Menggurat Visi Kerakyatan
467

Dia merupakan peletak rangka pada fase pertama dari perkembangan filsafat modern. Meng-ada pasca Abad Pertengahan yang rumit dengan banyak hal seputar dogma gereja, ancaman, dan kekangan yang lain. Bagi dia apa yang telah dimutlakkan sebagai sebuah kebenaran di era Abad Pertengahan, harus diragukan. Akan tetapi ada banyak hal yang dia serap untuk dikembangkan dari era Renaisans.

Dia adalah Rene Descartes (1596-1650), putra dari ketua parlemen inggris yang memilki tanah luas. Ketika mewarisi tanah tersebut, dia menginvestasikannya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di Universitas Jesuit di La Fleche, 1604-1612. Setelah itu dia tinggal tak lama di Paris untuk kemudian mengasingkan diri di daerah terpencil, Faubourg St. Germain untuk mempelajari lebih dalam geometri yang telah dia dapatkan di univesitas. Pada tahun 1617 dia menjadi tentara Belanda. Setelah muncul keaadaan damai di Belanda, baru kemudan dia terdorong untuk mendaftarkan diri sebagai tentara Bavaria karena memanasnya Perang Tiga Puluh Tahun, 1619.

Di Bavaria inilah kemudian Descartes merefleksikan gagasannya dalam sebuah karya baru Discours de la Methode, 1620. Kemudian dia kembai menjadi tentara untuk menyerang La Rochelle, kubu pertahanan Huguenot. Setelah perang usai, dia kembali ke Belanda untuk menenenangkan diri kembali dan bersembunyi dari ancaman penyiksaan.

Sebagian orang-orang menyatakan bahwa dia seorang penakut. Sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sedang mencari ketenangan. Persepsi tersebut muncul ketika dia memutuskan untuk membenamkan dirinya di negara Belanda (1629-1649). Di sana dia berhubungan dekat dengan kalangan gereja, khususnya para Jesuit. Kalangan gereja sendiri menganggap Descartes sebagai seorang penganut katolik yang sangat ortodoks.

Namun masih pula ada yang menganggap bahwa ke-ortodoks-an Descartes merupakan bentuk kepura-puraan semata. Hal tersebut terjadi karena secara diam-diam dia menyimpan kekaguman dan membenarkan beberapa gagasan Galileo. Hal tersebut tercermin dari buku yang kerap gagal diterbitkan yaitu La Monde. Berisi pemaparan mengenai rotasi bumi dan ketakterhinggaan alam semesta. Sebelum era Descartes, dominasi gereja yang kuat kerap mengecam gagasan semacam ini.

Descartes merupakan seorang matematikawan dan ilmuwan. Ia menerapkan aljabar pada geometri. Merumuskan pola kerja menggunakan koordinat untuk mencari kepastian posisi sebuah titik pada bidang yang berjarak dari dua garis tetap. Bukunya yang bersi banyak hal seputar teori ilmiah ialah Principa Philosophiae, 1644. Sedangkan buku penting yang lain darinya Essais Philosophques, 1637, berisi pembahasan seputar ilmu optik dan geometri.  Dalam bukunya yang lain, De la formation du foetus, memuat ulasannya yang menyambut dengan baik penemuan mengenai sirkulasi darah oleh Harvey.

Lewat Chanut, Duta Besar Prancis di Stockholm, Descartes berkorespondensi dengan Ratu Christina di Swedia. Hingga Ratu Christina mengirim beberapa pasukannya untuk menjemput Descartes untuk menuju istana. Christina tertarik dengan surat dari Descartes mengenai harsat jiwa. Kemudian Christina ingin memperoleh pelajaran setiap hari dari Descartes, 1649. Selang beberapa saat setelah itu Chanut jatuh sakit dan Descartes yang merawatnya. Kemudian keadaan berbalik, ketika Chanut sembuh berganti Descartes yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal, 1950.

