Menggurat Visi Kerakyatan

Rektor melantik, Akademisi Beraksi, Mahasiswa Tetap Berkreasi

454

“Siapapun yang mimpin itu, apa sih imbasnya ke mahasiswa,” ujar Ahmad Ulul Arham, mahasiswa Sastra Indonesia menanggapi perdebatan pemilihan dekan.

Pemilihan dekan di Universitas Jember (UJ)  dilakukan setiap 5 tahun sekali guna menentukan siapa yang menjabat sebagai pemimpin fakultas berikutnya. Pada awal Agustus 2016 lalu Fakultas Ilmu Budaya (FIB) melaksanakan pemilihan dekan. Diawali dengan sosialisasi atau pengumuman penjaringan bakal calon dekan, pemilihan ini berlangsung selama tiga bulan.

Nawiyanto, selaku ketua panitia penjaringan bakal calon dekan FIB menjelaskan bahwa untuk menjadi bakal calon, harus memenuhi persyaratan yang tercantum pada Peraturan Rektor UJ Nomor 3713/H25.6.1/KL/2011. Kemudian senat FIB UJ melakukan rapat khusus sebagai bahan pertimbangan kepada rektor. Senat FIB UJ yang berjumlah 18 orang yaitu dekan, pembantu dekan, ketua jurusan, profesor, dan wakil dosen. Setelah tahap di atas dilakukan, keputusan untuk mengangat calon dekan dikembalikan kepada Moh. Hasan, selaku Rektor UJ. “Tentu saja yang akan menentukan siapa yang akan menjabat sebagai pimpinan itu keputusan pada rektor,” tutur Nawiyanto saat ditemui usai presentasi program kerja.

Berikut adalah jadwal tahap awal penjaringan bakal calon dekan FIB UJ tahun 2016-2020:

tabel-aksi

 

Nawiyanto mengungkapkan bahwa untuk memilih dekan, rektor memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus di luar hasil pemilihan senat. “Biasanya yang mendapat pertimbangan terbesar biasanya diangkat, tapi ada pertimbangan-pertimbangan khusus yang di luar, hanya rektor yang tahu untuk menentukan,” tutur Nawiyanto.

Tidak diikutsertakannya mahasiswa dalam pemilihan dekan, menurut Nawiyanto, karena sudah diatur di statuta UJ. “Karena statuta universitas itu yang mempunyai suara untuk memilih dekan itu ditetapkan hanya senat. Beda dengan perguruan tinggi lain. Statutanya mengatur pemilihan dari senat tetapi juga perwakilan mahasiswa,” terang Nawiyanto.

Meskipun demikian, Nawiyanto menjelaskan bahwa mahasiswa masih dapat ikut andil dalam forum-forum seperti presentasi program kerja bakal calon dekan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mahasiswa di dalam forum tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh senat untuk menentukan pilihan. “Ya saya kira akan menjadi pertimbangan dari senat kan yang kemudian menentukan memberikan suara itu kan senat,” jelas Nawiyanto.

Berdasarkan hasil rapat khusus senat, menyebutkan bahwa peroleh suara tertinggi adalah Novi Anoegrajekti dengan 11 suara. Namun rektor melantik  Ahmad Sofyan yang mengantongi 7 suara di tingkat senat fakultas.

 

Pro-Kontra Dekan Terpilih

Hasil pemilhan Dekan FIB UJ Periode 2016-2020 mendapat tanggapan dari dosen. Salah satunya Ikwan Setiawan dosen Sastra Inggris. Ia merasa tidak puas dengan keputusan rektor. Ikwan menyayangkan keputusan Rektor yang dinilai mengesampingkan rekomendasi senat fakultas.  “Pertimbangan senat itu mengikat dan harus dipilih yang menang, tapi kan Pak Rektor katanya alesannya macem-macem. Akhirnya yang kalah dipilih,”  ujar Ikwan.

