Menggurat Visi Kerakyatan

Puisi-Puisi Abdul Gani

1,181

Apakah Pendidikan?
Apakah pendidikan?
Jika mengasingkanmu dan gagal menjadi manusia

Apakah pendidikan?
Jika semuanya dikualifikasi berdasarkan catalog-katalog
Dan angka-angka hasrat pasar

Kita digiring seperti babi-babi ternak
Diobral dan dinilai seperti kain-kain pembungkus kelamin
Dan sayangnya,
Kesadaran kita terlanjur digadaikan
Di antara manisnya godaan-godaan iklan
Akhirnya mulut kita hanya mahir melafalkan harga-harga
Dan kualitas barang
Bukan lagi bicara:
‘Siapa yang belum makan hari ini’
‘Siapa yang terusir dan terasing di tengah-tengah kehidupan kita’

Apakah pendidikan?
Jika daya kreatifmu dipenggal jam-jam
Dan peraturan-peraturan tidak jalas

Apakah pendidikan?
Jika nuranimu disumpal pembalut-pembalut kebijakan otoriter
Yang pada akhirnya merabunkan mata-hatimu dari persoalan kehidupan

Hati-hati!
Kita sedang dicetak menjadi robot-robot penurut
Mari perikasa ulang samua indra kita
Apakah masih berfungsi?
Setelah itu mari kita terus pertanyakan ulang:
‘Apakah pendidikan?’

Februari 2014

 

 

 

Surat Untuk Siapapun

Sore terkikis. Sebentar akan punah disedot pucuk bumi yang resahnya hanya dimengerti airmata. Malam yang tadi bernostalgia lesu dengan gairah pagi yang jahat sudah membusuk di ujung mataku. Maka biarkan cairan surgawi dan racun neraka di selembar hatiku menetes ke jantungmu. Kita akan melihat tololnya kesenangan dan bejatnya sepi membaca cinta yang telanjang. Lalu menyaksikannya membangkai di atas nyanyian-nyanyian hasrat para perampok kehidupan. Siapakah yang paling bisa memahami airmata? Kesedihan terbeli murah sombongnya peperangan iklan-iklan ketiak. Rumusan-rumusan nurani kita berhasil disekap di balik pintu-pintu peradaban diskotik, tawaran kenyamanan alat-alat elektronik, pewangi toilet, iklan-iklan pakan anjing! Maka kelaparan adalah pangsa pasar yang jarang terjamah karena dikalahkan poster-poster discount yang lebih menjamin dahaga rindu tertebus. Aku sering menemukan kata ‘kepedulian’ dimumikan di buku-buku khotbah dan meja pendidikan yang agung, dibaca seluruh bibir zaman. Namun nyawanya entah terbuang di bak sampah yang mana. Oh, jangan-jangan otak kita yang impoten dan lebih terdidik oleh hamburger, minuman bersegel, keunggulan-keunggulan celana dalam, baliho-baliho harga syahwat yang angkuh dan tak pernah lelah berak di mata. Aku tidak menyalahkan siapapun kecuali ketololan kita yang tolol. Kesombongan kita yang sombong. Di hadapan kita berdiri tiang-tiang gantungan tempat leher-leher mimpi kita menyerah dengan bangga, yang menjadikan kita hantu-hantu lugu dan skeptis akut. Bila hari ini usai seperti hari-hari sebelumnya di lubang toiletmu. Biarkan aku berbisik lirih di depan telingamu: Maukah kamu menyiramnya dengan airmataku begok!

