Diskusi Film Veronica Guerin: Mempertanyakan Kembali Idealisme Pers Mahasiswa
Veronica Guerin (1958-1996), seorang wartawan koran Sunday Independent. Ia dibunuh ketika mengawal sebuah kasus narkoba di Irlandia. Kisah hidupnya kemudian difilmkan. Perhelatan di dunia pers mahasiswa dan perjuangan Veronica dalam mempertahankan idealismenya, menjadi topik utama dalam diskusi yang diadakan Lembaga Pers Mahasiswa Sastra IDEAS pada Jumat lalu (22/3).
Diskusi dilaksanakan di ruang 12 Fakultas Sastra Universitas Jember. Karpet digelar, layar LCD dinyalakan, peserta pun menonton film berdurasi satu setengah jam itu. Peserta terdiri dari enam mahasiswa, seorang laki-laki dan lima perempuan.
“Jadi, apa yang kalian dapat dari film tadi?” tanya Mohammad Sadam Husaen, usai film selesai diputar. Peserta diam sejenak, merenung.
Sadam memantik diskusi dengan pendapatnya mengenai keberanian Veronica. Tahun 1994, Irlandia menjadi negara dengan jumlah lingkar perdagangan narkoba terbesar, dengan perhitungan lima belas ribu pengguna heroin tiap harinya. Parahnya, anak-anak di bawah usia 15 tahun menjadi pengguna terbanyak. Veronica berani mengawal kasus perdagangan narkoba meski dalam proses liputannya mengalami banyak kendala. Ia mendapat ancaman dan teror dari lingkar narasumbernya. Kawan wartawan di media tempatnya bekerja pun membiarkan Veronica bekerja sendiri. Sampai-sampai, anak dan suaminya kurang mendapat perhatian Veronica karena terlalu fokus pada kerja jurnalistik. Dipukuli dan ditembak kakinya pun, Veronica tetap memilih untuk terus mengawal kasus perdagangan narkoba di Irlandia.
Sampai akhirnya, Veronica dibunuh. Saat berhenti di lampu merah, sebuah motor yang dikendarai dua orang berpakaian serba hitam mendekati mobil Veronica, memecahkan kaca jendela, kemudian menembakinya. Pembunuh itu merupakan suruhan dari John Gilligan, gembong narkoba yang bisnisnya terancam karena tulisan Veronica.
Sampai akhir hidup, yang tersisa dari Veronika adalah idealismenya. Dari idealisme yang ia pegang teguh sampai mati tersebut, mendorong media, kepolisian, masyarakat, juga pemerintah untuk menguak kasus perdagangan narkoba di Irlandia. “Film itu mau mengungkapkan bahwa idealisme seorang wartawan adalah kekayaan terbesar yang dimiliki oleh mereka,” ungkap Sadam.
Winda Chairunisyah Suryani, mengajak semua peserta diskusi untuk lebih spesifik membahas film Veronica Guerin dan kaitannya dengan dunia pers mahasiswa.
Idealisme pers mahasiswa
Winda menceritakan mengenai pengalamannya menulis adalah berawal dari keresahan. Ia menceritakan mengenai pengawalan pembangunan taman di Fakultas Sastra Universitas Jember. Banyak yang mempertanyakan apa pentingnya membahas taman. “Jadi kita memperjuangkan siapa? Kita memberitakan tentang taman misalkan, tetapi mahasiswanya sendiri gak peduli bahkan merasa senang dengan adanya taman. Lalu apa yang kita perjuangkan?”
Pertanyaan ini kemudian menarik Citra Beraufill Miftahul Jannah untuk bertanya. Citra merasa bingung ketika ada dosen yang menganggap bahwa tulisan tidak dapat merubah keadaan. “Yang bisa membawa perubahan itu aksi,” kisah Citra. Ia kemudian membandingkan dengan gerakan mahasiswa zaman dulu yang lebih sering melakukan aksi turun jalan.
“Yang pasti, yang jurnalisme perjuangkan itu keadilan, walaupun yang menerima keadilan itu tidak peduli,” jawab Sadam.
Terkait pembangunan taman, Sadam berpendapat bahwa justru disinilah peran pers mahasiswa. Pers mahasiswa memberikan kesadaran melalui apa yang ditulisnya. Sehingga ketika mahasiswa membaca berita, dia sadar bahwa ada hal mendesak yang perlu dibangun lebih dahulu, yaitu fasilitas penunjang akademis.
Sebenarnya pers mahasiswa juga termasuk dalam kategori gerakan mahasiswa. Tidak ada yang melarang pers mahasiswa untuk turun jalan. Namun aksi yang dilakukan pers mahasiswa tidak berbasis pada hal itu. “Aksi tidak hanya berarti turun jalan,” ungkap Sadam. Memberikan edukasi kepada masyarakat melalui pemberitaan, ini termasuk aksi. Itulah yang dilakukan pers mahasiswa. Kemudian aksi itu berlanjut dengan membuka diskusi dengan jaringan-jaringan pers mahasiswa untuk terus mengawal isu yang diangkat. Jaringan dapat berupa kawan-kawan unit kegiatan mahasiswa, mahasiswa yang tergabung dalam organisasi gerakan di luar kampus, lembaga swadaya masyarakat, juga orang-orang yang peduli terhadap isu tersebut. Hal ini berguna ketika kawan-kawan melakukan aksi turun jalan, mereka tidak hanya sekedar berteriak dengan kepala kosong.