 

Dualisme Descartes

Memastikan eksistensinya sendiri, kemudian secara subjektif menemukan keterpilahan diri. Antara tubuh atau materi dengan jiwa. Para filsuf sebelumnya, Plato misalnya, sebenarnya beberapa langkah menuju apa yang digagas Descartes. Kemudian dualisme tersebut dikembangkan dengan bentuk lain oleh Descartes.

Ada tiga realitas yang hadir dalam diri kita secara alamiah semenjak dilahirkan. Yaitu realitas pikiran (res cogitan), realitas perluasan (res extensa, materi, atau eksistensi), sedangkan yang terakhir tuhan. Pikiran merupakan kesadaran, berada di tempat yang entah, tak terpengaruh waktu. Materi merupakan perluasan, menempati ruang dan waktu, mampu dipecah atau dibagi. Sedangkan yang terakhir tuhan, menjadi elemen pengikat bagi dua realitas sebelumnya. Dianggap sebagai penyebab ada.

Jiwa sepenuhnya independen dari tubuh. Jiwa tak akan mampu digerakkan oleh tubuh. Jiwa yang dimaksud Descartes ialah jiwa rasional. Mampu mengarahkan akan bergerak ke arah mana sebuah materi. Misalnya saya terkait etika sosial, jiwa akan mengatur bagaimana semestinya tubuh bertindak di dalam ruang tertentu. Bahkan lebih dari itu, jiwa mampu menggerakkan masyarakat.

Keluasan adalah esesnsi materi, maka dari itu ada di mana-mana. Tubuh manusia dan binatang sama, ujar Descartes. Keduanya serupa mesin. Dalam artian akan berperilaku atau bergerak secara mekanik. Suatu pola gerak yang disebabkan hukum fisika. Di luarnya, hukum alam semesta akan berlaku tetap. Tubuh akan bertindak secara otomatis. Di sisi lain dia mengabaikan adanya perasaan dan kesadaran.

Tubuh dia anggap layaknya nisan bagi jiwa. Ada konektivitas dan keadaan saling interaksi antara jiwa masing-masing tubuh dengan roh penting. Jiwa tak akan mampu mempengaruhi apa yang bertindak secara mekanik. Namun jiwa mampu mengubah arah gerak objek-objek mekanik tersebut.

Tidak ada jarak. Tak ada ruang kosong yang menjadi perantara. Atau bisa disederhanakan dengan kata lain, ada jarak namun bukan sebuah ruang kosong atau ruang hampa. Semua interaksi terjadi karena diakibatkan materi lain. Descartes hanya mempercayai adanya satu jiwa, jiwa rasional yang hanya dimiliki manusia. Sedangkan tumbuhan dan hewan tumbuh mematuhi hukum mekanik. Selain manusia segala yang ada dalam alam raya ini akan tumbuh secara alamiah.

Banyak hal yang membuat dari apa yang terjadi untuk kemudian menjadi masa lalu, sulit untuk ditransformasikan secara realitas atau sepenuhnya di era kekinian. Misalnya saja hubungan yang oleh para Cartesian ditolak, mengenai titik pertemuan antara materi dan jiwa. Ruang bagi saling interaksi tersebut terdapat di pangkal kelenjar otak, tengkuk. Ketika tubuh tersakiti maka akan muncul keinginan untuk menangis dari jiwa. Selain itu mengenai halusinasi siapa penggerak mekanik dan pencipta. Bagi Descartes ialah tuhan. Bayangan tentang tuhan itu ada secara alamiah dalam tubuh masing-masing manusia semenjak lahir. Meskipun pada akhirnya Descartes sendiri gagal menemukan kebenaran rasional mengenai hal ini.

