua sejoli yang sempat menggegerkan penduduk desa dan seisinya itu?
Jauh hari sebelum penduduk mulai melihat ada gelagatnya yang aneh hingga di saat akhir hayatnya, penduduk sudah memprediksi perihal tanda bahwa Alfonso tengah jatuh cinta kepada Sumini. Sumini memang seorang kembang desa. Kecantikannya membuat para pemuda mana saja yang melihatnya ingin memilikinya, Alfonso salah satunya. Penduduk yang mengetahui hal tersebut sampai terheran-heran.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Sumini. Hanya saja siapa yang berani menaruh hati kepada Sumini? Buah cinta Ki Bejo seorang dukun sihir itu. Sumini merupakan buah karya satu-satunya dari seorang dukun sihir Ki Bejo dan istrinya. Penduduk tak ada yang berani mencari perkara dengan Sumini, apalagi Ki Bejo. Saling adu pandang dengan Sumini saja tidak ada yang mempunyai nyali, terlebih lagi sampai jatuh hati. Tak terkecuali Alfonso, si pria nekat yang dapat membelalakkan mata selama tiga jam tanpa berkedip saat bertemu Sumini.
Kedekatan Alfonso dan Sumini bermula saat rapat bersih desa. Alfonso dan Sumini duduk saling berhadapan. Alfonso terdiam cukup lama sembari menatap Sumini lekat-lekat tanpa berkedip. Sumini yang mengetahuinya hanya terdiam kaku membalas tatapan mata Alfonso. Mata mereka saling beradu dan hati mereka saling bersautan hingga menyisakan rona merah pada pipi halus Sumini. Alfonso berhasil menjadi kapal yang berlabuh di hati Sumini.
“Lihat mereka berdua sedang beradu pandang.” Bisik salah seorang penduduk kepada penduduk lain.
“Mereka berdua sedang jatuh cinta.”
“Seperti remaja yang sedang dirundung kembang asmara.”
Pertemuan itu berhasil membuat otak Alfonso setengah tidak berfungsi. Hampir-hampir tidak waras. Tingkahnya semakin aneh dan membingungkan. Terkadang Alfonso dan Sumini kerap saling beradu pandang tanpa sungkan. Kabar tersebut cepat meluas berkat buah bibir penduduk yang serba menyambar. Kabar seputar Alfonso yang jatuh hati kepada anak gadis seorang dukun sihir terdengar sampai ke gendang telinga Ki Bejo melalui para kacungnya.
Para kacung Ki Bejo dinilai lihai dalam menyebarluaskan berita yang beredar di desa. Meskipun Ki Bejo jarang menegur penduduk karena sibuk meningkatkan kesaktiannya, ia tak pernah ketinggalan berita sedikit pun. Terutama berita tentang anaknya Sumini yang pasti membuat bersungut-sungut seketika.
“Apa kau bilang? Sumini buah cintaku?” Sergah Ki Bejo.
“Nggih, Ki. Menurut kabar dari orang pasar begitu.” Jawab salah satu kacung.
“Tak mungkin Sumini jatuh cinta kepadanya. Aku mengenal anakku.”
“Menurut penduduk dusun sebelah juga demikian, Ki.”
“Aku tak mempercayai mulut murah kalian semua! Sekarang kalian panggil dia yang berani jatuh hati kepada Sumini, anakku. Alfonso harus menghadap padaku besok pagi. Aku ingin tahu apa memang berita tersebut demikian adanya.”
Para kacung hanya mengangguk dan segera pergi ke rumah Alfonso untuk menyampaikan pesan Ki Bejo. Lagi-lagi tak sampai sehari berita tentang Ki Bejo yang murka akibat Alfonso mencintai anaknya menyebar dengan sangat luasnya. Banyak penduduk yang bergunjing. Bahkan ada yang berencana memasang lot-lotan siapa yang akan menang. Apakah Ki Bejo akan merestui atau Alfonso akan disihir sampai mati.
“Aku akan memasang sebuah kambing untuk memilih Alfonso disihir sampai mati.” Seorang penduduk memulai.
“Aku percaya keris milik Ki Bejo sakti mandraguna. Alfonso akan menyerah sampai ubun-ubun. Aku juga akan memasang ayamku yang bisa bernyanyi untuk memilih Ki Bejo.”
