Pada sebuah pertandingan, kemenangan adalah tujuan akhir dari segalanya. Segala bentuk taktik dan strategi diatur sematang mungkin, tak jarang juga berbagai tindakan licik dan curang digunakan untuk mengejar tujuan akhir tersebut. Sama sekali tak ada pemakluman, pertandingan adalah pertandingan: kawan bisa menjadi lawan. Lawan bisa berpura-pura menjadi kawan. Pertandingan adalah sebuah arena berseteru. Berani kalah berarti berani malu.
Tapi bagaimana jika kedua kubu—yang menang dan yang kalah—sama-sama diserang sindrom megalomania, sama-sama tidak mau terlihat memalukan di muka umum? Hal inilah yang saya lihat dalam kontestasi pemilihan dekan di kampus saya tercinta, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Jember (UJ). Sebuah kontestasi yang memang dari awal memang sudah diprediksikan tidak sehat. Mengapa tidak sehat?
Tidak sehat jika dilihat secara de facto bahwa calon dekan yang kalah dalam pengambilan suara di wilayah senat fakultas, dimenangkan di tingkat rektorat dan dilantik menjadi dekan baru. Tapi jika dilihat secara de jure, ada aturan yang mengatakan bahwa suara yang diambil di tingkatan senat fakultas hanya sebuah bentuk rekomendasi kepada rektor untuk memilih dekan. Dari sinilah perseteruan muncul. Sebenarnya saya agak ragu menyebutnya sebagai de facto dan de jure. Karena jika ditelisik ulang kedua kejadian itu sama-sama masuk dalam aturan yang sudah ditata dalam Statuta Universitas Jember.
Tapi saya tidak mau larut dalam perseteruan dua kubu—calon dekan yang ‘dimenangkan’ dan ‘dikalahkan’. Tapi saya lebih ingin berbicara tentang berbagai fenomena yang terjadi setelah kontestasi pemilihan dekan tersebut. Berbagai fenomena muncul secara masif dan terstruktur: adanya aksi dari mahasiswa dan dosen yang membawa isu ‘matinya demokrasi’, muncul komunitas G-212 dengan berbagai diskusinya, muncul aksi mahasiswa yang menolak arogansi dosen yang mengganti mata kuliahnya dengan wajib hadir diskusi di komunitas G-212.
Dari berbagai gerakan tersebut, saya seperti dihadapkan pada perseteruan dua kubu. Pertama kubu yang pro calon dekan yang ‘dikalahkan’ dan kedua kubu yang pro calon dekan yang ‘dimenangkan’. Sebuah pertandingan yang sebenarnya sudah menemukan pemenang, tapi punya rentetan perseteruan yang belum berakhir. Perseteruan yang dibawa kemana-mana oleh kedua kubu, mulai dari Pengadilan Tata Usaha Negara sampai ke media sosial seperti Facebook. Karena saya adalah salah satu mahasiswa FIB UJ, lingkaran pertemanan saya di Facebook tentu tidak jauh dari mahasiswa dan dekan FIB UJ.
Perseteruan setelah dilantiknya dekan baru FIB UJ ini menurut saya lebih mengerikan. Kedua kubu melahirkan—walaupun tidak terlihat secara gamblang—klaim atas kebenaran mereka masing-masing dan berusaha saling menegasikan antar kelompok. Dalam beberapa faktor, hal ini memunculkan sebuah kebencian. Lantas dari situlah saya melihat munculnya fasisme. Kedua kubu yang di dalamnya ada dosen dan mahasiswa tersebut sebenarnya menjaga perseteruan mereka agar tidak begitu terlihat ke muka publik. Tapi come on, mereka berlempar komentar serta status panjang di media sosial dan menunjukkan bahwa kedua kubu menjaga kemurnian pendapat mereka masing-masing.
Walaupun apa yang dipertahankan oleh kedua kubu tidak berhubungan dengan nasionalisme, bolehlah saya menyematkan gelar fasis kepada keduanya. Saya kira sampai sekarang kampus masih menjadi miniatur negara dan kedua kubu tersebut berhubungan dengan para pimpinan kampus. Satu kubu meneriakkan gelora demokrasi di wilayah kampus. Satu kubu membantah bahwa konsep demokrasi tidak sesempit pemahaman kubu lawan. Ini membingungkan tapi kadang sebuah kelompok fasis memang sengaja mencacatkan nalarnya.
Perseteruan fasis versus fasis lah yang terjadi. Kubu pro calon dekan yang ‘dikalahkan’ membawa isu cacatnya demokrasi, karena calon dekan yang mendapat suara terbanyak di tingkatan senat tidak dilantik. Mereka menganggap bahwa asas demokrasi sudah dicederai dan mereka getol sekali meneriakkan pengembalian demokrasi di kampus. Tapi apakah sebelum kontestasi pemilihan dekan ini demokrasi benar-benar dijalankan di kampus UJ?
Seharusnya kubu ini menoleh ke belakang terlebih dahulu. Dulu ada mahasiswa menulis kritik saja sudah dianggap subversif dan dipanggil untuk ‘disidang’. Permintaan audiensi dari mahasiswa mengenai berbagai kebijakan yang diambil oleh pihak birokrasi, ditolak. Juga masih ada beberapa lainnya. Ketika beberapa hal tersebut terjadi, dimana kubu yang membawa-bawa asas demokrasi itu? Tidur? Atau sudah terlena dengan berbagai proyek yang menghasilkan pundi-pundi rupiah?
