Menilik Kembali Pemilu Raya
Usulan Fakultas Ilmu Budaya untuk dijadikan daerah istimewa tidak ditindaklanjuti. Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa tetap menyelenggarakan Pemilu Raya di FIB. Mahasiswa baru menjadi sasaran politik.
Diah Umi Azizah sedang memandangi layar ponselnya. Ia melihat @weloveunej. Dari akun tersebut Diah mengetahui akan diselenggarakan Pemilu Raya oleh Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) UJ. Ia mengetahui pada tanggal (19/10) akan diselenggarakan debat kandidat.
Sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) ia tertarik mengikuti serangkaian acara dari KPUM. Ia datang pada acara debat kandidat bersama seorang temannya yang sama-sama dari angakatan 2017. Mereka berjalan kaki menuju ke tempat diselenggarakannya debat kandidat. Debat tersebut dilaksanakan di Gedung Keluarga Alumni Universitas Jember (KAUJE).
Ketiga Pasangan Calon (Paslon) menyampaikan visi dan misinya di atas panggung. KPUM menyediakan kursi bagi peserta debat. Peserta yang hadir pada waktu itu sekitar 100 orang. Diah merasa heran saat acara dimulai, banyak kursi yang masih kosong. Peserta yang hadir baru sekitar 20 orang. “Kan acaranya jam tujuh itu yang datang cuma 20 orangan. Terus jam delapan ke atas itu baru banyak kira-kira 100-an lebih, ”jelas Diah.
Debat yang diikuti oleh Diah ini merupakan debat calon Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan calon Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Debat ini merupakan salah satu rangkaian acara Pemilu Raya. Serangkaian acara ini merupakan tanggung jawab KPUM. Pemilu Raya ini menganut sistem trias politika. Dimana KPUM menjadi badan Yudikatif. Sedangkan BEM sebagai badan Eksekutif, dan BPM sebagai badan Legislatif.
Terdapat tiga paslon BEM. Masing- masing memiliki kesempatan menyampaikan visi dan misi. “Tapi suaranya kecil, yang nonton kayak ribet sendiri gitu, jadinya nggak jelas, ”ungkap Diah ketika ditanya mengenai situasi debat pada saat itu. Menurutnya dari ketiga paslon kurang maksimal dalam menyampaikan visi dan misi. Volume suaranya tidak terdengar oleh Diah dan peserta lain. Hal itu membuat peserta yang hadir sibuk mengobrol sendiri.
Selang 12 hari setelah debat, Pemilu Raya berlangsung. Diah berangkat dari kosnya menuju FIB. Ia memperhatikan fakultas-fakultas yang ia lewati. Salah satunya Pemilu Raya yang ada di Program Studi Sistem Informasi (PSSI) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FSIP).
Pemilu Raya yang ada di FISIP mendapat atusias dari mahasiswa. Terlihat dari beberapa mahasiswa yang mengantri di E-TPS. Pada hari pemilihan berlangsung Pemilu Raya di FISIP sempat mengalami gangguan. Sistem E-TPS yang digunakan error. Ini membuat beberapa peserta tidak dapat memilih. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Setelah sistem kembali dapat digunakan, mahasiswa kembali berdatangan untuk memilih. “Terus kata temenku di FISIP sistemnya sempat error kan ya, jadinya mereka itu pulang. Terus udah selesai antri lagi langsung panjang lagi,” ujar Diah.
“Terus FISIP yang paling banyak peminatnya di PSSI itu sepi banget,” terang Diah. Pemilu Raya yang ada di PSSI kurang mendapat antusias mahasiswa. Ini terlihat dari sedikitnya mahasiswa yang mengantri di E-TPS.
Hal yang sama rupanya terjadi di FIB. Diah mengahabiskan waktu dari pagi sampai sore di kampus. Ia mengamati E-TPS. “Terus aku lihat di sini dari pagi sampai sore yang milih cuma beberapa, cuma sedikit. Antusiasnya gak besar, ”jelas Diah.
