Menggurat Visi Kerakyatan

Dari Jember untuk Petani Temon

1,580

Nur Fitriani, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Jember (UJ) merasa prihatin atas apa yang dialami warga penolak bandara di Kulon Progo, Yogyakarta. PT. Angkasa Pura I (Persero) bersama Tentara Republik Indonesia, Satuan Polisi Pamong Praja, dan aparat Kepolisian menggusur paksa warga dari tanahnya.

Perempuan yang akrab disapa Fitri ini awalnya tidak terlalu tertarik dengan isu agraria. Sampai akhirnya kawan-kawan Perhimpuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) kota Jember, mengadakan diskusi bertajuk “Pers Mahasiswa Mengawal Isu Agraria” pada Senin, 4 November 2017. Diskusi itu bertempat di Lembaga Pers Mahasiswa Pertanian Plantarum. Taufik Nurhidayat, pers mahasiswa dari Yogyakarta sedang bertandang ke Jember. Kehadiran Taufik dalam diskusi menambah daya tarik acara ini.

Contoh kasus agraria yang menjadi pembahasan dalam diskusi adalah pembangunan bandara di Kecamatan Temon, Kabupaten Kulon Progo. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta menggusur warga demi membangun New Yogyakarta International Airport  (NYIA). Padahal sudah ada Bandara Adisutjipto. Warga yang menolak tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP). Meski aliran listrik diputus paksa, warga tetap mempertahankan tanah mereka. Tanah itu adalah sumber penghidupan mereka selama ini.

Sejak diskusi itu, Fitri pun mulai sering membaca berita tentang penolakan bandara di Kulon Progo. Ia juga mengikuti perkembangan kasus tersebut melalui instagram. Beberapa akun instagram yang selalu memberi informasi terbaru soal Kulon Progo seperti @jogja_darurat_agraria dan @predator_yk. Bisa juga menggunakan #stopNYIA di mesin pencari.

Kamis, 19 Juli 2018 akun tersebut mengunggah video pengosongan lahan secara paksa oleh aparat. Nampak Warginah, seorang petani Temon mengenakan mukena berwarna merah muda. Aparat memaksa Warginah keluar dari rumahnya.

“Aku nangis jerit-jerit di kamar lihat video Bu Warginah. Aku kunci (kamar), terus nangis,” tukas Fitri. Awalnya Fitri tidak ingin saya menuliskan bagian ketika ia menangis. “Malu,” katanya.

Meski kuliah di Fakultas Pertanian, Fitri cerita bahwa mahasiswa di fakultasnya jarang melakukan penelitian di daerah yang mengalami konflik agraria. “Aku merasa malu sebagai mahasiswa pertanian di kampusku (konflik agraria) itu seolah tabu untuk dibicarakan,” katanya. Tabu karena ada desas-desus bahwa mahasiswa yang membahas konflik agraria untuk tugas akhir, niscaya lulus lama. Skripsi konflik agraria biasa menggunakan metode penelitian kualitatif. Fitri bilang, penelitian macam ini memang butuh waktu sedikit lebih lama.

Sementara yang tertarik dan peduli dengan pembahasan konflik agraria sebagian besar mahasiswa yang aktif ikut gerakan, kesenian atau pers.

Melihat pengosongan lahan 19 Juli lalu, membuat kawan-kawan di Jember resah. Maka, pada Minggu, 22 Juli 2018 mereka berkumpul di Warung Kopi Buleck.

Fitri juga ikut. Ia datang terlambat. Ada sekitar 10 mahasiswa. Mereka bikin konsep acara solidaritas untuk petani Temon sekaligus galang dana. Mereka sepakat bikin acara pada Jumat, 27 Juli 2018 di depan gerbang Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) UJ.

Acaranya bebas dan santai. Ada yang tampil di panggung untuk bernyanyi, untuk berbagi kabar terbaru soal petani Temon, atau berbagi cerita soal komunitas masing-masing. Selain itu, Perpustakaan Jalanan Jember turut memeriahkan dengan membuka lapak baca. Ada Sebuah Project, ruang kolektif perupa dan pegiat literasi yang membuka lapak zine. Ada juga yang jual kaos, aksesoris, bahkan jasa sablon. Semua keuntungan dari penjualan akan didonasikan untuk petani Temon.

Sementara penonton bisa memberi donasi berupa uang maupun barang. Barang yang bisa berupa sembako atau sandang layak pakai.

Tidak ada kepanitiaan formal dalam panggung solidaritas ini. Mereka membagi kerja dan tanggung jawab sesuai kemampuan masing-masing.

Fitri kebingungan. Apa yang bisa dia lakukan untuk petani Temon? Akhirnya seorang kawan menyarankan dia berjualan es cincau, karena Fitri jago masak.

Akhirnya, Fitri pun jual es cincau. Ia sudah menyiapkan lapak sekitar pukul 16.00. Ia menjajakan es cincau bikinannya sendiri seharga 3000 rupiah. Sama seperti pelapak yang lain, keuntungannya akan didonasikan untuk petani Temon.

Seharusnya acara mulai pukul 15.00 namun sound system masih belum siap. Listrik dari PKM belum tersambung. Sementara langit abu-abu dan awan mendung tak kunjung pergi. Gerimis turun.

Beberapa mahasiswa UJ yang terlibat dalam acara mengurus izin untuk membuka gerbang PKM. Mereka memindahkan lapak dan sound system ke teras PKM. Gerimis membuat acara molor sampai sekitar pukul 18.30.

Acara bertajuk “Pilih Nandur Ora Mabur itu” selesai menjelang tengah malam. Uang donasi yang terkumpul sampai Sabtu, 28 Juli 2018 pukul 17.00 sebesar 1.449.000 rupiah. Beberapa kawan dari Jember akan berangkat ke Temon, Kulon Progo untuk memberikan sembako dan sandang yang terkumpul dari acara tersebut. Mereka berangkat awal Agustus mendatang.

Ini bukan pertama kalinya kawan-kawan di Jember gelar panggung solidaritas. Senin, 23 April 2018 mereka adakan kegiatan yang sama sambil bikin lacar tancap. Mereka menonton film Ham Aku Nang Kene. Sayangnya, Fitri tidak sempat ikut April lalu. (Baca juga: Panggung Solidaritas, Bentuk Dukungan untuk Petani Temon)

Fitri tidak dapat membayangkan bila apa yang dialami petani Temon, terjadi padanya. “Lihat videonya aja sudah ngeri. Aku gak bisa bayangin wes,” ucap Fitri. Berjualan es cincau nampaknya sederhana. Namun apa yang Fitri lakukan malam itu merupakan bentuk dukungan dan semangat untuk petani Temon. Baik itu sebagai mahasiswa Fakutas Pertanian, maupun sebagai sesama manusia. []

Leave a comment