Mengungkap Sisi Lain Calon Arang Lewat Pementasan Teater II “Ratu Nating Girah”
Setelah dua tahun vakum karena pandemi Covid-19, Mata Kuliah Teater II Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (Sasindo FIB Unej) kembali mengadakan pementasan teater. Mata Kuliah Teater II ini ditempuh oleh mahasiswa Sasindo angkatan 2020. Teater yang ditampilkan berjudul “Ratu Nating Girah” dan bertempat di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) pada Selasa (20/12).
Wahyu Gaesesita Arlilianda merupakan sutradara dan mahasiswa penempuh Mata Kuliah Teater II. Ia menjelaskan alasan pemilihan frasa “Ratu Nating Girah” sebagai nama dari pementasan Teater II. “Ratu Nating Girah” merupakan nama lain dari Calon Arang. Ratu Nating Girah memiliki makna ‘perempuan terkuat dari Desa Girah’. “Jadi ‘Ratu Nating Girah’ sendiri itu sebenarnya nama lain dari Calon Arang. Kenapa Ratu karena dia adalah sosok penyihir, perempuan terkuat, dan Girah adalah nama desanya,” terangnya saat wawancara melalui via telepon pada Rabu (21/12).
“Ratu Nating Girah” yang lebih dikenal dengan Calon Arang adalah tokoh dalam legenda Jawa dan Bali. Gaesesita dan tim Teater II memilih membawakan kisah “Ratu Nating Girah” versi Jawa. Calon Arang versi Jawa berasal dari Kerajaan Kediri, yaitu Kerajaan Kahuripan. “Di pementasan kemarin kami membawakan yang versi Jawa, yaitu dari kediri, Kerajaan Kahuripan,” ujarnya.
Gaesesita mengemukakan pemikirannya mengenai latar belakang yang melandasi Calon Arang menjadi sosok yang jahat. “Ada sebuah pemikiran bahwa bagaimana kalau kita mengangkat hal yang berbeda. Maksud dari hal yang berbeda adalah kita tampilkan latar belakang mengapa Calon Arang ini dikatakan sebagai orang yang jahat, dan apa yang membuatnya jahat,” ungkapnya.
Kisah “Ratu Nating Girah” yang diawali dengan adegan yang menunjukkan Ratna Manggali ditakuti dan dijauhi oleh semua warga Desa Girah. Ratna Manggali dijauhi dan ditakuti karena statusnya sebagai putri Calon Arang. Melihat kemalangan yang dialami putrinya membuat Calon Arang murka. Ia kemudian membalas dendam dengan mengorbankan seorang gadis dalam ritualnya untuk menyebar wabah penyakit kepada seluruh warga desa. Suatu ketika ada seorang pemuda yang datang untuk melamar putrinya. Setelah dinikahkan dengan Ratna, ternyata pemuda itu mengkhianati kepercayaan Calon Arang dengan mencuri dan memberikan kitab yang berisikan ilmu sihir Calon Arang kepada Empu Baradhah penasihat dari Raja Airlangga. Calon Arang murka mengetahui kitabnya dicuri dan langsung melawan Empu Baradhah. Pada akhirnya Calon Arang berhasil dikalahkan.
Kemarahan seorang ibu, pengkhianatan dari menantunya, dan alasan lain yang menjadikan Calon Arang sebagai perempuan jahat juga disampaikan Gaesesita saat sesi apresiasi dan tanya jawab setelah pementasan berakhir. Alasan lainnya ternyata Bharadah yang memiliki peran sebagai seorang penasihat kerajaan adalah mantan kekasih yang meninggalkan Calon Arang dalam keadaan dia sedang hamil. “Alasan yang pertama, tadi di akhir penampilan Calon Arang, ternyata Bharadah sebagai seorang penasihat kerajaan adalah mantan kekasih yang meninggalkan Calaon Arang ketika Calon Arang sudah dihamili,” ungkap Gaesesita pada Selasa (20/12).
Gaesesita mengemukakan bahwa naskah dari penampilan teater “Ratu Nating Girah” dibuat olehnya bersama dengan tim Teater II berdasarkan referensi dari legenda dan mitos-mitos tentang Calon Arang dan tidak berpatokan terhadap suatu buku tertentu. “Naskah dibuat dengan referensi legenda bukan referensi dari buku seperti dari bukunya Pramoedya, penulisan naskahnya sendiri itu lebih berpatokan kepada legenda atau mitos-mitos,” kata Gaesesita pada wawancara via telepon Rabu (21/12).
