Menggurat Visi Kerakyatan

Kepulangan dan Sebuah Repetisi Hidup

358

−Rumah itu selalu rawan jadi medan tempur kok, jadi siapkan dirimu.
(Arys SiBerang-Berang)

 

Itulah yang dikatakan Mas Arys mengenai keadaan rumah, saya selalu ingat kata-kata itu kerena kehidupan di rumah saya selau diwarnai dengan caci maki dan terikan, dan kadang kala diselingi oleh tangis tersedu.

Keluarga saya memang bukan keluarga yang berpunya. Berpunya di sini juga tidak miskin atau bahkan kaya karena keluarga saya bisa mencukupi kehidupan sehari-harinya dan itu saya sebut sederhana.

Bapak saya adalah seorang tenaga pengajar di sebuah Sekolah Dasar di sebuah desa di wilayah Lamongan, Ibu saya seorang penjahit yang terpaksa meninggalkan mesin jahitnya karena serangan diabetes, kakak pertama saya juga adalah seorang tenanga pengajar di Sekolah Menengah Atas, kakak kedua saya juga bekerja sebagai tenaga pengajar, tapi sayangnya dia tidak seberuntung bapak dan kakak pertama saya yang sudah menjadi pegawai negeri, dia hanya mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar milik orang Cina, dan yang terakhir dari anggota keluarga adalah saya. Saya adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga, dan entah mengapa saya selalu menjadi tempat curahan amarah bapak. Saya masih bersekolah di sebuah Universitas di Jember.

Saya memang tidak sepintar kakak-kakak perempuan saya, itu terbukti karena kemarin saya menyerah ketika kuliah di jurusan sastra inggris dan lebih memilih pindah ke jurusan sastra Indonesia. Tapi seperti sama saja saya pindah, karena nilai saya tetap jeblok dan itu memicu sebuah perang seperti yang dikatakan oleh Mas Aris.

Ketika saya pulang dan bapak saya tahu nilai saya jeblok, dia langsung memarahi saya dengan makian-makian yang mungkin akan memancing emosi. Tapi saya sadar yang memaki saya adalah seseorang yang telah membiayai sekolah saya. Akhirnya saya memutuskan untuk diam dan menerima semua makian itu.

Rumah seharusnya memang menjadi tempat terbaik bagi kita, tapi ketika rumah menjadi sebuah neraka dengan berbagai macam siksaan dan makian ketika kita pergi lama dan pulang kembali ke sana adalah sebuah ilusi. Dan sekarang ilusi itu keluar dari khayalan dan terjadi di dunia nyata.

Bapak memang seseorang dengan tempramen tinggi, akibatnya semua orang di rumah pernah dicaci olehya, entah itu karena dia sayang dengan anggota keluarganya atau hanya membuang semua emosi yang ada dalam otaknya.

Sekarang di rumah cuma ada dua orang, bapak dan ibu karena kedua kakak saya sudah menikah dan ikut suami mereka, sedangkan saya melanjutkan belajar saya di Jember.

Saya hanya akan pulang ke rumah jika ada libur panjang dan ada sebuah kejadian yang mungkin tak ada dalam kamus keluarga yang bahagia. Kepulangan, ya kepulangan bak sebuah kepergian lain tanpa kita sadari. Sebuah kepulangan bukan hanya ketika kita kembali ke tanah dimana ari-ari kita ditanam. Seperti saya yang mengganggap kepulangan sebagai sebuah repetisi dalam hidup yang tak akan bisa kita hindari.

Kita akan mengalami kepulangan setiap hari, bahkan setiap jam. Karena bukan hanya rumah tempat kita berpulang, dan rumah bagi saya sekarang sama seperti apa yang dikatakan Mujibur Rohman dalam puisinya “rumah yang asing, masa lalu yang sumbing/kurelakan segalanya/tertinggal sebagai catatan/luka”. Karena rumah saya bukan lagi tempat untuk memanjakan diri, melemaskan otot-otot yang tegang, atau bersenang-senang sesuka hati, di rumah saya sekarang hanya ada amarah dan sebuah konflik tanpa ujung. []

Leave a comment