“Ya, keris itu sakti. Alfonso tak mempunyai kesaktian apa-apa. Ia tak dapat menandingi kesaktian Ki Bejo. ”
Begitulah penduduk desa dengan segala keanehannya memilih Ki Bejo atas dasar keris sakti mandraguna. Ki Bejo hanyalah seorang biasa yang memiliki kelebihan membaca sesuatu yang tak nampak dan mengobati penyakit ayan serta mampu memantrai siapa saja. Hal yang membuat Ki Bejo terpandang adalah keris kecil yang selalu dibawanya. Bagi penduduk desa, keris kecil Ki Bejo sangat mistik.
“Kecil tapi mistik.” Tukas salah seorang yang pernah berobat pada Ki Bejo.
Keris kecil tersebut bukan sembarang keris. Keris itu sangat mistik. Seorang dukun desa sebelah menyebut keris milik Ki Bejo keris ajaib. Perihal Ki Bejo dan keris kecilnya telah banyak menjadi sorotan. Konon katanya keris tersebut didapat Ki Bejo saat bertapa di Gua Lawa. Ada juga yang menyebutkan keris itu peninggalan tetua desa yang sudah meninggal. Dan masih banyak lagi cerita versi yang lain yang masih diragukan kebenarannya.
Jika keris tersebut membuat sebagian penduduk takut, berbeda dengan Alfonso. Ia tetap mantap pergi ke rumah dukun sihir itu saat matahari belum meninggi. Ki Bejo dan Sumini terlihat sedang duduk di teras, sedang beberapa orang dari kejauhan tengah berosrak-sorak. Ki Bejo melihat ke arah keramaian dan memicingkan mata. Terlihat Alfonso berjalan dengan tenangnya. Ki Bejo terkejut dan menyuruh Sumini untuk tetap duduk di tempat duduknya.
“Waah, kau datang terlalu pagi Fonso.” Kata Ki Bejo sembari mempersilahkan Alfonso duduk di teras.
“Jadi sepagi ini kau datang?” tambah Ki Bejo.
“Ya, Saya yakin karena saya barusan bermimpi, Ki.”
“Bermimpi apa kau anak muda?” tanya Ki Bejo.
“Saya bermimpi melihat rembulan jatuh lalu melompat-lompat seperti bola.”
“Wah, sepertinya kau akan kesusahan.” Jawab Ki Bejo sembari menyeringai kuda.
“Tidak, tidak, tidak benar-benar jatuh.”
“Wah, jika saya mengamati, saya yakin kau akan mengalami kesusahan Alfonso.”
“Saya tidak percaya. Saya yakin saya akan beruntung.”
“Baiklah, baiklah. Langsung saja, menurut para kacung. Kau menyukai buah cintaku Sumini. Apa itu benar?”
“Ya, Ki. Itu benar.”
“Lalu bagaimana dengan kau Sum?” tanya Ki Bejo kepada anak semata wayangnya. Sumini hanya terdiam dan menunduk tak berkata tetapi jari-jarinya seolah memberi isyarat bahwa hal tersebut juga dirasakan pula oleh Sumini. Ki Bejo tampak kesal melihat tingkah anaknya.
“Baiklah! Saya ingin menanyakan tanggal lahirmu, Fonso. Saya ingin menghitung apakah jumlahnya pas.”
“Maaf, Ki? Tanggal lahir? Untuk apa?”
“Untuk menghitung.”
Alfonso terdiam cukup lama sedangkan Ki Bejo meringis sembari menyentuh jenggotnya. Ki Bejo menanyakannya kembali dan Alfonso hanya menggeleng-gelengkan kepala tanda ia lupa atau malah tidak tahu. Ki Bejo seketika menyuruhnya pergi dan menghardiknya sebagai anak yang lahir dari rahim jin. Alfonso pergi dengan tangan hampa. Barangkali memang benar bahwa mimpinya telah membawanya pada kesialan.
Penduduk melihat Alfonso merasa benar-benar iba. Beberapa orang lain merasa sangat wajar karena Alfonso datang dari negeri jauh. Negeri para luthung putih, kata salah seorang penduduk. Pawakannya yang besar dengan bulu kulit yang berwarna putih membuatnya berbeda dengan penduduk pada umumnya. Menurut beberapa dukun, Alfonso datang pertama kali ke desa bersama beberapa awak. Tepatnya beberapa tahun silam tak ada yang mengerti tanggal pastinya, namun saat itu laut sedang tidak bersahabat.
