Menggurat Visi Kerakyatan

Pemikiran Persma Harus Independent

406

Sabtu malam (3/3), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Jember (PPMI DK-Jember) mengadakan diskusi di Kedai Gubug. Ketika membuka diskusi, Hendro, Litbang LPME Ecpose,  mengatakan jika diskusi kali ini adalah upaya untuk menanggapi keinginan dari LPM Manifest. Akan tetapi sayang sekali karena LPM Manifest terbentur dengan agenda lain, maka tidak bisa hadir. Selain itu, Hendro mengantar pembahasan diskusi dengan pokok pembicaraan seputar Persma. Hendro mencoba membuka pembicaraan dengan satu pertanyaan, apakah Persma telah memberikan sumbangan berupa perubahan dalam realitas?

Kemudian Rizki Akbari, Sekjen DK-Jember, memberikan tanggapan. Rizki mengawali pembicaraan dengan merunut kembali bagaimana peranan Persma dalam tiap zaman. Hingga merujuk pada Persma kekinian yang telah kehilangan konsentrasi pengawalan isu karena tidak ditemukan musuh bersama.

Edo, Pemimpin Umum LPME Ecpose, turut menyumbangkan pemikiran mengenai perjalanan pengawalan isu Persma. Menurutnya, Persma dan berbagai aktivitas Organisasi Mahasiswa (OM) pada awalnya mempunyai hubungan yang baik dengan Angkatan Darat (AD). Akan tetapi berbalik arah dan saling berperang ketika masa beranjak pada periode Soeharto. Sehingga pengekangan terhadap kehidupan aktivitas OM mulai bermunculan misalnya dalam bentuk NKK/BKK. Hal ini terjadi karena aktivitas OM yang telah diklaim membahayakan keamanan negara.

Jika ditinjau kembali Edo berujar, Persma lebih terfokus untuk mengawal kebijakan daerah atau yang biasa disebut dengan jurnalisme etnografi. Di samping itu, Edo juga mengatakan jika independensi Persma kekinian terletak pada pemikiran. Walaupun untuk tetap hidup, Persma kekinian lebih memilih bekerjasama dengan sponsor. Namun hubungan kerjasama tersebut harusnya tidak mempengaruhi kerja redaksi.

Di sisi lain, Diekey, Litbang LPMS Ideas, menyambung topik berkelanjutan yang semenjak tadi berhenti di Edo. Menurut Diekey Persma ataupun aktivitas OM manapun, mempunyai relasi yang kuat dan saling menguntungkan dengan militer di era Soekarno. Entahlah mengapa sebabnya ketika memasuki era Soeharto, Mahasiswa menjadi bermusuhan bukan hanya dengan militer, para sejarahwan pun tak luput menjadi objek yang harus dikritisi bagi mahasiswa.

Pada era itu pula, sebenarnya aktivitas OM tidak pernah terjalin menjadi satu kesatuan dalam sebuah tubuh organiasi. Malah yang terjadi ialah muncul semakin banyak nama dan bendera sebagai tanda kehadiran banyak OM yang baru. Jika kekuatan militer untuk memukul aktivitas OM berupa NKK/BKK. OM juga berhasil merealisasikan ‘militer back to barak’.

Akan tetapi serupa dengan apa yang dikatakan oleh Rizki, Diekey mengatakan jika terdapat split atau jarak antara aktivitas OM era Soeharto dengan pada era kekinian. Hal itu terjadi karena setelah Soeharto runtuh banyak sekali anggota dari organiasi mahasiswa yang terjun pada politik praktis. Ujung-ujungnya OM kekinian ternyata mengkritisi kakak-kakak organisasinya.

Kemudian sembari membenarkan pendapat Edo,  Diekey mengatakan memang ada perubahan arah isu yang dikawal oleh OM. Hal tersebut terjadi ketika terdapat otonomi daerah. Sehingga kebijakan tidak diputuskan langsung oleh pusat. Maka dari itu isu yang sering diangkat OM kekinian lebih pada mengulas apa yang terjadi pada tiap daerahnya.

Masih membenarkan apa yang dikatakan oleh Edo, Diekey mengungkapkan jika sebesar apapun Persma menjalin hubungan dengan pihak sponsor. Harusnya pihak sponsor tidak diperkenankan mengorak-arik politik redaksi Persma. Selain itu, tidak ada itu apa yang dinamakan sebagai Cover Both Side. Dalam artian tidak ada berita yang seimbang. Misalnya ketika terdapat para petani yang melakukan aksi protes terhadap DPRD. Narasumber bagi berita seimbang adalah para petani dan anggota DPR. Akan tetapi tetap saja terdapat ketimpangan wacana yang mengakibatkan wacana berat sebelah. Maka dari itu benar seperti apa yang dikatakan oleh Edo, independensi Persma terletak pada pemikiran yang bergerak dalam politik redaksi. Oleh sebab itu, Persma harus memiliki ideologi untuk memilih jika orang-orang bawah yang harusnya menjadi pokok pembelaan.

Sedangkan Arum, Pemimpin Umum LPM Explant, melanjutkan pembahasan mengenai isu apa yang sering menjadi fokus pembahasan mahasiswa kekinian. Terlebih bagaiamana cara mengawal isu itu sendiri. Arum mencoba mengawali dari wacana umum yang terdapat dalam tubuh LPM Explant, latar belakang Politeknik membuat Explant berusaha mencari jati diri atau sudut pandang tertentu dalam menguliti sebuah isu. Selama ini Explant mencoba menganalisa isu berbekal ilmu akademik yang diperoleh oleh anggotanya. Misalnya menganalisa kebijakan daerah dari sudut pandang dampak agraris.

Rizki turut angkat bicara terkait topik forum mengenai pengawalan isu oleh Persma kekinian. Menurut Rizki, latar belakang disiplin ilmu akademik seharusnya membuat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) lebih bebas mengupas isu. Selain itu dengan cara semacam ini, akan membuat LPM lebih kuat dalam membawakan wacana. Misalnya saja LPME Ecpose pernah mengangkat isu terkait permasalahan agraris, akan tetapi sudut pandang yang dipakai ialah apa sebab dan akibat dari sisi perekonomian.

Dalam forum diskusi yang dihadiri oleh 13 orang dari empat LPM tersebut, LPM Explant, LPMM Alpha, LPMS Ideas, LPME Ecpose. Seakan terjadi persamaan pemahaman jika hakekat tentang apa itu Persma memiliki berbagai makna yang berbeda bagi tiap orang. Hal ini seolah terdapat ruang bebas bagi tiap LPM untuk menafsirkan tanpa kekangan.

Di luar hujan berkombinasi dengan angin tiba-tiba rontok ke bawah. Forum diskusi tersebut diakhiri sembari melanjutkan obrolan sederhana seputar kegiatan masing-masing LPM. Lebih dari separuh peserta forum yang masih bertahan.[]

Leave a comment