 

Ketika Descartes Curiga , Ia memeriksa Realitas dengan Cogito

Descartes membangun pondasi filsafatnya dengan cara meragukan apa saya yang bisa diragukan. Dari sana muncul pra-kondisi dari langkah adaptif dengan apa yang ada di luar dirinya. Upaya bertindak skeptis. Seperti misalnya bisakah kita meragukan keberadaan masing-masing dari kita di forum ini. Bisa saja masing-masing dari kita saat ini sebenarnya sedang berada di Warung Buleck dan membayangkan mengenai ngerumpi filsafat. Atau justru sebaliknya, siapa saja yang sedang berada di samping anda sebenarnya hanyalah ilusi personal. Sebenarnya dia sedang berada di Warung Buleck. Namun malam ini anda sedang membayangkan dia hadir di samping anda.

Pengetahuan memang dihadirkan oleh  indra,  tetapi Descartes mengakui bahwa  indra  itu bisa  menyesatkan  (seperti  dalam  mimpi  dan  khayalan),  maka  dia  terpaksa  mengambil kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat diandalkan. Misalnya saja ketika anda bermimpi bertemu dengan malaikat. Ada kemungkinan besar karena indra pernah menginternalisasi wujud manusia, sayap, tongkat, dan piringan putih di atas kepala (film kartun). Benda-benda yang tampak dan diserap oleh indra tersebut melebur dan bersatu dalam mimpi. Itu semua terangkum dalam kekuatan halusinasi atau imajinasi.

Sedangkan apa yang dipikirkan oleh jiwa rasional akan bersifat tetap. Dalam artian tidak akan berkembang atau berubah. Saya bisa menyimpulkan hal tersebut berkat para pengidap penyakit scrizofenia. Sejak kecil para pengidap selalu merasa mempunyai teman dekat. Hubungan akan berlanjut sampai si penderita meninggal. Akan tetapi teman khayalannya tersebut tak akan tumbuh. Ketika si penderita beranjak tua, muncul keriput di tubuh, beruban, susah mengontrol tubuh, dan sebagainya. Teman bayangannya justru masih awet muda. Tak terpengaruh oleh bertambahnya waktu. Begitu juga dengan wujud segitiga sama sisi di dalam pikiran kita yang sudah ditanamkan semenjak sekolah dasar. Tak akan berubah.

Apa yang ditangkap oleh indra akan difilter atau dianalisis oleh rasio. ‘Cogito Ergo Sum’. Aku berpikir maka Aku ada. Persepsi mengenai apa yang dianggap benar muncul setelah melalui proses berpikir. Bahkan kebenaran mengenai tubuhnya sendiri. Apakah tubuh memang ada? Atau tubuh kita hanya bagian dari ilusi?

Konsep berpikir Descartes menegaskan ‘Cogito’. Kebanyakan dipahami sebagai akal atau berpikir. Atau sebagian lain memahaminya sebagai penyadaran atau sadar. Untuk itu maka kita melakukan upaya meragukan, memahami, mengerti, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan, merasakan. Serangkaian proses berpikir itu akan membawa diri kita pada ‘kita yang sadar’. Dalam hal yang lain, misalnya ketika tidur, sebenarnya pikiran kita masih tetap bekerja sebagaimana mestinya.

Oleh karenanya segala hal yang ada dalam pikiran sebenarnya merupakan kloning atau tiruan dari realitas. Namun tetap saja, apa yang ditangkap oleh indra harus dikunyah terlebih dahulu oleh Cogito. Dari sana kriteria kebenaran bisa dirumuskan. Lebih dari itu, secara tidak langsung esensi dari ilmu pengetahuan akan didapatkan.[]

 

 

Disarikan dari:

– Roger Scruton, Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein, Second Revised and Enlarged Edition Published 1995, New York, Taylor & Francis Group.

– Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga -sekarang, Cetakan III Agustus 2007, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

– Jostein Gaarder, Dunia Sophie: Sebuah novel filsafat, Cetakan XVIII November 2006, Bandung, -Penerbit Mizan.

– Ali Maksum, Pengantar Filsafat; Dari masa klasik hingga postmodern, Cetakan I November 2008, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media.

– Misnal Munir, Aliran-aliran -Utama Filsafat Barat Kontemporer, Cetakan I Agustus 2008, Bantul, Penerbit Lima.

Leave a comment