Mohammad Roem barangkali menjadi salah satu warga Indonesia yang pertama kali mengalami perploncoan. Perwakilan Indonesia untuk perjanjian Roem-Roijen itu, pada 1924 baru masuk School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), atau sekolah dokter setingkat pendidikan tinggi di Batavia.
Berasal dari kata “plonco”, kini istilah itu lebih sering diartikan sebagai masa orientasi atau penerimaan siswa dan mahasiswa baru. Di lingkungan kampus, proses itu akrab disebut dengan istilah Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK). Pengenalan yang kemudian menghadirkan relasi senior-junior, menurut-melanggar, pengakuan-hukuman.
Apakah Roem dan teman-teman seangkatannya di STOVIA juga mendapat hukuman, siksaan, atau aturan memangkas habis rambut di kepala? Tidak.
Saat menjalani masa orientasi, Roem justru lebih sering ditanya soal pemahaman dia terhadap kebudayaannya sendiri. Saat ia mengaku bahwa dirinya adalah orang Jawa, maka ia ditanya apakah dia tahu aksara Jawa. Kemudian ia diminta oleh seniornya untuk melafalkan aksara Jawa dari belakang ke depan. Ia bisa melakukan tugas itu, meski dengan latihan yang sedikit lebih lama.
Permintaan semacam itu, kata Roem dalam buku Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3, tak pernah dilakukan di luar lingkungan sekolah dan asrama. “Dan plonco tidak boleh digunduli,” jelas Roem.
Sampai hari ini, ada berapa ribu mahasiswa yang digundul atau diplonco saat mengikuti OSPEK di jejang perguruan tinggi? Tentu ada ratusan ribu, atau mungkin lebih. Seorang teman saya yang mengambil studi di Fakultas Teknik, bercerita bahwa ia harus menggundul rambut kepalanya selama dua semester awal. Tak hanya itu, ia harus mengenakan kemeja putih dan dilarang mengenakan celana jeans saat berada di lingkungan kampusnya.
Jika ketahuan melanggar, ia akan mendapat hukuman dari para seniornya. Ia akan diplonco dengan instruksi dan aturan-aturan baru lagi. Namun ia tak tahu betul apa maksud dari peraturan itu. “Untuk melatih kedisiplinan,” begitu salah satu jawaban yang ia terima dari seniornya.
Hendri F. Isnaeni pernah menulis di majalah daring Historia soal penggundulan pada saat orientasi mahasiswa. Ia memperkirakan penggundulan itu mulai terjadi pada masa kedatangan Jepang di Indonesia pada 1943. Ia mengutip R. Darmanto Djojodibroto dalam buku Tradisi Kehidupan Akademik, bahwa kata plonco saat itu berarti kepala gundul. Ia identik dengan kepala anak kecil yang belum tahu kehidupan dan dianggap belum dewasa.
“Karena itu perlu sekali diberi berbagai petunjuk untuk menghadapi masa depan,” tulis Darmanto mengutip salah satu mahasiswa Ika Daigaku atau sekolah dokter pada masa Jepang di Indonesia kala itu.
Kebiasaan itu kemudian berlanjut hingga masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Pada 1949, mahasiswa Universitas Indonesia juga ikut merasakan tradisi itu. Semasa terjadi revolusi fisik, atau kedatangan Sekutu yang diboncengi tentara Belanda, perploncoan justru digunakan sebagai alat untuk menyatu padukan mahasiswa dan elemen pemuda lainnya. Aktivitas itu serentak dilakukan di Solo, Klaten, Malang, dan beberapa daerah lainnya.
“Walaupun dalam suasana penuh kemelut, ikatan batin dan rasa setia kawan tidak pudar, bahkan membaja dalam suka dan duka,” tulis Darmanto.
Bila kita sepakat dengan gagasan itu, apakah hari ini perploncoan masih relevan untuk menyatupadukan generasi muda dalam suasana suka dan duka? Bila saya menjalani OSPEK pada era 1990-an, tentu saya sepakat dengan adanya perploncoan itu. Ia akan berguna untuk merekatkan ikatan persaudaraan senasib dan sepenanggungan antar mahasiswa. Jalinan relasi seperti itu akan sangat berguna untuk melawan segala bentuk penindasan rezim Soeharto penuh dengan kebohongan, dan melakukan gerakan kolektif sosial lainnya.
Regulasi Menteri
Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 24 Juli 2015 lalu, melarang dengan tegas bahwa tidak boleh terjadi praktik perploncoan, apalagi kekerasan saat masa orientasi siswa baru. Tak boleh ada lagi senior yang membentak dan mengintimidasi siswa baru di lingkungan sekolah. Bila masih terjadi perploncoan, Anies tak segan untuk memberi sanksi pada kepala sekolah.
Tak sedikit orang yang menyambut gembira regulasi tersebut. Kalangan orang tua tak perlu lagi khawatir anaknya akan diplonco, diintimidasi, dan mengalami ekses kekerasan dari seniornya. Juga tak perlu sibuk memantau dan melaporkan ke aparat hukum bila terjadi pelanggaran.
Mohamad Nasir, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek), kurang dalam waktu satu bulan setelah Anies menandatangani surat larangan praktik perploncoan di sekolah, pun melontarkan pernyataan serupa. Tak boleh ada praktik perploncoan di jenjang pendidikan tinggi.
Dua langkah yang diambil para petinggi institusi pendidikan itu, bagi saya adalah langkah yang tergagap-gagap. Seperti makanan yang tersendat di kerongkongan. Lantas perlu segera dimuntahkan kembali. Pertama, Anies membuat regulasi tanpa ada pengawasan yang serius. Sehingga masih ada beberapa sekolah yang tetap saja menjalankan praktik perploncoan saat masa orientasi siswa baru.
Begitu pula dengan Nasir. Ia barangkali lupa bahwa di tiap lapisan nomenklatur perguruan tinggi memiliki kultur dan kebutuhan yang beragam. Ditambah lagi dengan kinerja pejabat kampus yang saban hari sibuk menyampaikan regulasi baru, menarget berapa ribu mahasiswa yang harus lulus dalam jangka waktu 5 tahun, tanpa mau tahu bagaimana kondisi akademik di sektor akar rumput.
Apakah larangan perploncoan di lingkungan kampus akan berhasil membentuk jiwa zaman yang militan, berdedikasi sosial tinggi, atau justru membuat mahasiswa lebih individual dan enggan memperhatikan lingkaran sosialnya.
Aroma militeristik dalam kegiatan OSPEK di beberapa kampus memang sangat kental. Saya juga percaya jika langkah itu dipakai demi memperkuat rasa senasib-sepenanggungan antar mahasiswa. Melatih sikap disiplin seseorang. Membentuk kesadaran kolektif mahasiswa untuk merespons dinamika lingkungan kampus. Namun di satu sisi ia jadi lahan basah para senior untuk mengerdilkan karakter seseorang.
Sehingga suasana OSPEK yang berat, keras, dan militeristik perlu dihidupkan kembali seperti dulu? Barangkali perlu, atau juga tidak. Namun saya tentu menolak jika langkah itu dipakai sebagai dalih untuk mengembalikan kita pada romantika generasi tertentu. Langkah itu tentu sebuah tindakan paling dungu. Kemunduran cara berpikir, sekaligus kegagalan membaca persoalan hari ini.[]