Ikwan berpendapat bahwa tugas rektor hanya mengangkat dan melantik dekan yang direkomendasikan Senat Fakultas, bukan memilih atas kehendaknya sendiri. ̋ Yang ada itu adalah Rektor mengangkat dan melantik dekan terpilih berdasarkan pertimbangan rapat senat fakultas, ̋ ujar Ikwan.

Terkait dengan hasil pemilihan ini, muncul respon berupa aksi serta diskusi terbuka yang diprakarsai oleh Ikwan sendiri dan beberapa dosen. Mereka menyebutnya dengan aliansi gerakan moral G212.

Aksi diskusi terbuka dihadiri oleh dosen bahkan mahasiswa. Mahasiswa yang mengikuti  diskusi tersebut menurut Ikwan, merupakan mahasiswa yang memiliki persamaan materi perkuliahan dengan topik diskusi. “Yang ikut itu hanya kelas-kelas yang ada persamaan saja, persamaan materi,” lanjut Ikwan.

Berikut tabel aksi-aksi yang telah dilakukan di FIB-UJ:

 

tabel-aksi

Di sisi lain, pendapat yang berbeda diberikan oleh Agung Purwanto, kepala Humas Rektorat UJ. Ia mengatakan bahwa dalam statuta senat hanya memberi rekomendasi dengan cara pemilihan suara untuk menentukan peringkat satu dan dua dari para calon dekan tersebut. “Pemberian pertimbangan sebagaimana yang dimaksud dilakukan melaui pemungutan suara senat di fakultas, untuk menentukan peringkat, bukan dekan gitu lho,” terang Agung.

Pernyataan tersebut ia kaitkan dengan Peraturan Rektor UJ Nomor 3713/H25.6.1/KL/2011 Pasal 11 yang menjelaskan bahwa pemberian pertimbangan calon dekan dan penetapan calon dekan dilakukan melalui pemungutan suara di rapat senat yang diselenggarakan khusus. Sedangkan pada Pasal 12 menjelaskan bahwa penetapan calon dekan didasarkan atas peringkat perolehan suara. Kedua pasal tersebut ditekankan kembali pada pasal 16 yang berbunyi “Penetapan pengangkatan dekan oleh rektor didasarkan atas pertimbangan dan penetapan calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan pasal 12”.

Agung juga berpendapat bahwa pemilihan dekan di UJ sudah dalam prosedur yang benar. Dekan dengan suara senat terbanyak tidak dipilih oleh rektor karena alasan kualitas yang kurang memenuhi syarat sebagai dekan. “Aturannya begitu, tidak ada hal yang keliru bagi Pak Rektor karena prosedurnya juga begitu,” lanjut Agung.

Ia menjelaskan bahwa rektor sendiri membiarkan segala aksi tolak dekan terpilih dan melihat perkembangan yang akan terjadi berikutnya. “Ya dibiarin sama Pak Rektor,” kata Agung.

Permasalahan dalam pemilihan dekan FIB memicu respon mahasiswa. Salah satunya Beny Widia Putra, mahasiswa Ilmu Sejarah yang menggeluti bidang seni rupa. Beny membuat instalasi di depan jurusan Sastra Inggris pada 25 Oktober 2016 berupa keranda dengan taburan bunga di sekitarnya. Di dalam keranda tersebut terdapat miniatur manusia yang meninggal dunia. Beny mengungkapkan bahwa instalasi tersebut merupakan pertanda bahwa demokrasi telah mati. Dia mengharapkan adanya penjelasan dari pihak rektor atau pun dekan terpilih. “Apa dia nggak tahu kita butuh penjelasan gitu loh? Pasti seorang rektor tahu bahwa ini ketidakadilan gitu loh, suara yang lebih sedikit malah dipilih,” ungkap Beny.

