Menggurat Visi Kerakyatan

Ancaman Resesi dalam Deja Vu

Bantuan pemerintah kepada masyarakat mencegah resesi (Ilustrasi: Shafira/Ideas)
1,152

Hampir lebih setengah tahun Corona Virus Disease-19 (Covid-19) di Indonesia menjadi perhatian publik dan monster menakutkan. Penyakit ini mungkin telah memberi sinyal kepada kita bahwa kesewenangan terhadap alam dan segala obsesi pertumbuhan menjebloskan kaki kita ke jurang pemiskinan lebih dalam.

Resesi pun diperbincangkan. Sebagian negara maju di Eropa sedang mengalami hal demikian tidak terkecuali tetangga kita Singapura dan Filipina yang mengumumkan dirinya terjebak dan terjerembab dari salah kebijakan yang menerapkan lockdown untuk menghindari meluasnya penularan Covid-19. Jika dipahami, Singapura yang lebih maju dalam perekonomian berani menerapkan kebijakan lockdown yang belum tentu menyelesaikan masalah merupakan sebuah kekeliruan yang mahal bagi Singapura, ada untungnya juga Indonesia tidak menerapkannya sehingga kita belum terdaftar dari negara yang mengalami resesi. Namun, daftar tersebut terbuka lebar bagi negara manapun yang tidak siap dan minim inovasi dalam menanggulangi Covid-19 secara matang.

Pada saat kuartal kedua tahun ini BPS (Badan Pusat Statistik) merilis PDB (Produk Domestik Bruto) kita terkontraksi di angka minus 5,32%, angka tersebut membuat kaget semua kalangan. Informasi demikian memberi ultimatum bagi para pelaksana negeri ini untuk segera cepat bertindak melakukan sesuatu agar bagaimanapun di kuartal berikutnya Indonesia lolos dari daftar hitam perekonomian yang membawa kita terjerumus dalam jurang krisis lebih parah dari 98.

Lalu apa yang sangat paling dibutuhkan pada masa sekarang mengingat monster Covid-19 terus-terusan membuat down segalanya?

Dalam iklim demokrasi sekarang ini kelompok kepentinganlah (group interest) yang berperan lebih dalam mengarahkan kebijakan luar negeri suatu negara. Sampai-sampai kedudukan tertinggi yang diemban oleh seorang presiden dapat ditaklukkan, dengan arti, idealisme seorang presiden dengan mudah ditundukkan atas realitas kehidupan kelompok kecil yang kuat dengan nilai uang. Inilah yang mempengaruhi jalannya suatu pemerintahan, tersendatnya alur perumusan hingga implementasi suatu kebijakan, dikarenakan kuasa presiden di atur atas dasar kepentingan kelompok kecil yang mengorbankan kepentingan mayoritas rakyat jelata.

Jika demikian keadaannya, kita sangat perlu merujuk kembali pada cita-cita bangsa ini, oleh karena itu, perlu memaknai lebih dalam lagi konstitusi (UUD 45) yang dilahirkan para pendiri bangsa dari filosofi serta pelaksanaannya.

75 tahun Indonesia secara de jure telah merebut hak istimewanya yaitu merdeka di bawah jajahan bangsa lain, tetapi secara de facto justru kita mengalami kemacetan bahkan berhenti di tengah jalan. Keenam pemimpin setelah era Soekarno telah menciptakan multitafsir terhadap cara mencapai tujuan utama bangsa, seperti kebijakan yang dihasilkan melalui persekongkolan aktor-aktor politik yang menguntungkan. Kondisi ini dibentuk secara sengaja oleh golongan yang jumlahnya sedikit tetapi memiliki pengaruh yang amat kuat di kekuasaan. Golongan kecil tersebut merupakan individu-individu yang maruk harta melalui kedekatan dan harmonisnya dengan penguasa.

Jika kita tarik benang merah antara kekuatan kelompok kecil yang kuat dengan keadaan ancaman resesi saat ini adalah menguatnya bisnis-bisnis orang  setengah kaya dan yang benar-benar kaya berskala kecil dengan dorongan dan seruan pemerintah yang terkesan mendidik untuk terus-terusan konsumtif, hal tersebut tercermin dari kebijakan bantuan berupa Rp. 600.000 selama kuartal kedua kepada pekerja formal yang bergaji di bawah lima juta dengan sasaran mendongkrak ekonomi rakyat sekaligus menyambung nyawa perekonomian dari kontraksi yang minus 5,32%.

Sadar ataupun tidak, pemerintah telah menjadi guru yang lihai mengajarkan keadaan rakyatnya untuk terus konsumtif daripada produktif (dampak banjir iklan kapitalis di lini masa), inilah penyakit kronis kita yang seolah tidak ada obat dan upaya untuk penyembuhan, akhirnya pola interaksi sosial ekonomi kita mengarah ke penjajahan gaya lama, dimana sumber daya alam kita sebatas sampul depan (cover) tidak dijadikan alat analisa sebagai jalan keluar dan parahnya dibiarkan untuk dieksploitasi dengan kekuatan finansial yang dapat mendikte.

Akibatnya terciptanya jurang yang sangat dalam bagi si  miskin, mengkristalnya perbudakan kelas, sektor produksi di pedesaan macet, banyak petani frustasi dari penurunan harga pertanian dan lebih parah lagi adalah banyak daerah-daerah tertinggal akibat poros Jakarta yang dijadikan tolak ukur perubahan, kesejahteraan tidak menetes dan menyerap ke kalangan bawah, singkatnya jauh dari pemerataan. Kesemuanya adalah cipratan dari didikan guru yang menghamba pada harta.

Pengalaman di masa Orba belum juga cukup menjadi guru kehidupan kita. Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) menyanjung kita sebagai murid teladan dengan status pertumbuhan yang sangat mapan, angka pertumbuhan yang dikeluarkan sebagai rapot terbaik, padahal kesemuanya adalah semu, tertipu dan akhirnya menciptakan bom waktu, meminjam istilah Paulo Freire “sekolah gaya bank”.

Indonesia memiliki potensi untuk mengalami deja vu jika kedaulatan negeri ini terasa sudah diobral secara terang benderang akibat peran orang kaya yang tamak. Potensi sumber daya kita hanya sebuah warisan. Konstitusi pasal 33 mengalami pendarahan yang cukup parah.

Seharusnya sebagai sebuah negara agraris dan kepulauan, kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus didahulukan terkait potensi produksi pertanian dan kelautan dengan keseimbangan adat istiadat setempat serta melakukan perlindungan terhadap masyarakat adat dari cengkraman kelompok kecil yang brutal. Karena dimasa pandemi sekarang negara-negara cenderung bersikap proteksi terhadap kebutuhan dasar rakyatnya masing-masing. Jangan sampai salah arah dalam memahami negara agraris, jangan sampai kebijakan Orde Baru (Orba) yang menciptakan sawah di sebagian besar wilayah Kalimantan dan Sumatera terulang kembali, karena keliru memahami pangan yang cenderung ke arah politik beras, menciptakan monokultur pangan yang mematikan adat istiadat beberapa daerah dalam hal pangan.

Kepercayaan kita sebagai negara penghasil pangan harus menjadi modal yang kuat dalam mencapai hajat hidup orang banyak. Jika kita memaknai konstitusi sebagai kepentingan nasional sudah saatnya kepentingan-kepentingan lain yang tidak sejalan dibuang jauh, sehingga kepentingan nasional berdiri tanpa ada yang menempel apapun itu termasuk kelompok manapun. Namun, jika sebaliknya, resesi pun ketuk pintu.

 

Kontributor : Ade Novianto Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia

Leave a comment