Siang itu disela-sela kesibukan kuliahnya, Diah berjalan menuju ke E-TPS. Ia hendak melakukan pemilihan. Awalnya Diah mengikuti Pemilu Raya karena merasa kesulitan mendapat informasi berbagai kegiatan di tingkat Universitas. Ia mengaku kebingungan saat kegiatan Pengenalan Kegiatan Kampus (PK2). Salah satunya ia merasa kesusahan menemukan tempat dan daftar hadir pada saat upacara. “Ada info ini nggak tahu dan yang paling ruwet itu absen dan tempat pas upacara, ”ungkap Diah.
Sesampainya di E-TPS, sudah ada Panitia Pemungutan Suara (PPS). PPS bertugas memeriksa Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Pemeriksaan KTM dilakukan untuk mencocokkan wajah pemilik KTM dengan yang datang ke E-TPS. Hal ini dilakukan guna mencegah terjadinya kecurangan.
Setelah melakukan pengecekan KTM, Diah diperkenankan mengisi daftar hadir yang sudah disediakan. Kemudian ia diperbolehkan masuk ke bilik dan melakukan pemilihan. Usai memilih ia diwajibkan untuk mencelupkan salah satu jarinya ke dalam tinta. Itu sebagai tanda bahwa ia telah memilih.
Penjelasan Musta’anul sebagai ketua KPUM
“Lalu adanya masukan dari pihak birokrasi, yaitu rektorat untuk kita memanfaatkan teknologi yang sudah ada, “jelas Musta’anul sebagai ketua KPUM. Sistem yang diselenggarakan oleh pihak KPUM pada Pemilu Raya, merupakan masukan dari rektorat. Awalnya KPUM akan menyelenggarakan pemilu raya dengan menggunakan media kertas. Namun setelah usulan dari rektorat masuk, pihak KPUM memutuskan untuk menggunakan teknologi yang ada.
Meski menggunakan sistem E-Voting, namun pemilu raya tetap berasas Luberjurdil (langsung, umum, bebas, jujur dan adil). Musta’anul menjelaskan semua mahasiswa memiliki hak pilih. Mulai dari mahasiwa dari S0 hingga S1 UJ. Dengan itu asas umum dalam Luberjurdil terpenuhi. “Umum, umum kan mahasiswa Universitas Jember asalkan S0 sampai S1 dia bisa memilih” jelasnya.
Sedangkan semua data yang telah terkirim dapat dijamin rahasianya. Semua data tersebut terhimpun di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Teknologi Informasi (TI). Musta’anul menjelaskan bahwa pihaknya dapat mengetahui nama, nim, di bilik nomer berapa, dan di jam berapa. Namun, tidak dengan siapa yang dipilih oleh calon pemilih tersebut. “Makanya nanti mekanisme sengketa yang bisa kita adakan adalah nama, nim fakultas dan dia memilih di bilik nomer berapa terus di detik berapa, dan di menit berapa, ”tutur Musta’anul.
Dan yang terakhir adalah adil. Untuk para paslon dan caleg diperlakukan sama. Dengan ini telah memenuhi asas adil. Musta’anul megatakan bahwa adil yang dimaksud adalah setiap paslon dan caleg mendapat perlakuan yang sama. “Adil, jadi setiap caleg, paslon kita perlakukan sama. Tidak ada yang kita prioritaskan, ”jelas Musta’anul.
Pada pemilu raya kali ini, pihak KPUM menyediakan kolom Golput (Golongan Putih). Kolom Golput di sediakan untuk para pemilih yang tidak memiliki calon yang pas. “Kami menyediakan kolom golput itu, karena ini pemilu pertama kali jadi kita harus bener-bener belajar dari ini. Kami gak yakin seratus persen kalo calon-calon yang hadir itu pasti sreg di hati kalian, “lanjut Musta’anul.
