Puisi-puisi Wasis Zagara
Selasar Biru Laut
Pada sunyi yang redup,
Pada batas keangkuhanku yang tandas ini,
Aku tetaplah biru laut yang serba rahasia
Dan, Kau biru langit: tempat bersarang segala doa-doa.
Seluruh Kapal ke-aku-an
Telah pulang padaku
Renik-renik kelalaian terapung-apung
Di semenanjung ombakku.
Setiap yang hitam dan keliru
Telah pulang-berlabuh di palungku.
Lalu, apa lagi yang bisa kuharap dari bentang langitMu?
Selain hamparan pengampunan?
Abisal lautku gigil,
Ingin pulang pada haribaan rindu
Mengambang, berarak-arak bersama putih awanMU
Dan, lelap pada dekap mahabbahMU.
Bayangkaki, 2022
Anasir Segala Doa
Segala hal yang terperanjat akan luruh
pada titi mangsanya.
Doa, labirin, dan hikayat kesepian akan runtuh bersama rintih hujan.
Daun yang terkatup, rerumput gemetar
Sementara aspal menguar berurai petrikor.
Begitu pun kau, atau pun doa kita yang pernah sama-sama erat
Menggenggam arti lautan
Menyelam dalam buih laut, dan, janji yang berbusa-busa
Kini kita telah menguap-melangit, dan jatuh.
Menjelma rerintik kehilangan
Beruntung, bumiku telah lapang
Menggelar ingatan-ingatan,
Juga badai sendu yang berkejaran.
Bangku Tunggu, 2021
Silsilah Kesedihan
Pada malam yang lindap
Seorang gadis telah menitipkan sedihnya padaku
Menggugurkan gundah yang mendekam di benaknya.
Mencabik pedih yang bermukim pada masa lalunya.
Sesaat, setelah nyanyian haru itu gemuruh
Di rumput layu dan remang lampu taman
Aku berniat pulang pada relung keheningan,
Namun, ia menahan derak langkahku
“Singgahlah beberapa masa, sampai nyala bulan berjatuhan di wajahku?” pintanya.
Kedua tangannya menggapit lenganku sekuat balur elang
Mataku membidik jauh ke saujana masa kelamnya
Tentangnya, dan derita yang nyala-padam
Tentang puing hati retak dan berserak
Tentang tangis sunyi yang getar di bibir malam
Tentang gundah yang singgah
Tentang harap-cemas yang tak tahu
akan bermuara pada dada siapa
Kau harus jadi cakrawala, jika ingin nyala bulan.
“Cakrawala menopang kesedihan banyak orang, tapi melupakan kerapuhannya sendiri. Adilkah?” Tanyanya liar tak bertuan.
“Kau tahu, derita tak akan purna, tapi cakrawala juga tahu, bahwa kebahagiaan ialah derita yang menguar dan jatuh ke bumi menjadi rintik-rintik penerimaan”.
Puspa Asri, 2021
Anomali Pagi
Pagiku tergagap, dihadang matahari yang telah meninggi
Dengan langkah tertatih kubuka tirai kepalsuan
Yang bergantung dijendela bumi.
Seberkas cahaya menikam tajam mataku
“Wahai, penata jagad, aku belum siap,” rintihku.
Sekelamut ingatan tentang malam yang percuma,
Membuat Fajar serasa datang terlalu cepat
Tetiba mataku pedih dan dada gegap-gempita
“Apakah penyesalan semengerikan ini?”
Hingga nurani ingin berkelit dan mencampakkan jasadnya sendiri.
Suatu kali, di hari berkabungku,
Apakah sesal akan menyumpal riuh di dada?
Apakah sehimpun amarah berhasil sirna?
Ataukah justru ia melumatku?
Kian babak belur dipecundangi waktu.
Sanggupkah aku lepas layaknya layang-layang
Terhempas tenang mencumbui langit
Sebilah mata tegap seolah menyiratkan keyakinan, “Baiklah, aku siap”.
Atau justru lari tunggang langgang
Seperti kijang yang ditawan mata senapan?
Ah, pagi ini terlalu anomali,
Terlebih untuk orang yang asing dengan aroma bumi.
Puspa Asri, 2021
Sekelumit Dejavu
Kau tahu, dik
Rotasi waktu, hingga permulaan bumi,
dan awal mula kehidupan
Telah dimulai ribuan dekade
Jauh sebelum kita terlahir
Jauh sebelum kau menjelma perempuan jelita
Terpaut lampau, sebelum aku jadi lelaki kelana
Barangkali, masa lalu yang muskil terhitung angka
Kita pernah berjumpa sebagai seekor kupu-kupu
Sesama tersesat di belantara kata
Atau sepasang angin,
Dan, daun yang saling berbisik
Bertukar kabar melalui kesedihan hujan
Atau bersua di antara baris-baris awan
Atau, sebagai dua helai ilalang,
Menari di terik matahari
Dan, menggembirakan kuncup-kuncup mungil
Yang kesepian.
Pada mula yang selalu berakhir
Atau, akhir yang meretaskan permulaan
Selamat bertemu pada dejavu-dejavu selanjutnya
Pada masa yang entah kapan.
Kafe D’jatipitu, 2021
Wasis Zagara, bertempat tinggal di Kabupaten Ponorogo. Saat ini, ia menjadi ketua komunitas literasi Forum Penulis Muda (FPM) Ponorogo. Selain itu, ia juga pegiat Komunitas Sastra Langit Malam dan Laskar Sastra Muda Ponorogo.