Pemaknaan yang simpel namun mendalam disampaikan oleh sutradara teater ini, Gaesesita menuturkan bahwa seperti yang tercermin pada tokoh Calon Arang, dibalik sifat dan kejahatan yang dia lakukan terdapat kisah-kisah atau latar belakang yang mendasari perilakunya itu. Begitu juga di masa kini, sebelum kita menilai baik atau tidaknya seseorang kita harus memahami alasan dari perilakunya itu. “Kenalin dulu Calon Arang sebelum men-judge dia sebagai orang jahat yang ternyata di masa lalunya ada kisah-kisah yang kelam. Hal itu juga terjadi di era masa kini. Orang itu baik atau tidak sebenarnya harus ada sesuatu yang dipahami terlebih dahulu,” ungkapnya.
Gaesesita mengaku selain sebagai Ujian Akhir Semester, Teater II ini juga diselenggarakan untuk mengembalikan eksistensi Teater II yang sudah vakum selama dua tahun akibat pandemi. “Pertunjukan Teater II ini vakum selama dua tahun dan membuat beberapa angkatan untuk tidak melakukan pementasan. Hal itu alasan terkuat sebenarnya dan kami ingin memunculkan kembali eksistensi dari Teater II sastra Indonesia,” ungkapnya.
Wina Lexa Nanda Patricia, mahasiswa Sasindo angkatan 20 yang menempuh Mata Kuliah Teater II, memerankan sosok Calon Arang dalam Pementasan Teater “Ratu Nating Girah”. Ia menggambarkan sosok Calon Arang sebagai sosok ibu yang sangat menyayangi anaknya dan menyakiti orang lain yang telah menyakiti anaknya. Kisah masa lalunya yang kelam juga menjadi salah satu faktor dari sifat pendendamnya. “Menurut aku Calon Arang di pementasan kemarin benar-benar cerminan seorang ibu yang rela melakukan apa pun dan mementingkan kebahagiaan Ratna anaknya,” kata Wina pada wawancara via pesan Sabtu (24/12).
Pendalaman karakter menjadi faktor yang sangat penting dalam pementasan teater. Wina menjelaskan kesulitannya dalam memerankan sosok Calon Arang tersebut adalah mendapatkan perasaan seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya. Namun dengan bantuan dari Gaesesita dan referensi yang ia pelajari akhirnya ia bisa memahami dan menyampaikannya di pementasan tersebut. “Awalnya susah banget meranin sosok Calon Arang ini, karena dia itu beneran sesayang itu sama anaknya. Cara mendapat gambaran menyayangi ini yang susah banget aku dapetin. Tapi karena bantuan Gae sebagai sutradara yang udah telaten banget ditambah banyak referensi yang aku lihat dan baca, akhirnya perasaan atau feel Calon Arang itu mulai bisa aku pahami, terima, dan implementasikan,” ujarnya.
Wina mengatakan bahwa ia memiliki pandangan buruk terhadap tokoh Calon Arang saat pertama kali ia mendapat peran tersebut. Setelah beberapa bulan ia mempelajari karakter Calon Arang, sekarang ia memiliki pandangan lain terhadap Calon Arang. Dia berpendapat jika setiap hal jahat yang dilakukan oleh Calon Arang adalah bentuk dari kasih sayang kepada anaknya. “Setelah beberapa bulan mengenali Calon arang ini aku bahkan gak bisa menilai jahatnya dia itu di mana. Mungkin Calon arang ini dibanding jahat lebih ke terlalu sayang dan rela berkorban, tapi cara yang dia pakai buat menunjukkan kasih sayangnya itu yang buat dia kelihatan jahat,” ungkapnya.
Wina tetap merasa puas dengan segala proses yang telah ia dan teman-temannya lakukan, meskipun selama pementasan Teater II terdapat beberapa kesalahan teknis. “Terlepas dari kesalahan teknis yang terjadi selama pementasan aku puas banget bisa jalani proses ini, aku percaya banget meskipun orang lain mungkin lihat kurang-kurang dari pementasan kami, tapi masing-masing dari kami pasti sudah berusaha melakukan yang terbaik,” kata Wina. []