Aksi Turun Jalan Bentuk Duka atas RUU KPK
Pada Senin (16/09) pukul 09.00 WIB, ada puluhan orang berpakaian serba hitam berdiri di sekitar Double Way Universitas Jember. Mereka akan melakukan aksi turun jalan menolak Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK).
Para peserta aksi tersebut tergabung dalam Solidaritas Koalisi Anti Korupsi (SKAK) Jember dan berasal dari berbagai elemen. “Ini sebenernya kami ada dari GMNI, LPM Imparsial, ada dari AJI, ada dari forum wartawan,” ungkap Trisna Dwi Yuni Aresta, Koordinator lapangan (Korlap) aksi tolak RUU KPK.
Aksi dimulai dari depan Universitas Jember. Ada peserta aksi yang membawa replika keranda bertuliskan revisi RUU KPK = membunuh KPK. Ada pula mahasiswa yang menggendong boneka pocong bertuliskan KPK, ada juga mahasiswa yang menabur bunga sebelum aksi dimulai. Media aksi tersebut menggambarkan kematian KPK apabila RUU KPK disahkan. Pemilihan warna hitam sebagai dresscode merupakan lambang berkabung atas adanya RUU KPK. Aksi tersebut bertajuk The End of KPK.
Peserta aksi melakukan longmars hingga depan gedung DPRD Jember. Di sana beberapa peserta aksi secara bergantian melakukan orasi. Selain itu, ditampilkan pula sebuah teatrikal dari Komunitas Gelanggang, salah satu komunitas teater di Jember. DPRD Jember dipilih sebagai titik aksi agar masyarakat bisa melihat dan sadar bahwa ada permasalahan mengenai RUU KPK. “Banyak orang yang lewat sini, kita sengaja ambil view di sini agar penyadaran itu lebih berdampak besar,” ungkap Trisna.
Aksi ini merupakan bentuk pernyataan sikap SKAK Jember yang menolak RUU KPK dengan alasan revisi tidak prosedural, adanya pasal-pasal yang melemahkan KPK, dan kurun waktu yang terburu-buru. “Ada beberapa poin yang tidak kita sepakati dalam RUU ini,” ujar Trisna.
Beberapa poin tersebut yaitu pertama, KPK akan menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Trisna memandang seharusnya KPK adalah lembaga yang independen atau berdiri sendiri, bukan merupakan bagian dari eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. “KPK berusaha dimasukkan dalam rumpun eksekutif. Berarti itu sudah tidak independen lagi, tidak sesuai dengan semangat awal, semangat reformasi,” terang Trisna.
Kedua, kerja-kerja KPK akan diawasi oleh badan baru yang disebut dewan pengawas. Trisna memandang bahwa keberadaan dewan pengawas akan memperlemah kerja-kerja KPK.
Ketiga, mengintegrasikan KPK secara penuh ke dalam sistem peradilan pidana konvensional sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Penyelidikan harus dimulai dari kepolisian, tidak diperbolehkannya penyidik independen, hingga penuntutan yang harus dikoordinasikan dengan kejaksaan agung. “Penyelidikan harus melalui kepolisian itu menurut saya keindependensian KPK sebagai lembaga independensi sangat-sangat terganggu,” ungkap Trisna
Keempat, upaya penyadapan KPK harus seizin dewan pengawas. “Kalau kita berpikir ke depan OTT akan jarang dilakukan karena penyadapan itu akan dapat susah izin,” ungkap Trisna. OTT adalah Operasi Tangkap Tangan.
Kelima, memberi kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), apabila ada perkara yang tidak terselesaikan dalam jangka waktu satu tahun. “Memang ada beberapa kasus korupsi yang membutuhkan waktu lebih lama karena kehati-hatian KPK,” terang Trisna.
Trisna berharap RUU KPK tidak disahkan pada tahun ini. Ia berpandangan bahwa RUU KPK masih perlu dikaji lebih dalam lagi. “Kalau ini dilakukan revisi silakan lakukan revisi kami tidak membatasi asalkan digodok dengan matang,” ungkap Trisna.
Dinda Ayu Sakina, mahasiswa Fakultas Hukum merupakan satu dari sekian puluh peserta aksi. Ia turut menolak disahkannya RUU KPK. “RUU KPK ini tidak ada keurgensian, dalam hal ini justru malah mematikan keindependensian dari KPK itu sendiri,” ungkap Dinda.
Ada beberapa hal yang tidak disepakati Dinda dalam RUU ini. Salah satunya adalah penyadapan harus atas seizin dewan pngawas. “Seperti halnya soal penyadapan, harus minta izin dewan pengawas, itu saya rasa tidak perlu,” ujar Dinda.
Dinda beranggapan bahwa apabila RUU KPK benar-benar disahkan, hal itu akan mengganggu kinerja KPK. “Sangat sedih dan menyayat hati ya kalau ini misalnya disahkan. Karena sejatinya KPK memberantas korupsi bukan malah menjadi badan atau lembaga yang memayungi pelaku korupsi,” ungkap Dinda.
Dinda berpendapat apabila masyarakat merasa belum perlu ada RUU KPK seharusnya pemerintah meninjau ulang keputusan untuk mengesahkan RUU KPK. “Dalam hal merevisi undang-undang harusnya ditelisik lagi apakah perlu atau tidak. Saya harap pemerintah mendengarkan apa yang kami suarakan,” harap Dinda.
Namun, harapan Dinda dan peserta aksi yang menolak RUU KPK tinggallah harapan. Pada Selasa (17/09) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia telah mengesahkan RUU KPK.[]
Editor : Amizatul Liana Afikoh