Menggurat Visi Kerakyatan

Puisi-Puisi Halim Bahriz (II)

622

Situs Kesunyian Gaza

: Ramadhan 1435 H, diresmikan UNESCO

Sebagai warisan budaya dunia

Sungguh, tanpa kau ketahui, kami telah mengetahuinya. Kami adalah apapun yang tidak kami kehendaki. Menjadi sepertimu: Yahudi yang membuat khusuk ratapan di hadapan tembok-tembok. Mengingat Musa. Mengingat janji, laut yang terbelah. Mengingat Hittler. Mengingat Inggris, Perancis. Mengingat warisan dendam yang tak mampu kami pahami. Mengingat tangisan di dalam tangisan. Mengingat wajah kematian di sekitar kaki-kaki yang berlarian menyelamatkan para mayat dari nasib menjadi harta rampasan perang. Mengingat anak-anak kami dari bangkai pakaian yang telah ditumbuhi ledakan. Mengingat puing-puing langit yang digetahi darah. Mengingat sekujur do’a yang membilur. Mengingat masa lalu yang belum berlalu. Mengingat bahwa kami ingin melupakannya. Juga mengingatmu: Fir’aun Limited Edition! Yisrael yang membaca Talmud seperti para Nazi membaca Mein Kamft, pula Zarathrustra. Maka ketahuilah, (bagi siapapun yang tangisnya pernah nyaris punah dijarah para penindas) bahwa mengingat, adalah menempuh kubisme jalan buntu: Ritual memugar situs kesunyian yang telah dilumuti api. Dan teringatlah! Di antara semua yang kusebutkan, telah kau sudahi ingatan atas sejarahmu sendiri. Sungguh, tanpa kau ketahui, kami telah mengetahuinya.

HB. 26/07/2014

Seperti Melihat Laut

Memang seperti laut. Saat aku melihat puing puing, kota dan keriangan anak-anak kami yang telah ambruk, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat bayi bayi lahir di dalam suara ledakan, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat makan malam di telapak tanganku sendiri, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat jalan yang lengang dalam mata perempuan berjanin, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat wajah lelap lansia, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat pejam mata para pendo’a, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat satu pelukan yang kejang, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat sorot mata yang menjerit-jerit, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat berlembar perban yang telah purna tugas membalut luka luka luka luka, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat bendera Palestina mengungsi, terbaring di atas calon jenazah, aku melihatnya seperti melihat laut. Saat aku melihat berpasang kaki rebah pada tubuh yang masih tegak berdiri, melihat kaki yang ingin berlibur dari sejarah pengusiran, aku melihatnya seperti laut melihatki. Saat aku melihat potongan kayu, kursi kecil, gelas, piring dan benda benda plastik, puing puing bahasa diteriakan bertubi-tubi, melihat semua itu dilempar-lempar dari dalam pintu yang telah dikepung tentara, aku melihatnya seperti melihat laut yang sedang melihatku. Saat kepulan asap datang membawa rahasia hujan peluru dan cacian para tentara, lalu berpesta memasuki seluk beluk udara, menagih janji sekali lagi, meronta agar aku menerima pertolongan dipensiunkan dari melihat, aku, aku bisa merasakan pelukan laut, merasakan gulungan ombak yang keram dalam jantungku. Aku mendengar desah nafas dari tiap tanah yang kujejak, dari tiap arah yang hendak kutuju aku mendengarnya seperti mendengar laut yang menangis. Inikah kutukan dari manusia untuk manusia: Sang mala petaka yang memberi kesempatan berlari tetapi tak memberi kesempatan untuk selamat dari kematian. Apakah kau melihatku seperti melihat laut?

HB. 27/07/2014

 

Memumikan Janji

Semalam, al-Quds telah dibumbu bau mesiu: do’a do’a menabrak roket, berjatuhan ke dalam pelukan mata—mengucapnya lagi, berarti membuat musim gugur yang merampasi waktu dari musim musim lain, membuat reruntuhan harapan pada tiap tiap sujudku, menghuni kota ingatan dalam pejam yang telah dipadati ledakan. Aku adalah kekhusukan membangun kompleks pemakaman untuk do’a do’a-ku sendiri.

Sepanjang musim, ribuan pasang mata mengantri untuk bisa menangis di belakang punggung tentara—membuat hujan untuk menumbuhkan daun daun dan bunga bunga. Luka luka berdesakan untuk memasuki lembaran lembaran perban, kafan, untuk menyerahkan harta rampasan perang: Biji biji peluru yang berhasil dijarah dari selongsong, dari tapak tangan yang telah ditinggal pergi sejarah berjabat tangan.

Tahun tahun terus memaksa setiap orang melarikan diri dari diri sendiri, menyusupi sejarah negeri lain. Kaki kaki terus memanen kelumpuhan di ladang ladang mimpi yang telah dirimbuni ranjau. Tolonglah! Bantulah kami membaringkan tanggal tanggal dan nama nama kematian. Sungguh kami tak punya waktu untuk terharu, tak sempat mengajukan jatah cuti untuk sekedar membedakan kesedihan dan kemarahan.

Demi Gaza, Baitul Maqdis. Demi jutaaan rahim penjaga seribu mustajab yang tak pernah gagal melahirkan bayi kembar: Jihad dan Syahid. Demi darah yang membuat sungai di atas kulit—yang sanggup mengkaramkan meja perundingan, jadwal konser, kisah cinta, jasa pengiriman dan jalur penerbangan internasional, juga PBB—yang sanggup membuat negara negara pemeluk HAM bersimpuh, memaksa kata kata bertekuk-lutut di hadapan hastag trending topic. Demi diriku sendiri: “Tidak adakah cara lain memumikan janji yang terlanjur kau tanahkan itu?”

HB. 28/07/2014


Halim Bahriz merupakan alumnus Unit Kegiatan Mahasiswa Kesenian (UKMK) Universitas Jember (UJ) dan pegiat Kelompok Belajar Tikungan. Hari-harinya sulit terlepas dari ritus berkesenian, dia menjadi sutradara dalam pementasan teater terakhirnya, Hipnotika. Tulisannya bisa dibaca di halimbahriz.blogspot.com

Leave a comment