Menggurat Visi Kerakyatan

Perempuan dalam Film Sineas Muda

419
Jember (9/1), pemutaran film diadakan Dewan Kesenian Kampus (DKK), kali ini DKK memberikan wajah baru. Kegiatan yang biasanya diadakan di sekitar Fakultas Sastra, kali ini digelar jauh terlempar dari area fakultas, tepatnya di Sport Hall Universitas Jember. Meskipun ruangan sangat mini, akan tetapi panitia dapat merubah layaknya gedung  bioskop.

Empat film yang disajikan olek DKK, yaitu Sixth Sense, Ambigu, Lewat Sepertiga Malam dan Pingitan. Dari keempat film yang disuguhkan, dua film karya sineas muda Jember dan dua film yang lainnya hasil produksi sineas muda Jakarta.

Keempat film yang diputar melibatkan perempuan sebagai sentral. Sixth Sense dengan cerita seorang perempuan pemilik indera ke enam yang melalui kelebihan itu, dilukiskannya mengenai suaminya yang sedang selingkuh dalam selembar kertas. Lewat Sepertiga Malam cerita tiga orang santriwati yang kabur dari pondok pesantren untuk memenuhi nafsu seksualnya. Sedangkan yang ketiga, Pingitan dengan cerita seorang wanita yang mencuri waktu untuk bertemu calon suaminya ketika dini hari.

“Perempuan membawa banyak inspirasi,” ujar Yusrizal Novwaril Huda sutradara film Sixth Sense. Alasan itulah yang membuat Yusrizal menjadikan perempuan sebagai objek utama dalam film. Hal yang sama juga disampaikan Orizon Aristonia, sutradara muda film Lewat Sepertiga Malam dan Pingitan. “Perempuan kalau di eksplore itu enak banget ketimbang laki-laki,” ujarnya.

Perempuan sebagai objek utama  sangat menarik, akan tetapi yang dijadikan perdebatan dalam sesi apresiasi setelah pemutaran film. Ketika perempuan ditempatkan pada keadaan perilaku bebas dan menyimpang, Sixth Sense misalnya di situ adegan seks didramatisasi berdurasi lama dan fokus gambar lebih pada perempuan. “Adegan seks itu gak perlu lama-lama kale, itu eksploitasi perempuan banget,” ungkap Orizon ketika dijumpai setelah acara.

“Perempuan sekarang lebih ke yang berani dalam segala hal dan hampir mengalahkan kodrat laki laki,” ungkap Yusrizal yang menjadikan alasan, mengapa perempuan sebagai objek di filmnya. Yusrizal juga menghawatirkan ketika perilaku perempuan disalahartikan. “Yang menjadi ketakutan itu emansipasi itu disalah gunakan,” tambahnya.

Perdebatan semakin panas ketika apreasiasi usai, ada beberapa gerombolan perempuan yang membahas tentang perempuan dalam film. Ketika ditanya ada beberapa yang menyangkal persepsi tentang perempuan, yang muncul dari film pendek para sineas muda yang film pendeknya diputar malam itu. “Perempuan tidak seperti itu, masih ada sisi-sisi perempuan yang baik dan gak neko-neko,” Ujar Dina Kristiani, mahasiswa Fakultas Sastra. Berbeda halnya dengan Rika Agustin mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UJ, “Ketika yang dibahas perempuan sah-sah saja kita tidak bisa mengeneralisasikan perempuan itu seperti ini dan seperti ini,” ujarnya.[]

 

Penulis: Alifah Zaki Rodliyah
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Leave a comment