Menggurat Visi Kerakyatan

Aliansi Jember Menggugat, Tuntut RUU Cipta Kerja Dicabut

1,539

Pada Senin (5/10) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang melalui rapat paripurna. Aliansi Jember Menggugat melakukan aksi menolak RUU Cipta Kerja pada (8/10) di depan gedung DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Jember sebagai respon dari disahkannya RUU ini.

Masa aksi mulai berjalan menuju gedung DPRD pada pukul 09.02 WIB. Dengan titik kumpul Double Way Universitas Jember (UJ). Dua belas menit kemudian, masa aksi tiba di depan gedung DPRD. Pada pukul 09.47 WIB, lima orang aktor menggelar pertunjukan teatrikal. Kemudian agenda dilanjutkan dengan orasi. Pada pukul 10.32 WIB, masa aksi menggelar sidang parlemen jalanan. Sidang parlemen jalanan adalah aksi demonstrasi yang dilakukan di jalanan. Pada pukul 11.35 WIB, beberapa masa aksi menarik pagar berduri, lalu masuk ke dalam area tersebut. Pada pukul 11.46 WIB anggota DPRD turun untuk menemui masa aksi. Namun enam menit kemudian, ia kembali ke dalam gedung tanpa memberi penjelasan. Pada pukul 12.50 WIB, ketua DPRD turun setelah melakukan pertemuan dengan beberapa perwakilan Aliansi Jember Menggugat.

Ketua DPRD Jember, Itqon Syauqi, di depan masa aksi,  menyampaikan isi pernyataan tertulis bertanda tangan yang menegaskan bahwa DPRD Jember akan meneruskan sidang rakyat pada DPR RI, “Saya selaku ketua DPRD kota Jember telah menandatangani pakta integritas yang berisi tentang sidang rakyat hari ini dan siap mengantarkan langsung ke pimpinan DPR RI,” ujar Itqon.

Ia menambahkan bahwa DPR RI tidak akan memihak kepentingan oligarki (pemerintahan yang dijalankan oleh orang yang berkuasa dari golongan tertentu), “Kami tidak mungkin berpihak pada kezaliman oligarki,” ucap Itqon.

Koordinator lapangan (Korlap) Aliansi Jember Menggugat, Andi Saputra mengatakan bahwa pembuatan RUU berbeda dengan apa yang diinginkan oleh rakyat, “Langkah-langkah pembuatan undang-undang tidak sesuai yang diinginkan oleh rakyat, secara formil cacat, secara isi dan substansinya juga cacat,” ungkap Andi.

Menurut Andi, alasan ketidaksempurnaan undang-undang cipta kerja ini karena tidak adanya ikut serta masyarakat dalam pelaksanaan rancangannya, “Karena juga dalam pelaksanaannya selalu tidak mengedepankan partisipasi publik,” ujarnya.

Andi berujar bahwa pada masa pembahasan omnibus law (rancangan undang-undang yang berisi berbagai aspek lalu digabung menjadi satu undang-undang) beberapa Organisasi Masyarakat (Ormas) mengirim beberapa koreksi pada pemerintah. “Setiap Ormas pada masa pembahasan omnibus law, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, bahkan Ormas-ormas yang lain juga mengirimkan koreksi tapi kemudian pemerintah menyepelekan itu,” ucap Andi.

Ia juga menambahkan bahwa pada 5 Oktober secara diam-diam, Puan Maharani (Ketua DPR RI) mengesahkan RUU Cipta Kerja, “Kemudian secara diam-diam pada tanggal 5 Oktober kita tahu semua, Puan Maharani mengesahkan Undang-undang tersebut,” ujar Andi.

Andi mewakili Aliansi Jember Menggugat, berharap bahwa Undang-undang cipta kerja yang baru disahkan DPR RI dicabut, “Oleh karena itu, kami harap, dicabut undang-undang cipta kerjanya itu,” ucap Andi.

Fatah Ilham Amukti, Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember,  berujar mengenai konsolidasi yang dibahas sebelum aksi ada beberapa poin yang dibahas. Seperti penentuan korlap, teknis aksi,  hingga press realease (siaran pers)  yang berisi gugatan. “Pertama menentukan siapa korlap aksi pada hari ini dan menentukan bagaimana teknis lapangan kita ketika aksi, apakah menggunakan panggung rakyat atau panggung aspirasi rakyat, ternyata yang diputuskan teman- teman menggunakan sidang parlemen jalan yaitu seperti yang di atas tadi dan selain itu ada penentuan press realese,” ungkap Fatah.

Ia juga menerangkan bahwa press realese adalah dasar tuntutan aksi, press realese ini mempunyai dua poin, “Press realese ini dasar tuntutan kita untuk aksi, ada dua, pertama menolak dan mengecam pengesahan Undang-undang cipta kerja atau Undang-undang Omnibus law dan yang kedua kami menekankan mosi tidak percaya kepada DPR RI,” ucap Fatah.

Fatah mengungkapkan beberapa poin RUU Cipta Kerja yang ia rasa tidak masuk akal, yakni pasal ketahanan pangan, “Sangat konyol menurut saya ketika ada penyetaraan pangan di Undang-undang ketahanan pangan. Itu saya lupa Undang-undang nomer berapa, tapi titik pasal nomer 66 pasal 66 Undang-undang  ketahanan itu tentang penyetaraan ketahanan pangan,” ujarnya.

Fatah menambahkan bahwa ketahanan pangan ini menyetarakan pangan lokal dan pangan impor, padahal seharusnya pangan lokal yang menjadi pangan nasional, “Artinya kalau penyetaraan ketahanan pangan itu ada, yakni ketahan pangan itu ada dua, ketahanan pangan lokal sama ketahanan pangan impor. Ketahanan pangan lokal ini seharusnya menjadi prioritas utama sebagai ketahanan pangan nasional. Tapi kalau seumpama ada penyetaraan antara ketahanan pangan lokal dan ketahanan pangan impor artinya secara tidak langsung bisa saya simpulkan memang DPR ini membunuh petani secara perlahan,” ujar Fatah.

Sejalan dengan Andi, Fatah menyampaikan bahwa RUU Cipta Kerja ini tidak sempurna karena secara prosedural tidak ada partisipasi publik. Lalu berimbas pada tidak adanya keterbukaan dan pertanggungjawaban dalam merancang RUU Cipta Kerja, “Dalam merancang Undang-undang harusnya ada partisipasi publik, tapi pada saaat ini DPR RI tidak menggunakan itu. Melewati langkah itu. Artinya transparansi perancangan undang-undang ini tidak ada dan ini sangat mencederai prosedural perancangan Undang-undang,” ungkap Fatah.

Fatah berharap agar pengesahan RUU Cipta Kerja dihentikan dan dicabut karena tidak sesuai jika diterapkan di Indonesia. “Saya berharap pengesahan ini tidak dilanjutkan, karena memang Undang-undang ini tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia. Harapan saya DPR RI bisa mendengar aspirasi dari teman-teman di setiap daerah, di setiap kabupaten,” ujarnya. []

Penulis : Alifia Suci Rahma

Editor : Khuzaimatus Sholihah

Leave a comment