Mengenal Media Berekspresi Lewat Zine Fest
Zine Fest memberi kesan tersendiri bagi pengunjung. Salah satunya Kun Tegar Adi, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. “Media untuk mencurahkan pikiran,” tutur Kun, memberi tanggapan mengenai beberapa zine yang sempat ia baca.
Kun mengetahui acara Zine Fest melalui salah satu grup di media sosial. Awalnya Ia tidak tahu sama sekali mengenai apa itu zine. “Belum tahu sama sekali, baru tahu ini,” terang Kun. Rasa ingin tahu membulatkan keputusannya untuk mengunjungi Zine Fest.
Begitu tiba di Museun Huruf, tempat Zine Fest berlangsung, Kun disambut oleh sekitar 500 zine yang dipamerkan. Ia membaca beberapa di antaranya. “Lihat-lihat gini, kok menarik,” kata Kun.
“Isinya itu gak banyak kata-kata yang baku gitu. Menurutku sih mudah dicerna,” jelasnya. Beberapa zine menggunakan bahasa yang mudah Kun pahami. Ia pun membawa pulang salah satu zine yang menarik perhatiannya. Dengan mengganti biaya fotocopy seharga Rp. 3.500.
Ia melihat perbedaan mencolok antara zine satu dengan zine yang lainnya. Perbedaan terlihat dari gaya bahasa, tema yang dibahas, bahkan format zine. “Isinya ya ada yang curhat (curahan hati). Tadi baca, ada yang curhat masalah film Dilan. Ada juga yang hasil pemikiran. Gak tahu itu hasil pemikiran berapa lama,” kata Kun.
Selain melihat pameran, Kun juga mengikuti diskusi zine bersama Didi Painsugar dan Yudo. Pemateri dan peserta diskusi duduk melingkar. Masing-masing memberi pandangan tentang zine, pengalaman membuat zine, juga cerita tentang komunitasnya. Ini memberi informasi yang baru bagi Kun. “Mulai dari yang bahas zine sampai kehidupan punk-punkan. Boleh sih bisa jadi pandangan baru,” tukas Kun.
Melalui serangkaian acara Zine Fest, Kun mengenal sebuah media alternatif. Media di mana semua orang dapat menyampaikan pemikirannya, tanpa ada batasan. “Intinya sih wadah untuk mengekspresikan,” tambahnya. []