Dukun sakti yang sudah meninggal telah memprediksi tentang kedatangan kapal yang berlayar mendekati pantai desa. Menurut pitungan dan penafsiran dukun saat itu adalah hari yang buruk untuk seseorang pergi berlayar. Tetapi kapal itu datang membelah ombak lautan lalu menautkan kapalnya pada bibir pantai. Beberapa awak kapal yang datang dilanda wabah bibir penuh dengan koreng, begitu pula dengan Alfonso. Setelah mereka sembuh, mereka bergegas pergi saat malam petang. Meninggalkan Alfonso. Tak ada yang tahu mereka bergegas pergi. Tak ada yang tahu mengapa semua awak meninggalkannya seorang diri di desa.
“Mungkin para awak melupakannya. Karena jumlahnya yang banyak. Dan para awak tersebut bodoh. “
“Ya! Betul juga! Para awak tersebut tak ada yang bisa berhitung. Tidak bisa membaca”
“Ah tidak mungkin! Mungkin saja memang ditinggalkan agar kapal yang besar tersebut tidak berat. Menanggung dirinya saja sudah berat.”
“Tidak, tidak, tidak, mungkin dikiranya mati lalu ditinggal di sini.”
Begitu seterusnya spekulasi berlanjut dari mulut ke mulut hingga Alfonso menjadi bagian dari desa. Selama menjadi bagian dari desa, Alfonso dikenal sebagai pemuda yang ramah senyum, sebelum akhirnya menjadi gila karena cintanya kepada Sumini harus kandas. Semenjak itu lah Alfonso selalu mengolok-olok para dukun tersebut dengan sebutan Jin Keris Bau. Alfonso menjadi musuh semua kalangan dukun di tiap desa. Alfonso selalu berkoar bahwa ia tak takut pada dukun dan tak ada yang dapat membunuhnya, terutama Ki Bejo.
Pernyataan Alfonso jelas membuat para dukun, tak terkecuali Ki Bejo geram. Kegeraman para dukun membuat mereka bersatu tujuan ingin menyantet Alfonso secara berjamaah. Kegiatan menyantet ini rupanya bukan wacana semata. Saat malam jumat, beberapa dukun menyebarkan beberapa bunga di depan pekarangan rumahnya. Beberapa lainnya berkomat-kamit dari tempat tinggalnya untuk ikut andil dalam menyukseskan kegiatan menyantet.
Tak berselang waktu yang lama, kegiatan ini sukses membuat Alfonso gila. Pada hari berikutnya, tiba-tiba Alfonso bertingkah aneh. Ia memakan bunga yang telah disebarkan oleh para dukun. Bunga-bunga itu dimakan dengan lahapnya seolah-olah ia tidak pernah makan selama tiga hari. Keanehan muncul kembali setelahnya. Setiap pagi hingga petang, Alfonso akan berjaga di belakang pohon mangga golek di depan pekarangannya. Alfonso akan mengejutkan anak-anak desa yang berniat mencuri buahnya. Tak hanya itu, bahkan Alfonso tak sega-segan mengejarnya dan menangkapnya.
-0-
Pada pagi hari sekali, bahkan masih terbilang masih terlalu dini, Alfonso dimakamkan di tempat pemakaman umum. Tak banyak yang datang pagi itu. Hanya sebagian dari kami yang mengenal Alfonso dan segelintir bocah-bocah dengan binar bahagia pada mata mereka. Alfonso akan bergabung dengan para roh orang mati yang mendiami setiap lubang pada tanah itu. Alfonso akan menjadi bagian darinya dan tetap, cerita itu tetap berlanjut. Cerita yang disuarakan dari mulut A ke mulut B, ke mulut C dan terus menerus hingga kini.
Cerita tentang seorang Alfonso yang bersembunyi dari balik pohon mangga golek dan mengejutkan setiap anak-anak desa yang berniat mencuri buah mangganya yang ranum. Jasadnya memang sudah kembali pada asal, tapi siapa yang mengira, mungkin rohnya tertinggal?
(Jember, 2018)
SA.Bening mahasiswi sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Bisa disapa melalui twitter @sabening_