Menggurat Visi Kerakyatan

Ngerumpi dan Ruang Protes

367

Selasa malam (7/2), saya ngumpul bareng dengan teman-teman satu kampus di warung kopi DPRD Jember. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari sistem pengajaran dosen yang tidak menyenangkan, tentang temen cewek di Facebook, Fotografi, dan hal-hal kecil lainnya yang kadang berbau ‘gosip’.

Jika dipikir-pikir, meskipun dalam aturan agama maupun etika, yang namanya ‘gosip’ atau lebih akrab dikatakan ngerumpi, itu kurang baik,  namun rasanya ada gunanya juga. Di warung kopi maupun dimana pun itu, ketika terbentuk  kerumunan, pasti terjadi proses dialogis.  Saling tukar pengalaman, gagasan, maupun canda tawa. Di situlah, ruang kebebasan untuk berbicara dan berpendapat bisa kita nikmati. Selain itu muncul beberapa kritik untuk saling membangun antar teman maupun siapapun yang menjadi bahan perbincangan sebagai bahan korenksi diri, meskipun objek yang dibicarakan terkadang tidak ada disitu.

Sebenarnya saya sendiri ‘ogah’ dengan yang namanya tontonan infotaiment seputar selebritis di telivisi dan di berbagai media. Terkesan hanya informasi yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan realitas problem di masyarakat. Sebuah kepentingan media infotaiment, maupun artis sebagai sarana popularitas individual yang saling membutuhkan antara keduanya.

Ada berbedaan mendasar antara ngerumpi secara terbuka dengan tertutup. Ngerumpi secara tertutup hanya akan dinikmati oleh orang-orang dalam kerumunan itu sendiri. Ngerumpi secara terbuka seperti di media selebriti, akan dipublikasi di kahalayak umum melalui media.  seseorang yang dijadikan bahan perbincangan memang saling mengetahui. Akan tetapi hal tersebut secara tidak sadar akan mengkonstruk pemikiran publik utuk turut mengikuti pola hidup mereka yang cenderung hedon. Tentang popularitas selebriti yang menjadi tren bagi kalangan muda, turut  digunakan dalam bahasa tren sehari hari. “Sesuatu banget,” ala Syahrini misalnya. Namun Saya akan sepakat jika ngerumpi dalam bentuk apapun bisa mengandung unsur yang mendidik.

Awalnya saya malas untuk keluar dari kontrakan untuk malam itu, entah itu ngopi maupun hal lainnya. Tak lama kemudian, Firman tiba-tiba mengirimi saya pesan singkat. Ia mengajak ‘ngopi’ mala ini. Rasanya tidak enak mau menolak ajakannya, karena kami cukup lama tidak ngopi bareng. Sambil berfikir, saya sengaja tidak membalas pesan tersebut. Sampai akhirnya firman mengirim pesan lagi, “Mbot piye? Mesti lak diSMS gak tau mbales.” Setelah membaca, serentak saya langsung membalasnya, seolah baru tahu kalau dia mengirim pesan. “Heh, iyo. Ayo nangdi?” Saya menjawab dengan penuh antusias, meskipun tidak dalam fikiran saya.

Akhirnya saya berangkat bersama Diki menuju Kost dimana firman tinggal, sebelum berangkat menuju warung kopi. Sesampai di warung kopi, firman merasa aneh dengan tingkah laku saya yang menurutnya cenderung diam. “Untuku sakit mbot, seng mburi tukul maneh untuku,” jawabku. Oooo iyo, pancen loro, aku yo tau. Sejak itu, rasanya Firman sudah tau mengapa saya terlihat kurang antusias untuk ngopi malam itu.

Terlepas dari itu semua, saya sempat ingat dengan kejadian yang ada di perkebunan PTPN silosanen,  Jember. Setelah membaca makalah Erna Rochiyati .S, Yang juga membahas sebuah rasa perlawanan melalui ‘gosip’. Suatu makalah yang sempat disajikan dalam  Seminar Nasional “Mengangan Ulang (Ke)Indonesia(an)” Pekan Chairil Anwar. Fakultas Sastra, Universitas Jember, 18-19 Mei 2011.

Pada awalnya, terjadi peran ganda yang dijalankan oleh ibu-ibu rumah tangga pekerja buruh perkebunan PTPN Silosanen. Peran ganda tersebut berupa pekerjaan sebagai buruh dan diwilayah domestik. Pekerjaan tersebut dilakukan bukan semata sebuah aktulisasi diri untuk bekerja karena keinginan. melainkan karena tuntutan untuk turut membantu kebutuhan finansial rumah tangga, karena gaji suami yang juga  bekerja sebagai buruh terbilang tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Para buruh tersebut tidak mendapat upah kerja yang sesuai dengan keringat bercucuran, sebesar 350 ribu perbulan. Selain itu jaminan kesehatan yang tidak memadai juga dirasakan. Meskipun demikian, hal tersebut tidak membuat mereka tinggal diam. Muncul benih perlawanan berupa ‘ngerumpi’ untuk membicarakan keluhan yang mereka alami tentang harga sembako yang naik dan hal lain seputar kebijakan pemerintah maupun pihak perkebunan.

Sebuah gerakan protes yang halus, Menurut Kartodirjo, Banyak macam bentuk gerakan protes, mulai hanya sekedar diam yang melambangkan sebuah perlawanan sampai gerakan radikal. Ngerumpi atau rasan-rasan merupakan gerakan diam, Sebuah protes tertutup tanpa menyuarakannya langsung kepada Objek yang diperbincangan.

Barangkali karena meraka memang merasa butuh dengan pekerjaan tersebut, sehingga tidak berani protes.Selain itu merasa ada penghasilan rutin setiap bulan, tempat tinggal yang sudah disediakan dan tesedia rutinitas pekerjaan, meskipun dari pekerjaan tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan hidup.

Rendahnya pendidikan merupakan salah satu penyebab terjadinya kemiskinan dan kesenjangan dari para buruh itu sendiri, kurangnya kesadaran politis yang membuat mereka cenderung menentukan sikap ‘diam’. Namun dengan ‘rasa terekspolitasi’ karena pemerintah dan sistem perkebunan yang belum mampu menyejahterakan. para buruh menyampaikan protes dengan cara ngerumpi untuk saling berbagi cerita layaknya diwarung kopi. []

Leave a comment