Beny menyatakan bahwa awalnya dia tidak mengetahui tentang sistematika pemilihan dekan sesuai Peraturan Rektor. Dia hanya mengetahui bahwa seharusnya dekan yang dilantik adalah dekan dengan suara terbanyak. Dia mendapat kabar bahwa Fakultas Hukum dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam juga pernah mengalami kasus serupa. Hal tersebut membuat Beny merasa ada kepentingan lain yang menunggangi karyanya. Awalnya Beny membuat instalasi untuk menegakkan demokrasi, tetapi karyanya justru seakan berpihak pada salah satu calon dekan. “Kalau demokrasi mati, sudah mati lebih dulu banget di fakultas lain ya, kalau memang kamu ini penegak demokrasi, pecinta demokrasi, menjaga demokrasi, mempermasalahkan demokrasi: telat!” tukas Beny.

Beny menuangkan luapan emosinya dalam bentuk instalasi ke dua yang diciptakan di depan halaman aula FIB UJ. Instalasi kedua ini bernama “Otonom” yaitu sel saraf tidak sadar yang ada pada tubuh manusia.

Pada instalasi ke dua terdapat barang-barang mulai dari yang masih terpakai sampai barang bekas. Semua digantungkan di atas tali rafia merah. Beny menjelaskan bahwa karya ini merupakan gambaran dari sebuah kepentingan. “Ketika malang (bersilang) ke mana-mana, itu adalah jalur kepentingan yang ada di mana-mana. Menindih banyak kepentingan lain, membunuh banyak kepentingan lain, membiarkan kepentingan lain mati di atas kepentingan yang masih hidup,” jelas Beny.

 

Mahasiswa Tak Miliki Andil dalam Pemilihan Dekan

Berdasarkan peraturan yang berlaku, mahasiswa tidak memiliki peran dalam pengambilan keputusan pemilihan dekan. Maka organisasi mahasiswa (ormawa) FIB UJ menyepakati untuk tidak memihak pada salah satu kubu. “Kalau dari teman-teman ormawa pas di rapat aliansi, memang tidak ada yang menyatakan bahwa mereka memihak,” kata Rahmad Hendrawan, Ketua Umum English Departement Student Asossiation.

“Namun juga ada niatan untuk bertemu dengan dekan terpilih dalam rangka penyampaian aspirasi yang berkaitan dengan kebutuhan para mahasiswa, lebih khususnya pihak ormawa,” tambah Hendrawan. Organisasi mahasiswa FIB UJ menginginkan adanya audiensi dengan dekan terpilih. Melalui audiensi ini diharapkan mahasiswa dapat mengawal setiap kebijakan yang akan diambil oleh pimpinan fakultas.

Ahmad Ulul Arham, mahasiswa Sastra Indonesia memiliki pendapat yang sama. “Siapapun yang mimpin itu imbasnya ke mahasiswa,” ujar Arham. Mahasiswa tidak bisa berbicara banyak mengenai sistem yang diterapkan, karena dari awal mahasiswa tidak memiliki suara dalam pemilihan dekan. Arham lebih menekankan pada dampak yang akan diterima mahasiswa ketika dekan terpilih menjalankan program kerjanya.

Arham juga berpendapat bahwa konflik ini jangan sampai memecah belah civitas akademika FIB UJ. “Apakah satu fakultas ini konflik semua? Kan enggak. Ada yang damai juga, kayak gini nih,” kata Arham menunjuk kegiatan teman-temannya di sekretariat ormawa di FIB UJ.

Perbedaan pandangan dari setiap mahasiswa merupakan hak masing-masing. Meskipun berbeda pendapat, Arham tidak ingin mahasiswa saling berseteru dan terpecah. “Kalau mau bersuara silakan, kalau mau menerima silakan, mau menolak silakan, tidak ambil duitnya tidak masalah, tapi yang penting, mahasiswa tidak terpecah begitu saja,” kata Arham. []

 

Penulis:

Nur Hamidah

Ulfa Masruroh

Ayu Kristiana

Abdul Haris Nusa Bela

Leave a comment