Kepala kosong terjadi ketika mahasiswa rajin turun jalan tapi malas membaca. Hal ini berkaitan dengan perjuangan pers mahasiswa. Mempertahankan budaya literasi melalui membaca dan menulis menjadi hal penting. Ketika pers mahasiswa melakukan aksi tanpa mengetahui apa yang diperjuangkan, itu adalah hal yang percuma.
Dalam potongan film Veronica Guerin, terdapat juga peran jurnalisme dalam aksi turun jalan. Veronica mendatangi kelompok masyarakat yang peduli terhadap anak-anak korban perdagangan narkoba. Veronica ikut demonstrasi dan mendapati jumlah orang yang peduli sangat sedikit. “Semoga dengan bantuanmu, jumlah kami akan bertambah,” harap salah satu demonstran pada Veronica. Pada akhirnya berkat tulisan Veronica, semakin banyak orang yang sadar. Demonstran semakin bertambah dan tidak hanya itu saja, penolakan terhadap narkoba terjadi besar-besaran sampai merubah undang-undang di Irlandia.
Sadam menceritakan pengalamannya saat meliput aksi demonstrasi mahasiswa. Ia berbincang dengan tukang becak yang berada di sekitar lokasi demonstrasi. “Mahasiswa iki ngomong opo to?” tanya tukang becak. Mahasiswa berteriak membela suara rakyat. Rakyat yang mana? Bahkan tukang becak disekitar mereka mempertanyakan hal itu. Percuma menghabiskan tenaga, tetapi rakyat disekitar kita tidak diberi edukasi. Bahkan mungkin mahasiswa yang melakukan aksi demo tidak memiliki pemahaman yang benar pada apa yang mereka perjuangkan.
Winda juga berbagi pengalaman saat mewawancarai Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Wawan, salah satu mahasiswa yang terbunuh saat Tragedi Trisakti. Wawan lebih banyak bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dari pada melakukan demonstrasi. Ia mengobrol dengan pedagang, tukang becak, dan tetangga sekitar.
Diskusi terus berlanjut. Peserta yang lain bergantian meceritakan kisah yang berkaitan dengan idealisme pers mahasiswa.
Perjuangan pers mahasiswa tidak sebatas menerbitkan media
“Apakah idealisme pers mahasiswa saat ini cukup hanya dengan bisa menerbitkan media?” pertanyaan Sadam membuat peserta diskusi kembali merenung.
Rosy Dewi Arianti Saptoyo berpendapat bahwa idealisme pers mahasiswa juga bisa dilihat dari pemberitaan. Rosy mengambil contoh adegan dalam film ketika Veronica melihat anak-anak di bawah usia 15 tahun yang menjadi pecandu narkoba. Bisa saja Veronika memposisikan mereka sebagai kriminalis, karena memang anak-anak tersebut melakukan tindak kriminal demi mendapat uang untuk membeli narkoba. Jika Veronica memberitakan mereka sebagai pelaku kriminal dan bukan korban, maka orang-orang akan mendoktrin mereka sebagai sampah masyarakat. Namun Veronika memilih untuk mendalami kasus tersebut dan mendapati otak dibalik fenomena tersebut.
“Kita sebenarnya juga bisa memilih untuk memberitakan pembangunan taman sebagai penambah unsur estetis di kampus, tapi kan tidak,” tutur Rosy. Ia mengaitkan dengan pemberitaan yang sempat disinggung Winda. Maka ketika menerbitkan media atau menulis sebuah berita, pers mahasiswa tidak hanya sekedar asal tulis. Pasti ada sesuatu yang diperjuangkan. Pertanyaan selanjutnya adalah, perjuangan apa saja yang bisa dilakukan agar media atau tulisan pers mahasiswa dapat membawa perubahan.
Perjuangan tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan jaringan untuk mengawal suatu pemberitaan. Sadam memberikan contoh mengenai jam malam yang diberitakan di majalah IDEAS edisi XIX. Setelah wacana kita lempar, kita mengajak kawan-kawan UKM, juga kawan-kawan ekstra. Lalu mendiskusikan, apa lagi yang dibutuhkan selain pemberitaan dari IDEAS?”
Jika tidak ada tanggapan dari birokrasi kampus, maka munculkan gerakan dinamis dimulai dari ruang-ruang diskusi. “Biarkan kawan ekstra melakukan aksi dengan caranya, biarkan kawan PA (pecinta alam) melakukan dengan cara mereka, dan kita dengan cara kita,” tambah Sadam. Namun dari tindakan-tindakan yang dilakukan tersebut ada sinergi. Dari diskusi yang dilaksanakan, gerakan mahasiswa memiliki musuh bersama yang dilawan. Sehingga apa yang diperjuangkan sedikit demi sedikit tercapai.
Perjuangan yang dibicarakan tidak perlu terlalu besar, seperti pelengseran pemerintah Orde Baru yang dilakukan dulu. Pers mahasiswa dapat memulainya dari hal-hal kecil, termasuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat.
Diskusi malam itu ditutup tanpa menarik satu kesimpulan. Idealisme pers mahasiswa menjadi perenungan masing-masing peserta diskusi. Apakah bangga dengan bisa menerbitkan media saja, atau memilih untuk membawa perubahan seperti Veronica Guerin? []