Menggurat Visi Kerakyatan

Menyambut Pesta Demokrasi, Mengasingkan Nurani

414

Pesta demokrasi sebentar lagi akan berlangsung. Para Calon Legeslatif (Caleg) barangkali ada yang menyiapkan pesta untuk kemenangan. Ada pula yang berpotensi tersungkur di rumah sakit jiwa. Beragam usaha Caleg sudah dilakukan. Bagi-bagi uang ke pada masyarakat agar mau memilih, menebar janji, sampai datang ke dukun untuk meningkatkan populasi suara.

Pertanyaan mendasarnya, mengapa saya harus memilih bila tidak mengenal siapa Celeg di setiap partai. Cara-cara yang digunakan para Caleg untuk meningkatkan partisipasi politik sekedar menebar janji. Melalui poster-poster yang tertempel di pohon, tiang listrik, televisi, dan dinding ruang publik. Mata saya seperti diperkosa. Tidak ada ruang kosong untuk sekedar beristirahat dari riuhnya alat promosi itu. Barang-barang itu terus mengikuti ke manapun saya pergi. Mulai di warung kopi, perjalanan di jalan raya, sampai duduk diam di rumah, tetap dihantui kampanye Parpol.

Media cetak maupun televisi, seharusnya menjadi anjing penjaga bagi Parpol yang menyalahi etika pemilu. Bukan menjadi alat kepentingan Parpol dengan menyajikan informasi melebihi porsi. Terlebih  saling menjatuhkan. Fungsi media itu apa? Silahkan nilai sendiri.

Sebagai calon pemimpin yang bakal menampung aspirasi rakyat dan merumuskan peraturan daerah. Harusnya melakukan kampanye dengan cara intelek. Bukan hanya merebut perhatian publik dengan legitimasi visual, status sosial, maupun dogma agama. Mengeksploitasi tubuh dengan mengenakan baju resmi, bedak, dan lipstik tebal agar terlihat berwibawa. Ataupun mengatasnamakan kelompok agama untuk mengais masa.

Soe Hok Gie, seorang intelektual muda pernah merasa jenuh dengan kondisi politik kampus dan negara. Kegelisahan yang besar itu terjadi pada masa titik jenuh demokrasi terpimpin ala Soekarno. Era krisis ekonomi 1965. Ia lebih memilih untuk naik gunung. Keluar dari masyarakat yang penuh kegilaan. Tidak ada persaingan politis untuk saling menjatuhkan sesama manusia. Berada di gunung hanya ada kebersamaan, saling berbagi kebahagiaan kepada sesama manusia dan alam raya.

Sampai sekarang, saya belum menemukan siapa yang layak untuk dipilih. Sebagai warga negara, memilih atau tidak bagi saya hanya kebohongan masal yang selalu diciptakan. Jani-janji Parpol seolah selalu dekat dengan kehidupan di surga. Enak sekali pokoknya. Bagaimana tidak, Golkar berani melipatgandakan gaji pekerja hingga lima kali lipat. Nasdem mau melakukan restorasi Indonesia seolah seperti era kaisar Meiji di Jepang, untuk menjadi negara maju. Demokrat mau memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Surga dari Parpol lain juga tidak kalah enaknya. Tapi saya rasa itu hanya bentuk kebohongan yang selalu diulang setiap pesta demokrasi.

Sebagai warga negara yang baik, seharusnya turut serta dalam partisipasi politik. Agar tidak terjadi pengulangan yang sia-sia. Warga Indonesia tidak lagi menjadi sapi perah. Silahkan pilih calon pemimpin paling bijaksana. Itupun kalau ada. Bagaimanapun juga, tanpa politik negara Indonesia tidak akan pernah terlahir. Tidak ada yang memerintah dan diperintah. Tapi bila belum menemukan calon pemimpin yang bijaksana, lebih baik diam. Bila dipikir ulang, mengapa kita harus menjual nurani dalam politik bagi-bagi uang, bila harus menggadaikan nasib Indonesia lima tahun ke depan? Saya rasa itu kesadaran Golput yang cukup rasional.

Mengapa kita harus memilih bila gelar, penampilan, dan status sosial Caleg yang menjadi legitimasi suara. Menjadi seorang pemimpin bukan untuk mendapatkan kekayaan, apalagi kekuasaan. Era rezim Soeharto sudah cukup membuat masyarakat Indonesia trauma. Hutang di Indonesia tidak perlu ditambah lagi dengan menggadaikan sumber daya alam. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mensejahterakan rakyat.

Masyarakat di abad 21 ini memang konstruksi modernitas. Hidup bermewahan, makanan siap saji, bersaing membuat rumah paling bagus, membeli sepeda atau mobil termahal, dan kemudahan hidup lainnya. Masyarakat  semakin menjadi makhluk konsumtif. Semakin terpisah dengan lingkungannya. Persaingan hidup untuk mengais uang sebesar-besarnya membuat tatanan politik Indonesia kacau. Sekali lagi bila uang dan kekuasaan menjadi tujuan calon pemerintah.

Setidaknya masih ada bentuk reflektif lain dari sosok selain Gie. Seorang  pemuda yang cukup resah dengan kondisi masyarakat hedonistik. Chris ingin keluar dari lingkaran ketergantungan uang. Ia ingin menjadi manusia seutuhnya. Kisah Crhis difilmkan dengan judul  Into The Wild. Keluarganya menceritakan kisah hidup Christopher  setelah ia ditemukan pemburu rusa, dua Minggu setelah kematiannya di Alaska.

Bila uang memang membuat manusia saling bunuh, menipu, iri, dan bersaing untuk saling menjatuhkan. Sangat rasional bila Chris memilih untuk membakar uangnya, lalu pergi sejauh mungkin untuk meninggalkan kampung halaman. Mencari kawan baru yang mau menerimamu tanpa kepentingan uang. Melainkan kebutuhan sesama manusia tanpa pamrih. Itulah cara Crhis untuk menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Ia pun seolah terlahir kembali dengan takdir yang ia ciptakan sendiri.

Bila Chris dan Gie masih hidup, saya ingin bilang: bila alam memang tempat yang kamu pilih untuk berpulang, saya tidak akan lagi merindukanmu. Tapi sepertinya alam yang sudah jatuh cinta kepadamu. Alam tidak rela bila kamu kembali ke masyarakat yang penuh kegilaan ini.

Barangkali, masih banyak mahasiswa, atau kaum intelektual yang resah dengan kondisi kekinian. Tapi bukan berarti harus meniru Chris dan Gie. Beberapa ada yang memilih duduk merenung di warung kopi, daripada pulang untuk mencoblos salah satu Caleg tanpa kepastian nurani.[]

Leave a comment