Menggurat Visi Kerakyatan

Berkaca dari Wajah Kusut Pertambangan di Borneo

333

“Kalau tadi kita ‘salam lestari’, terus kita sekarang mau ngapain? Kalau kita tidak ingin ngapa-ngapain, kucukupkan sekian wassalamualaikum,” ujar Eko Teguh Paripurno dalam Seminar Regional Pertambangan, di Auditorium Fakultas Teknik Universitas Jember pada Jumat (23/9). Eko merupakan dosen geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, sekaligus aktivis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

Eko tidak bicara banyak mengenai pertambangan yang ada di Jember. Ia membandingkan pola pertambangan yang ada di Borneo dengan pertambangan di Indonesia secara keseluruhan.

“Saya melihat wajah kusut Borneo itu wajah kusut kita juga. Kelakuan di Borneo sama dengan kelakuan kita,” kata Eko. Ia menjelaskan ada pola permainan kekuasaan pada pertambangan di Indonesia. Beberapa permainan tersebut antara lain izin yang tumpang tindih, pemalsuan hal-hal administratif, potensi korupsi, reklamasi semu, bisnis konflik, dan amdal yang tidak relevan. Dengan permainan sedemikian rupa, yang kemudian menjadi korban adalah pribumi. Masyarakatlah yang menerima risiko pertambangan, seperti potensi banjir dan limbah. Pribumi terusir dari rumah mereka sendiri.

Eko mengatakan bahwa adanya pola ini ditandai dengan degradasi menuju titik kritis. “Titik ketika suatu ekologi tidak bisa menyantuni mahluk di sekitarnya,” jelas Eko. Eko mengajak kawan-kawan pecinta alam untuk peka dengan masalah seperti ini. Hal paling mudah dilakukan oleh pecinta alam adalah dengan menandai perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Ia mencontohkan ketika kegiatan ekspedisi, kawan-kawan bisa membandingkan kemudian mencatat perubahan apa saja yang tejadi dari tahun ke tahun ketika mendaki sebuah gunung. Catatan tersebut bisa berupa perubahan ekologinya, sosial, bahkan ekonomi masyarakat sekitar.

Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap risiko buruk pertambangan perlu ditumbuhkan. Eko memaparkan bahwa sosialisasi kepada masyarakat mengenai tingginya aset yang mereka miliki, merupakan langkah penting. Ketika masyarakat bisa mandiri dengan aset yang dimiliki, kata Eko, maka mereka tidak akan mudah diperdaya dengan pertambangan. “Selalu bertahan mengorganisir diri dan membangun sumber ekonomi alternatif,” ungkap Eko.

“Jangan sampai kita salah menempatkan sumber masalah,” kata Eko. Ia menganggapi pertanyaan peserta mengenai pendapatan daerah dan ekonomi masayarakat dengan keberadaan tambang. Eko mengingatkan bahwa setiap pembangunan pasti ada risikonya. Maka yang perlu dipertimbangkan adalah seberapa penting pembangunan itu untuk masyarakat, seberapa besar risikonya, dan permainan kekuasaan macam apa yang sedang terjadi.

Melalui seminar ini, Eko mengajak mahasiswa pecinta alam untuk memikirkan apa yang bisa dilakukan demi menanggapi pertambangan di Jember. “Pecinta alam yang baik, bukan seberapa tinggi yang didaki, tapi pecinta alam yang paling berkontribusi terhadap perubahan baik ‘salam lestari’ tadi,” tambah Eko. []

Leave a comment