Jember, 14102013

 

 

 

Cerita Picisan

Adalah luka yang tiba
Adalah takdir yang asing
Beri aku jawaban agar aku tahu alasanku menangis
Dan maut yang datang tidak hanya menjadi sepenggal cerita picisan
Yang kumaki ribuan kali karena tidak becus menyenggamaiku

Di tanah ini aku menemukan mimpi-mimpi menjadi terasing dikotori alasan-alasan
Ada ide-ide yang disembunyikan di bawah meja kerja
Ada meja makan-menja makan direnungi bocah-bocah kurus
Ada meja pendidikan-meja pendidikan terkotori calo-calo

Hidup tercerabut dasarnya
Air mata tidak lagi memberi pelajaran duka
Kemana luka musti menyembuhkan bahasanya
Rindu kita telah kehabisan sampai dan kehilangan makna
Cinta dicuri maknanya sampai rabun
Sampai kita sulit menimbang mana lupa mana airmata

Debu-debu berterbangan menekuni takdirnya
Menemui janji angin untuk tidak saling mendustai
Di jalan-jalan ribuan ikrar mati karena bahasanya tidak dipenuhi
Kemanakah sunyi yang pernah mengajarkan kita arti keterasingan?
Takdir harus dirumuskan
Di sana kita lahir dan menemukan diri sebagai manusia
Maka tunjukkanlah dimana?
Agar airmata yang tiba
Tidak hanya menjadi sepenggal cerita picisan

Jember, 2013
Kata-Kata Sudah Menjadi Debu
di sini orang-orang saling menuduh dan menyalahkan
sementara matahari terus mengasah panasnya
lalu menyayat perut-perut orang yang belum makan
udara pengap seperti ingin menangis
langit semakin siaga mengawasi roh-roh manusia yang menggelinding tiba-tiba
tanpa kata-kata
karena memang kita tidak pernah mau mengerti
dan perlu belajar membaca untuk mengerti
sepertinya jalan pirkiran kita sudah macet
benar-benar macet!
banyak janji yang kabur dari amanahnya
tidak sedikit kewajiban disenggamai sendiri
di desa-desa terpencil dan yang tidak terpencil
ribuan manusia kemiskinan dan tidak tersentuh pendidikan
kemerosotan moral menyebar adalah penyakit katanya
lalu aku bertanya: siapa yang sakit sebenarnya?
di republik ini
kata-kata adalah debu
bukan lagi menjadi saksi atas duka yang menyita
bukan lagi kekuatan bagi air mata yang menetes
bukan lagi sebagai siasat
bukan lagi solusi bagi ketimpangan
melainkan debu yang mengotori muka jutaan anak-anak terlantar
mengotori rambu-rambu keadialan
mengotori kantor-kantor pertemuan
mengotori rumah-rumah sakit
mengotori kesejahteraan yang suci
orang-orang miskin semakin tak berdaya

kita tidak lagi dijajah senjata
melainkan dijajah kata-kata sendiri
di jalanan orang-orang mulai mengerti
matahari lebih mau peduli dari pada peraturan yang katanya
kaum miskin terlantar dipelihara negara

di republik ini
kata-kata sudah menjadi debu

23 Oktober 2011

 

 

 

Sembilu Sepi
Kumencari jalan pulang
Di manakah luka
Sunyi
Sunyi
Sunyi
Kuberteduh di bawah bayanganmu

Ada ruang dan setapak gelap
Kemanakah cinta
Bisu
Bisu
Bisu
Kusandarkan rinduku yang tersia

Bila hidup hati kita
Ajarkanku membenarkan
Senyum
Tangguhkanlah tangisku yang datang

Beri aku mata arah
Kutunjukkan padamu
Sepi
Sepi
Sepi
Yakinkanku bila kita manusia

Bila esok akan datang
Dan senja terbuang sia-sia
Beri aku ruang, jejak langkah
Mengirim sisa-sisa napasku
Namun bila malam masih ada
Dan gelap hanya membisu
Tunjukkan kemana ku harus melangkah
Mencari jawaban dalam sepi

Yakinkanku bila kita manusia

Jember, 2013

 
Abdul Gani, lahir 1989 di Masbagik, Lombok Timur. Sedang belajar menulis sastra.

Leave a comment