Menggurat Visi Kerakyatan
486

Anggap saja ini sebuah surat terbuka, tapi saya tak suka menulis judul panjang-panjang semacam “Surat Terbuka untuk Si Anu”,maka izinkan saya menjuduli tulisan ini seperti di atas. Tidak nyambung memang, tapi apa urgensi sebuah judul sih? Karena cuma surat terbuka, maaf kalau tak akan dijumpai analisa ndakik-ndakik,  tanpa bertumpuk teori emansipasipatoris, pun masyarakat tanpa kelasnya Marx. Tak berani lancing menggurui untuk yang seperti itu karena pembaca tentunya jauh lebih paham.

Mari kita bicara hal yang ringan-ringan saja, tentang budaya pop dan semacamnya. Ada yang pernah menonton Meteor Garden? Barangkali banyak yang pernah, sama banyak dengan yang belum. Bagi yang belum, silakan googling, banyak sinopsisnya di internet. Serial ini ditayangkan di Indosiar kalau tidak salah sekitar tahun 2002, tahun yang sama dengan tayangnya film Ada Apa Dengan Cinta (AADC). Tahun itu adalah saat ketika banyak generasi muda Indonesia seangkatan saya, sedang menjalani fase pubertas.

Baik Meteor Garden maupun AADC, dua-duanya begitu laris saat itu. Angkatan saya adalah generasi yang menjadi saksi atas dua hal: booming-nya drama Asia di Indonesia yang diawali oleh Meteor Garden, sekaligus AADC yang menandai kebangkitan kembali dunia perfilman dalam negeri. Keduanya semacam tontonan wajib bagi kawula muda angkatan saya sebagai syarat untuk dibilang gaul, singkatnya, saya menonton maka saya ada!

Jika H.B. Jassin boleh merasa punya otoritas mengklasifikasikan Chairil sebagai Angkatan45, maka saya menyebut generasi kami sebagai Angkatan AADC. Barangkali akan ada protes dari bigot-bigot sastra seperti ini, Angkatan 45 itu berkaitan dengan sastra, memangnya AADC sastra? Dan lagi kenapa AADC? Bukan Meteor Garden? Memangnya situ siapa berani-berani berlaku seperti H.B. Jassin sang Paus Sastra Indonesia?

Memang AADC bukan karya sastra seperti Karawang-Bekasi, tapi pasca Angkatan Reformasi, sastra Indonesia tidak bisa memberi sesuatu yang cukup ikonik untuk nama angkatan saya. Paling tidak, nama Dian Sastro (pemeran Cinta dalam AADC) pernah dijadikan judul buku kumpulan puisi dari penyair-penyair muda nan kondang tanah air: Dian Sastro for President! Selain juga menghargai jargon kapitalis-kapitalis pribumi juga sih: cintailah puwoduk-puwoduk Indonesia.

Persamaan lain dari Meteor Garden dengan AADC, keduanya adalah dongeng tentang hubungan dua anak manusia dari latar belakang  yang timpang dalam setting satu sekolah. Kalau di Meteor Garden, Sancai yang miskin selalu menghadapi masalah karena telah berani-berani bersekolah di tempat anak-anak kaya. Begitupun AADC, Rangga juga menjalani derita yang sama, teralienasi dan susah berdamai dengan keadaan di sekolahnya yang dipenuhi siswa bermobil.

Kedua tontonan itu mengajari Angkatan AADC dengan baik tentang bagaimana menjadi keren: siswa Sekolah Menengah Atas berangkat sekolah dengan mobil, baju-baju mahal lagi trendy, dan petentang-petenteng sok kuasa karena bapaknya kaya. Dus angkatan saya, diakui atau tidak, banyak anak laki-laki nyaingin seperti Taoming sedalam Meteor Garden, dan anak perempuan nyaingin menjadi seperti Cinta dalam AADC. Dengan dongeng-dongen semacam itu, kami—Angkatan AADC—diantar menuju kedewasaan.

