Menggurat Visi Kerakyatan

Puisi Sukmawati, Penistaan Agama dan Geger Sastra

Konde atau cadar sama saja, kita manusia. (Ilustrasi: Rosy/IDEAS)
6,443

Sebagai penikmat sastra, dan juga salah satu pelaku sastra seperti membuat puisi, cerpen, dan novel, saya cukup tertarik dengan karya Sukmawati Soekarnoputri. Karya itu berjudul Ibu Indonesia.

Masyarakat sempat ramai mempermasalahkan puisi Sukmawati Soekarnoputri. Puisi ini ia bacakan dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya. Anda dapat meilhatnya dalam video yang yang diunggah akun Youtube Indonesia Fashion Week Official, pada menit ke 67.

Puisi tersebut dianggap menista agama karena menyinggung azan dan cadar. Benarkah demikian? Saya coba berpendapat menurut pandangan saya.

Melihat judulnya pun saya telah jatuh hati. Rasanya ingin sekali duduk di saung, membaca isinya, sembari minum kopi di kantin. Sukma berhasil membuat pembacanya labuh centa pade pandengan partama.

Seorang ibu, pada umumnya memiliki rasa sayang terhadap anaknya. Sukma memilih diksi ibu mungkin karena rasa keprihatinannya. Puisi ini ibarat sosok ibu yang menasihati anaknya. Ia prihatin akan kondisi bangsa yang mudah terpecah belah hanya karena isu agama dan juga budaya. Sosok ibu hadir melalui puisi ini untuk menyadarkan melalui kelembutan.

Kemudian, yang menjadi permasalahan lagi adalah bait pertama. Sukma menuliskan Aku tak tahu Syariat Islam. Menurut pandangan saya, substansi dari bait pertama bukan mempermasalahkan kaidah dan hukum dalam agamanya kok. Melainkan, Sukma miris saat ini banyak orang yang menyudutkan kelompok tertentu dengan menggunakan syariat-syariat agama yang diyakininya. Bagi sebagian orang, isu agama sangatlah rentan dan sensitif untuk dibicarakan. Terpeleset sedikit bisa jadi bumerang. Beberapa pihak menyebut bahwa puisi Sukma menista agama Islam.

Ini mengingatkan saya pada Ahok. Kasus puisi Sukma, ada kemiripan dengan kasus Ahok. Ahok menyinggung ayat dalam Al Quran. Dengan berbagai riuh politiknya, Ahok berujung di penjara dengan tuduhan menista agama.

Jangan heran sebagian ahli dan praktisi dibidang tertentu—seperti antropolog—berucap bahwa pasal penistaan agama di Indonesia bisa dikatakan pasal karet. Seperti yang disampaikan oleh Praktisi antropologi, Yando Zakaria, mengatakan pasal dan undang-undang yang mengatur penistaan agama lebih banyak disalahgunakan. Dalam pandangan Yando, pasal penistaan agama cenderung dipakai untuk menghakimi keyakinan pemeluk agama tertentu. Padahal keyakinan merupakan persoalan keimanan setiap pemeluk agama. Karena itu, negara tidak bisa memberikan label penistaan agama. Bahkan di beberapa negara maju yang menganut sistem demokrasi, pasal penistaan agama telah dihapuskan.

Lanjut, bait yang paling kontroversi dan banyak dikritik adalah bait yang membandingkan cadar dan konde. Dua benda tersebut adalah ciri khas dari budaya di daerah. Dalam hal ini, cadar adalah budaya Negara Arab dan sekitarnya, sedangkan konde adalah budaya dari Mesir di zaman purba dahulu, bukan hanya orang jawa saja.

Nah, saya kemarin sempat berdiskusi dengan teman-teman sastrawan, pemuka agama, dan juga teman saya sendiri perihal bait ini sebelum saya tulis pendapat saya. Ini memang sensitif. Nanti kalau salah, saya bisa dipenjara. Dari diskusi itu, dapat saya tarik kesimpulan bahwa sesungguhnya sah-sah saja orang Indonesia menggunakan cadar, tidak masalah. Setiap manusia memiliki hak. Yang bercadar monggo aja untuk menutup auratnya. Yang mau kondean kemana-mana juga silakan, asalkan nyaman.

Kemudian yang menjadi perdebatan adalah membandingkan azan dan juga kidung. Azan identik dengan islam, sedangkan kidung identik dengan katholik. Menurut saya, Sukma resah karena hal simbolik itu dijadikan alat untuk melencengkan nilai estetika yang sesungguhnya

Di sini menurut saya, Sukma ingin memberi pandangan tentang toleransi. Dari hal sepele, pakaian. Tanpa toleransi, bangsa akan terpecah belah. Menurut saya tidak ada yang salah dengan puisi yang ditulis oleh Sukmawati. Sukmawati menuliskan puisi itu, atas dasar keresahan yang disebabkan oleh kekacuan negara yang timbul akibat perbedaan SARA.

Kejadian ini mengingatkan saya pada sebuah terbitan sastra. Pada Agustus 1968, HB. Jassin—yang akrab dipanggil Hans—memuat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Pandji Kusmin dalam Majalah Sastra yang notabene dipimpin oleh Hans sendiri. Cerpen tersebut dianggap melecehkan umat islam pada waktu itu, sebab menyamakan Rasul dengan burung elang. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, sidang terhadap karya sastra diadakan. Dalam agenda sidang yang digelar, hakim mendesak Hans untuk mengungkap siapa sosok dibalik penulis cerpen itu, namun tetap menolak keras karena identitas tersebut bagi Hans adalah privasi yang harus sangat dihormati.

Berbagai reaksi publik bermunculan. Banyak yang mengecam, dan tak sedikit pula yang mendukung Hans. Dari situ, ia mengeluarkan Pledoi Sastranya yang sangat luar biasa. Isi pokok dari nota pembelaannya adalah membela imajinasi pengarang yang tak boleh diganggu gugat dan di-intervensi oleh siapapun. Karena baginya, imajinasi pengarang tentu berbeda dengan dunia nyata. Hans juga mendapatkan tuduhan telah menyebarkan hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Tetapi ia tetap bersikukuh dan dengan berani membela cerpen tersebut walau akhirnya dipenjara selama 1 tahun. Namun, masyarakat justru menganggapnya sebagai pahlawan, dan ia makin didewakan di dunia kesusastraan Indonesia sehingga julukan Paus Sastra Indonesia melekat dalam dirinya.

Belajar dari kasus yang menimpa puisi Sukma, dan juga HB. Jassin, tidak bisa disangkal bahwa semua masyarakat (apalagi Yang Mahanetizen) mafhum dengan karya sastra. Alangkah baiknya jika kita tidak perlu memperdebatkan secara berlebihan, sebab karya sastra hakekatnya memiliki kebebasan ekspresi, dan juga karya sastra tergantung cara menginterpretasikannya dari setiap individu.

Jadi, kapan kamu, iya kamu, bikin puisi yang menggegerkan seperti Sukma putri Bung Karno?

Leave a comment