Lalu kubu yang pro calon dekan yang ‘dimenangkan’ juga melakukan hal yang sama; membawa isu-isu yang sebenarnya sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Contohnya penggantian jam kuliah dengan acara lain yang tidak ada hubungannya dengan materi kuliah. Coba lihat di Jurusan Sastra Indonesia, apa hubungannya mata kuliah Sastra Daerah dengan kewajiban melihat pentas Wayang di rumah si dosen? Isu tersebut sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya, tapi kenapa kubu ini baru saja menggembar-gemborkan isu itu sekarang? Dulu kemana saja? Mengawal kebijakan alumni?
Munculnya fenomena fasis versus fasis harus disadari juga dari sudut pandang pengendalian wacana. Saya kira kedua kubu tersebut mencoba mengontrol pola pikir mahasiswa yang tidak fokus pada isu ini agar ikut terseret dengan cara memproduksi pengetahuan naif. Kesadaran kritis sedang dialihkan agar kedua belah pihak tidak terlihat sedang melanggengkan kepentingan masing-masing. Maka dari itu, seharunya ada sudut pandang baru yang ditawarkan agar kedua kubu sadar bahwa agenda-agenda dan perseteruan mereka sangat membuang-buang waktu.
Kenapa saya sebut membuang-buang waktu? Karena kedua kubu tersebut berseteru hebat dengan memunculkan sikap-sikap fasisme mereka, sedangkan ada geng-geng fasis lain yang sedang bermain di tataran yang lebih tinggi: UJ akan segera membangun SPBU di wilayah kampus. Saya kira hal ini lebih urgen untuk dikawal daripada harus memperdebatkan demokrasi yang sama sekali sudah tidak ada di UJ sejak sebelum kontestasi pemilihan dekan.
Pembangunan SPBU di UJ seharusnya menjadi isu yang bisa dikawal oleh relasi antar kedua kubu tersebut. Kenapa UJ lebih memilih membangun SPBU padahal Program Studi Sistem Informasi saja gedungnya masih digabung dengan gedung perpustakaan. Selain itu ada apa dengan proyek pembangunan gedung di samping gedung kantor pusat atau gedung rektorat yang terbengkalai sudah hampir kurang lebih 5 bulan itu?
Saya kira gerakan-gerakan yang dibuat oleh kedua kubu yang berdebat mengenai kontestasi pemilihan dekan tersebut akan lebih berguna bila dipakai untuk mengawal isu-isu yang lebih punya keberpihakan pada mahasiswa. Apalagi jika kedua kubu bisa bergabung dan membangun relasi antarkelompok, semisal: G-212 Kanan-Kiri-Ok atau Fasis-Bersatu-Melawan-Fasis-Lainnya. Tentunya akan ada gerakan yang lebih hebat dan tidak membuang-buang waktu serta bisa memanfaatkan gagasan knowledge to power milik Foucault.
Kesadaran kritis yang terbangun jangan dipakai untuk melanggengkan kepentingan segelintir kelompok saja. Seharusnya kesadaran kritis tersebut bisa dipakai untuk melihat isu yang lebih besar dan lebih mengancam kepentingan masyarakat luas, dalam hal ini mahasiswa. Karena saya membicarakan teritorial kampus. Paling tidak jangan bikin malu Freire lah. Berlaga patriot tapi ujungnya jadi patriotik-fasis.
Tapi alangkah lebih indah dan berguna lagi bila kedua kubu bergabung menjadi satu, lalu memunculkan kesadaran kritis para mahasiswa lain untuk mengerti bahwa warga negara Indonesia sedang dalam bahaya. Sebuah bahaya yang diciptakan oleh fasisme yang lebih besar. Fasisme yang bisa memunculkan berbagai proyek gigantik yang menyedot habis para akademisi dan intelektual organik dari kecerahan hati nurani. Fasisme yang mengancam kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Pemberangusan pemikiran kiri, kriminalisasi petani karena konflik lahan, penggusuran kaum miskin kota, pengurukan laut demi investor dan berbagai kejadian yang merampas hak warga negara lainnya yang diafirmasi oleh aparatur negara. Lalu apakah mahasiswa dan dosen di UJ tercinta ini hanya bisa mengobrolkannya di warung kopi pagi sampai malam dan lebih mementingkan gerakan-gerakan yang membuang-buang waktu macam gerakan atas dasar kontestasi pemilihan dekan?
Hari ini, fasisme tidak akan menghendaki sebuah pertandingan yang sportif. Fasisme melalui afirmasi aparatur negara akan menghalalkan segala cara agar apa yang mereka inginkan berjalan lancar. Salah satunya dengan cara menyingkirkan yang tidak sependapat dengan mereka: memukuli dan memenjarakan para petani yang mempertahankan tanahnya, menerbitkan izin baru bagi perusahaan pertambangan yang akan merusak lingkungan, mengusir peribadatan umat lain, sampai menebar klaim kafir kepada lawan politik. Hal tersebut harus segera dilawan wahai kawan-kawan mahasiswa serta bapak-ibu dosenku. Bukan malah mencoba menciptakan bibit-bibit baru fasisme di dalam kampus. Karena seperti kata Homicide dalam lagunya yang berjudul Puritan, “…Fasis yang baik adalah fasis yang mati. / KultumDasamuka / dengan atau tanpa label agama / fasis tetaplah fasis. / Apakah kita akan diam saja melihat pola iblis ini / apakah kita akan diam saja menyaksikan mereka diam-diam menanamkanbibit-bibit fasis pada anak-anak kita / kita harus segera memusnahkan mereka sampai ke akar-akarnya…”