Kekerasan Seksual Masih Terjadi di Unej: Sanksi Dipertanyakan Publik
Editor: I. W. Prayogi
Pada Senin (19/10) akun instagram resmi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jember (Fisip Unej), fisip_terkemuka, mengunggah sebuah surat pernyataan permohonan maaf pelaku tindak kekerasan seksual. Dalam unggahan tersebut termuat dua surat pernyataan permohonan maaf. Surat pertama berupa surat yang ditulis tangan langsung oleh pelaku berinisial IM, sedangkan surat kedua berupa surat yang diketik dan ditandatangani pelaku serta Ketua Satgas PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual) Unej.
Perilisan surat ini merupakan buntut dari peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa prodi Hubungan Internasional Fisip berinisial IM. Kasus tersebut terkuak melalui unggahan akun bernama @Irenedelyn pada Jumat (6/9) di media sosial X. Pada unggahan tertera foto diri disertai nama lengkap terduga pelaku. Tidak berhenti di situ, pengguna akun tersebut melanjutkan unggahannya pada media sosial instagram dengan melampirkan rangkuman data diri pelaku dilengkapi bukti-bukti aksi yang dilakukan oleh pelaku.
Pada surat-surat tersebut termuat rincian tindakan yang dilakukan pelaku dan sanksi akademik yang diputuskan oleh pihak kampus terhadap pelaku. Atas kejahatannya, IM mendapat hukuman skorsing selama dua semester atau satu tahun masa kuliah. Sanksi berupa skorsing yang diterima oleh pelaku pada surat dan tersebar di dunia maya itu menimbulkan pertanyaan publik terkait efektivitas sanksi yang diberikan terhadap pelaku. Publik berpendapat sanksi tersebut masih tergolong ringan, meninjau tindakan-tindakan pelaku dan durasi kejahatan yang dilakukannya. Untuk memperoleh kejelasan, awak redaksi LPM Ideas berhasil menyambangi Kantor Satgas PPKS empat hari setelah perilisan unggahan akun instagram Fisip tersebut.
Meninjau pada huru-hara netizen, Ketua Satgas PPKS, Dr. Fanny Tanuwijaya, S.H., M.Hum., menjelaskan bahwa sanksi yang diterima pelaku merupakan keputusan Rektor yang diambil berdasarkan rekomendasi Satgas PPKS Unej. “Semua kronologi kasus itu kan ada sanksinya ya, kami punya wewenang untuk menentukan rekomendasi kami, dan kami menjunjung tinggi putusan dari Rektor yang disepakati yang diberikan, putusan akhir diberikan pada Rektor,” jelasnya pada Jumat (22/10).
Menanggapi pertanyaan publik terkait sanksi, Ketua Satgas menyatakan bahwa sanksi yang diberikan sudah sesuai dan adil. Pada kasus ini, Pihak Satgas menyatakan rekomendasi sanksi dirumuskan berdasarkan bukti, keinginan korban dan kronologi kasus. Sanksi skorsing selama satu tahun tersebut dinilai cukup berat bagi pelaku. “Sanksi itu dalam Permendikbud itu mengatakan ringan ke sedang, tetapi efek kepada mahasiswa itu besar sekali, dia (pelaku) angkatan sembilan belas , dia tidak bisa menyelesaikan studinya dengan tepat waktu dengan adanya sanksi itu, permintaan maaf, di-publish lagi,” ungkap Fanny.
Pihak Satgas PPKS Unej mengemukakan telah melakukan evaluasi terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku agar hal yang sama tidak kembali terjadi. Surat pernyataan permohonan maaf secara terbuka yang telah tersebar juga dianggap sebagai hukuman. “Ada dalam surat pernyataannya kan, tidak mengulang kembali, jika mengulang akan ada sanksi kembali. Surat peringatan itu kan merupakan suatu evaluasi juga ya, juga sebagai peringatan bagi pelaku,” jelas Fanny.
Meskipun Satgas PPKS Unej menyatakan bahwa dalam kasus ini tidak dapat menjamin pelaku tidak melakukan kejahatan lagi, tetapi pihak satgas menilai bahwa sanksi yang diberikan sudah cukup sepadan dengan apa yang dirasakan oleh korban. “Kalau sanksinya sudah setimpal ya, tetapi kami tidak menjamin pelaku tidak mengulangi lagi walaupun sudah ada pernyataan loh ya. Karena dia mau mengulangi lagi pun masih ada sanksi lagi,” tutur Fanny.
Bentuk-bentuk hukuman yang telah diputuskan tersebut diindikasi Satgas PPKS Unej telah mampu memberikan efek jera kepada pelaku. Pihak Satgas juga meyakini bahwa sanksi yang diberikan tidak pernah menjadi peluang kasus yang sama dapat terjadi kembali. “Seharusnya bisa memberikan efek jera, harusnya,” tambah Fanny.
Sari Dewi Poerwanti, S.Sos., M.Kesos., anggota divisi pencegahan dan penanganan pengaduan (P3) Satgas PPKS Unej, menyatakan tidak ada korban yang meminta pendampingan psikologis. Satgas PPKS mengaku telah menawarkan beberapa opsi pendampingan kepada korban. “Dari seluruh pelapor yang melapor ke Satgas itu yang pertama itu pasti ditanyakan kebutuhannya apa, harapannya apa, ingin kedepannya dibawa ke mana. Butuh sikologi (penanganan psikolog) atau engga, semua (menyatakan) tidak membutuhkan itu, kami tidak bisa memaksakan,” beber Sari.
Hingga berita ini ditulis, tidak ada penanganan lanjutan secara hukum ke pihak berwajib terkait kasus tersebut. “Tapi hingga saat ini dari korban tidak ada yang memohon. Karena kalau melanjutkan ke hukum konsekuensinya banyak, orang tua tahu dan sebagainya dan ini memang butuh persetujuan yang bersangkutan.” imbuh Sari.
Pihak satgas menyatakan kasus ini telah ditangani dengan serius oleh berbagai pihak pimpinan Unej termasuk oleh Satgas PPKS Unej. Satgas PPKS juga menyatakan bahwa putusan pada kasus ini berpihak pada korban. “Korban, tetap korban. Kami tetap berpihak pada korban bukan pelaku,” pungkas Fanny, Ketua Satgas PPKS.[]