KPUM memaparkan jadwal dan sistem pemilu raya melalui sosialisasi. Sosialisasi diadakan di setiap fakultas, termasuk FIB. Meski FIB tidak menolak keberadaan BEM dan BPM. Menurut Musta’anul, memilih adalah hak dan kewajiban setiap individu. “Karena memilih itu adalah hak dan kewajiban, “jelas Musta’anul
Penyelenggaraan Pemilu Raya Tidak Efektif
Fakultas Ilmu Budaya tidak memiliki BEM. Menurut Abdur Raafi, salah satu mahasiswa jurusan Sastra Inggris FIB UJ menyatakan BEM tidak memberikan efek terhadap FIB “Gak terlalu ngefek kalo di fakultas kita,” kata Raafi. Menurutnya, mahasiswa FIB masih bisa melangsungkan kegiatan tanpa keberadaan BEM.
“Kasarannya lebih dari 5 tahun lah, kita udah bisa berdiri sendiri tanpa adanya BEM toh,” lanjut Raafi. Berdiri sendiri yang Raafi maksud yakni ormawa di FIB melangsungkan kegiatannya sendiri tanpa adanya naungan dari BEM fakultas.
Pada sistem Pemilu Raya di UJ terdapat fitur golput. “Kalau ngomongin golput sih sebenarnya itu gak efektif,” kata Raafi. Menurutnya secara tidak langsung mahasiswa UJ membuang hak pilihnya jika memilih untuk golput. Latar belakang mahasiswa memilih untuk golput menurut Raafi karena mahasiswa tidak tahu dengan apa yang dia pilih dan kurangnya informasi yang diterima oleh mahasiswa.
Fitur golput dapat dipantau oleh pemilih. Mereka dapat melihat hasil perolehan suara sementara melalui sister. Menurut M. Riza Imaduddin, Ketua Umum Mahasiswa Pecinta Kelestarian Alam (Swapenka) fitur ini dapat digunakan sebagai parameter tingkat kepercayaan mahasiswa terhadap pasangan calon BEM atau BPM. “Kalau memang buat presentase, apa ya, layak enggaknya bakal calon ini,” kata Imaduddin mengenai fitur Golput ini. Menurutnya, penyebab adanya golput karena ada rasa tidak percaya pada calon pemimpinnya.
Sempat terjadi ketegangan di FIB. Terdapat dua calon BPM yang berasal dari FIB. Hal ini membuat ormawa mempertanyakan kembali Undang-undang BEM. FIB mengajukan diri untuk dijadikan daerah istimewa. FIB memiliki hak untuk mengolah ormawanya secara otonom.
“Mulai proses awal pembentukan RUU (Rancangan Undang-undang). Bahkan sampai jadinya undang-undang kita mengusulkan bahwa FIB meminta diajukan menjadi daerah istimewa,” kata Imaduddin. Usulan tersebut disetujui pada Sidang Tingkat 1 Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas (IKM-U). Namun, ternyata ketika Sidang Tingkat 3 IKM-U usulan tersebut tidak disetujui. Hingga kini, ormawa di FIB masih tidak menyetujui adanya BEM.
David Tomy Anggara, Ketua Umum Pusat Olah Raga Mahasiswa Sastra (PORSA) merasa tidak mau tau terhadap Pemilu Raya “Mau mereka ada pemira (Pemilu Raya) atau enggak itu gak ada sangkut pautnya sama kita. Yang penting mereka gak mengganggu otoritas kita,” ungkap David.
Otoritas yang dimaksud David, mengenai wewenang Organisasi Mahasiswa (Ormawa) dalam menyelenggarakan suatu kegiatan. Ia tidak menghendaki adanya campur tangan BEM terhadap kegiatan Ormawa yang ada di FIB. “Jadi kita tidak menginginkan adanya intervensi dari pusat. Jadi kita mengelola sendiri selama kita masih bisa mengelola,” kata David. Maksud David intervensi dari pusat yakni intervensi yang dilakukan BEM terhadap kebijakan di FIB.[]
Penulis: Delfi Alpha Faliha, Denaneer Nabilah, Warda Septi Ani, Lailatul Mukarromah