Libertarian Art Worker: Kapitalisme Ubah Ciri Khas Negara Agraris.
Bertepatan pada Hari Buruh Nasional Rabu (1/5), komunitas Pekerja Seni Libertarian (Libertarian Art Worker) yang ada di Jember mengadakan sebuah aksi seni yang berlangsung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jember. Acara tersebut dimulai sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 12.00 siang. Aksi ini mengusung salah satu tema yaitu “Kapitalisme Penindasan Rakyat” dengan menampilkan aksi seni instalasi, food not bombs, performace art, akustik dan pantomim.
Berbicara mengenai kapitalisme, kapitalisme sendiri adalah sebuah sistem ekonomi dimana arus modal asing mendominasi di sebuah negara, yang menyebabkan perasaingan ekonomi di dalam negara tersebut. Sistem ini sering dianggap menindas, karena banyak ketidakadilan antara pedagang lokal dan pedagang asing yang mengakibatkan perekonomian negara menjadi tidak berkembang. “Kapitalisme kan cuma satu sistem yang sering kita anggap menindas. Lah karena banyak ketidakadilan, terus juga pemilik modal yang paling kuat, yang paling berkuasa,”jelas Wawan sebagai Koordinator Lapangan (Korlap).
Erik Wijayanto selaku ketua panitia penyelenggara mengatakan bahwa diusungnya tema “Kapitalime Penindasan Rakyat”, karena ia ingin mengulas kembali kata kapitalisme yang pada saat ini banyak masyarakat, menganggap wacana tersebut kuno. “Ya sebenarnya ini isinya global ya, karena selama ini kita ngomong kapitalisme rasanya kuno, padahal sampai hari ini , kapitalisme ya tetap kata besar. Itu kenapa kita harus mengusung lagi, ingin mengulang-ulang,” ujar Erik. Kata besar yang dimaksud Erik adalah sebuah wacana.
Selain itu, wacana kapitalisme sendiri membahas tentang ketergantungan pada produk-produk luar negeri, yang dengan hal itu dapat menyebabkan banyak persaingan dalam perdagangan. Oleh sebab itu masyarakat banyak yang beralih ke industri, sehingga melunturkan ciri khas Indonesia sebagai masyarakat agraris. Dalam hal ini, Komunitas Libertarian Art Worker bertujuan mengingatkan kepada masyarakat bahwa negara Indonesia ini adalah negara agraris, negara yang seharusnya masyarakatnya memiliki perilaku agraris. Maksud dari perilaku agraris adalah perilaku yang seperti nenek moyang kita, hidup dalam sebuah kesederhanaan. “Jadi sebetulnya ini kita salah jalan, kalau dilihat dari segi geografisnya negeri kita ini mestinya agraris, mestinya perilaku kita perilaku masyarakat agraris. Opo o kita nggak meniru nenek moyang kita dulu sih, dulu mangan iwak asin ki wes bahagia, kok murah temen bahagiane,” ungkap Wawan.
Wawan menjelaskan bahwa semua orang yang bekerja adalah buruh, entah itu pekerja yang berpenghasilan rendah maupun tinggi. Hal tersebut karena semua orang mengabdi terhadap pekerjaan dengan tujuan memperoleh gaji yang nantinya akan dihabiskan kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tinggi maupun rendahnya penghasilan, tidak dapat diukur dengan angka, karena perilaku konsumtif setiap orang berbeda-beda. “Menurut saya semua orang buruh, kita digaji, gaji kita sakjane yo dihabiskan untuk prilakau konsumtif kita sendiri, jadi seolah-olah awakdewe harus mengabdi terus, jadi kita mengartikan buruh uduk seng masyarakat bawah saja, semuanya buruh sakjane, hanya saja onok seng luwih makmur,” terang Wawan.
Komunitas Libertarian Art Worker ini adalah komunitas yang bekerja di bidang seni, bagi mereka masyarakat mempunyai hak untuk menikmati sebuah karya seni. Oleh sebab itu, mereka ingin mengahadirkan karya seni pada Hari Buruh Nasional. Tidak hanya itu, sebagai seorang seniman, mereka juga mempunyai salah satu tanggung jawab sosial. Hal tersebut karena seni tidak hanya berguna untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain. “Seni itu sebenarnya ada tanggung jawab dengan sosial, kita berkarya itu bukan cuman untuk kita sendiri tapi juga gimana seni itu berguna untuk orang lain gitu, jadi bukan seni untuk seni tapi seni untuk rakyat.” ujar Erik
Untuk mempersiapkan konsep acara ini, komunitas memerlukan waktu satu minggu, dimulai sejak pembuatan instalasi, latihan pantomim, dan lain-lain. Instalasi yang dimaksud adalah pembuatan gambar-gambar terkait aksi. Pembentukan kepanitiaan dilakukan secara sukarela. Bagi siapa saja yang mempunyai keinginan untuk membantu, dipersilakan. “Kita bikin instalasi kira-kira hampir seminggu dari bikin gambarnya, terus juga ada yang latihan pantomim, ya kira-kira seminggu lah menyiapkan konsep acara, iya prosesnya seminggu baru selesai tadi malem dan kalau panitianya kita volunter bebas, kalau samean pingin merasa jadi panitia ini ya dateng saja,” ungkap Wawan.
Wawan mengaku bahwa aksi ini sesuai dengan harapannya. Ia tidak melihat sebuah keberhasilan tampak dari banyak orang yang memperhatikan. Tetapi, bagaimana membuat para kontributor menghargai sebuah proses yang dilaluinya. “Sangat sesuai harapan sekali, wong kita niatnya seneng- seneng, mau yang nonton rame, mau yang tidak dipedulikan orang, buat kita ya itu proses, kalau nggak ada orang yang nganu (memperhatikan), ya niat kita yang berproses ini,” terang Wawan.
Harapan yang melekat dalam Komunitas Libertarian Art Worker ini adalah semoga acara ini dapat menginspirasi orang lain dan dapat menimbulkan berbagai kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan yang positif bagi penonton, seperti penonton memperoleh ide-ide atau inspirasi yang kreatif untuk mengembangkan sebuah seni. Selain itu juga memberikan wacana mengenai kapitalisme. “Harapannya ada berbagai kemungkinan, kemungkinan yang misal setelah ini kan samean habis ini menulis kan? Nanti ada yang membaca, mungkin ae ide ini bisa diteruskan oleh orang lain (menginspirasi orang lain),” ungkap Wawan.[]