WD II FIB: Usulan Sanksi Pemecatan Sudah Sampai ke Menristekdikti
Enam hari berlalu sejak redaksi Ideas menerbitkan berita berjudul Universitas Jember Tak Tegas Tangani Kekerasan Seksual dan Belenggu Korban Kekerasan Seksual. Titik Maslikatin, Wakil Dekan II (WD II) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UJ) mengaku tidak terima dengan salah satu frasa dalam judul berita yang dimuat di ideas.id yaitu Universitas Jember Tak Tegas Tangani Kekerasan Seksual. Ia tak terima dengan diksi ‘tak tegas’ dalam judul berita tersebut. Menurutnya FIB sudah berupaya maksimal dalam menindaklanjuti kasus ini.
Selasa, (30/4) Titik mengklarifikasi kabar laporan tersebut pada reporter Ideas. Ia mengatakan bahwa berkas-berkas laporan yang dibuat sudah sampai di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) sejak tanggal 13 Maret 2019. “Jadi tanggal 13 Maret itu memang sudah dikirim ke Jakarta,” tutur Titik.
Ada beberapa berkas yang masih belum lengkap dalam laporan tersebut. Ada berkas yang harus ditandatangani di atas materai oleh korban. Akhirnya Titik berusaha menghubungi korban dan meminta laporan itu untuk ditandatangani. Titik menjelaskan bahwa proses ini memerlukan waktu yang agak lama karena mempertimbangkan kondisi psikologis korban. “Terus Jakarta (Menristekdikti) minta laporan itu harus tanda tangan bermaterai, jadi kami menghubungi korban. Akhirnya kita ngebut terus kita menguatkan secara psikologis bahwa proses ini biar cepet selesai gitu,” jelas Titik.
Titik menyerahkan kelengkapan berkas kepada bagian kepegawaian UJ pada Senin, 29 April 2019. Titik menjelaskan bahwa hari itu juga pihak kepegawaian telah mengirim berkas tersebut ke Menristekdikti. “Senin, langsung kita serahkan ke kepegawaian dan kepegawaian langsung kirim ke Jakarta dan itu sudah beres,” ungkap Titik.
Pihak FIB mengusulkan sanksi pemecatan untuk terduga pelaku. Menurut Titik pemecatan merupakan sanksi tertinggi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 53 tahun 2010 tentang disiplin kepegawaian. Ia juga mengatakan bahwa usulan sanksi pemecatan ini merupakan bentuk tindakan tegas dari FIB dalam merespons kasus kekerasan seksual yang terjadi. “Sanksi pecat ini adalah sanksi tertinggi di PP 53 itu. Dengan sanksi itu berarti kita tegas, kita serius menangani itu,” ungkap Titik.
Pengajuan sanksi pecat ini diberikan karena melihat pelanggaran yang terduga pelaku perbuat. Dalam PP No. 53 pelanggaran yang diperbuat pelaku adalah termasuk kedalam menyalahgunakan wewenang. “Pengajuan dari kita pecat gitu. Mengapa? Karena di PP 53 itu kalau gak salah memang yang dilakukan oleh pelaku itu kategori menyalahgunakan wewenang,” jelas Titik. Ia juga berpendapat bahwa jika beracuan pada PP No. 53 penyalahgunaan wewenang oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dapat dikenai sanksi pemecatan. “Menyalahgunakan wewenang itu bisa kita beri sanksi yang berat. Kita begitu karena kita tidak mau ada korban berikutnya,” imbuhnya.
Seperti yang terdapat dalam berita yang berjudul Universitas Jember Tak Tegas Tangani Kekerasan Seksual dijelaskan bahwa akhir November 2018, FIB telah mengirim laporan ke Rektorat, namun hingga 05 Maret 2019 belum ada penanganan. Titik menjelaskan bahwa lamanya proses ini terjadi karena hal teknis yakni, penyamaan format laporan dengan PP No. 53 tahun 2010. “Nyantol agak lama itu karena dikembalikan dari kepegawaian, dan itu harus sama persis dengan PP No 53,” jelas Titik. Apabila laporan yang telah dikirimkan ke Menristekdikti tidak sesuai dengan format laporan dalam PP No 53, maka laporan tersebut akan dikembalikan ke Universitas. “Format itu harus sama persis kalau enggak gitu nanti ketika sampai di Jakarta itu dikembalikan lagi dan kita mulai dari nol lagi,” jelasnya kembali. Maksud Titik memulai dari nol adalah penyusunan ulang laporan.
Dalam klarifikasinya Titik juga menjelaskan upaya-upaya yang diambil FIB dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi. Upaya yang FIB lakukan adalah memutus semua akses yang dimiliki terduga pelaku dengan mahasiswa, salah satunya akses terhadap ruang kelompok belajar di Sastra Inggris. “Kunci langsung tak ganti. Kita putus akses ke sana karena itu salah satu ruangan yang dipakai pelaku,” jelas Titik. Titik juga menjelaskan upaya lain yang dapat FIB lakukan selain mengganti kunci ruang kelompok belajar juga memutus akses bimbingan skripsi dan pembuatan Suat Keputusan (SK) baru untuk penanggung jawab ruang kelompok belajar. “Terus bimbingan skripsi diputus, semua diputus. Nah terus untuk SK penggantinya sedang diproses,” ungkapnya kembali.
Keputusan untuk memutus segala akses terduga pelaku dengan mahasiswa ini ditentukan pada saat rapat jurusan. “Kita putuskan dari keputusan jurusan dan dekanat untuk mengoffkan dia,” jelas Titik. Titik mengatakan bahwa keputusan ini diambil agar tidak ada celah bagi terduga pelaku untuk mengintimidasi korban. “Akses dengan mahasiswa kita putus Jadi nggak ada nggak ada senjata untuk mengintimidasi kan,” imbuh Titik.
Titik berharap dari adanya kasus ini agar dapat menjadi pembelajaran bagi fakultas-fakultas lain dalam menangani kekerasan seksual. “Ya semoga dapat menjadi contoh bagi fakultas lain yang memperjuangkan hal yang sama,” kata Titik. ia juga berharap tidak ada kasus kekerasan seksual di kampus lagi. “Ini sudah diupayakan agar tidak terjadi lagi gitu,” ungkapnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Supiastutik selaku Ketua Jurusan (kajur) Sastra Inggris. Ia mengatakan bahwa berkas-berkas pelaporan yang dibuat oleh jurusan sudah diberikan kepada Titik. “Kami, dari jurusan sudah dibuat suratnya. Mungkin hari ini Bu Titik baru ke rektorat,” tutur Supik kepada reporter Ideas Jum’at, 26 April 2019.
Supik juga menjelaskan pendapatnya terkait berita yang diterbitkan oleh redaksi Ideas. Ia mengatakan bahwa sebenarnya kasus ini tidak ingin di blow up dengan alasan mempertimbangkan kondisi psikologis korban. “Ya agak berhati-hati. Saya sebenarnya gak ingin ini di blow up sebenernya. Makanya saya dulu itu nggak segera memberi jawaban ya karena kondisi korbannya ini loh,” tutur Supik.[]