Pun adegan dalam Meteor Garden maupun AADC fiksi belaka, meski kami sadar semua hanyalah aktor dan aktris, toh segala fiksi konon lahir dari rahim masyarakatnya, mewarisi gen bernama realitas sosial dengan segenap logikanya. Gejala-gejala dalam cerita AADC dan Meteor Garden otomatis menjadi cermin untuk banyak lakon di dunia nyata, dunia yang tidak fiksi, dan dunia pendidikan Indonesia tanpa kecuali.

Diskriminasi antara si kaya dan si miskin di dunia pendidikan sudah umum terjadi. Bukan semata relasi antar siswa saja, diskriminasi juga dilakukan oleh pihak institusi sekolah sendiri, baik pengajar maupun birokrasi. Serba lumrah, serba biasa. Sejak jaman Bambang Ekalaya dalam Mahabarata, hingga jaman Cinta dan Rangga, bahkan jaman Ganteng-Ganteng Srigala. Kata orang Jawa dulu,“aja gumunan, aja kagetan, aja aleman.”

Dan jangan salah duga, mengatakan lumrah dan umum, tentu berbeda arti dengan membenarkan. Saya hanya telah menjadi bosan dengan argumen-argumen bahwa institusi pendidikan itu harusnya begini, tenaga pendidik itu tidak selayaknya begitu. Semacam basi. Meski bukan penganut yang taat, tapi saya tetap seorang materialis, risih saja dengan argumen-argumen normative seperti itu.

Pesan yang sebenarnya ingin disampaikan adalah, jangan terlalu berharap bahwa institusi pendidikan selalu bersandar pada nilai-nilai yang serba ideal, menyingkir jauh-jauh dari laku yang tidak selayaknya, dan menjaga diri agar senantiasa adi luhung. Dan istilah adi luhung, bukannya selama ini adalah senjata para priyayi, ningrat, dan budayawan borjuis untuk senantiasa melanggengkan kasta dan diskriminasi?

Diskriminasi memang harus dilawan, tapi tak perlulah rasanya melekatkan banderol-banderol ideal pada profesi mereka. Mereka bukan filsuf zaman kapak yang bijak bestari, juga tidak seprogresif generasi kalian yang kenyang dengan teori-teori egalitarian. Seperti professional kebanyakan, mereka cuma orang yang butuh pekerjaan, semata perkara mencari makan. Tak ada hubungan dengan idealisme begini begitu.

Kebetulan sajalah yang membawa mereka bekerja di institusi pendidikan. Mereka memang orang-orang yang terpelajar, hanya saja seperti tenaga kerja korporasi pada umumnya, spesifikasi mereka kebetulan cocok dengan “industry pendidikan” sebagai manajer kampus. Jangankan cuma Pembantu Dekan, yang Rektor saja, adalah profesi. Pendidikan yang mereka miliki adalah alat mencari nafkah. Urusan perut. Tak ada yang istimewa, tak perlu dihebat-hebatkan.

Di situlah bedanya, bahwa pendidikan bagi kalian, adalah senjata agar manusia lebih manusiawi. Baik kalian yang idealis, maupun materialis. Demikianlah kata-kata Pram hanya berlaku untuk kalian, Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Dan menjadi adil berarti bersedia mengambil beban untuk melawan apapun kesewenang-wenangan, termasuk arogansi yang mengatakan kamu itu miskin, nggak usah macam-macam.

Menangis bukan aib, bukan tindakan kriminal. Tak perlu malu, silakan menangis karena ketidakadilan. Bukan cuma Taufiq Ismail, semua orang punya hak untuk menangis, tapi kalian tetap memikul tanggung jawab: selesai menangis, seka air mata sampai kering, segera berdiri, angkat dagu, dan kembali berlawan. Jangan cengeng. Ambil modem dan nyalakan laptop. Kalian jurnalis, tetaplah menulis. Meminjam kampanye Sang Macan Asia: kalau bukan kalian, siapalagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

 


 

Penulis: Taufiq, lahir di Purwodadi, bekerja di Jakarta, tinggal di Makassar. Boleh disapa di twitter via @trendingtopiq

Leave a comment