Saya baru rampung membaca buku ini tadi pagi. Efek yang saya rasakan ketika menutup sampul belakang, serupa bagaimana rasanya berhasil memunculkan kepala dari permukaan sungai setelah sekian hari terjerat di bawahnya. Merasa tertarik disusul hembusan napas panjang dengan sumringah. Puas. Kagum. Ditambah apa saja yang bisa memaparkan sebuah semangat yang sangat.
Jurnalisme Sastrawi, judul besarnya. Antologi ‘Liputan Mendalam dan Memikat’ merupakan semacam penjelas. Ada delapan nama yang kemudian tertulis berurutan di sampul depan. Hanya satu nama yang saya kenal di kali pertama melihatnya. Andreas Harsono. Setidaknya antara tiga sampai lima kali saya melihat juga mendengar nama ini, di blog maupun obrolan ringan yang saya curi dari teman-teman LPMS Ideas. Sisanya seperti Agus Sopian, Alfian Hamzah, Budi Setiyono, Chik Rini, Coen Husain Pontoh, Eriyanto, dan Linda Christanty, saya baru tahu.
Sesuai penjelasnya, buku ini memuat delapan tulisan dari delapan nama di atas dengan jenis yang sama. Penulisan berita berbungkus sastra. Jenis penulisan yang memadukan reportase dengan gaya sastrawi. Hasilnya fakta yang didapat dalam hasil reportase mendalam, menjadi tidak kaku. Mudah dipahami karena diracik dengan gaya bahasa yang enak dibaca.
Tulisan pertama dibuka oleh Chik Rini. ‘Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft’ tentang proses reportase beberapa wartawan RCTI. Mereka tengah meliput kerusuhan di Lhokseumawe, Aceh. Konflik antara GAM dan militer Indonesia yang tak kunjung reda, menjadikan masyarakat Aceh sebagai korban kekerasan dan pembunuhan. Puncaknya kerusuhan yang terjadi di Simpang Kraft. Ketika ribuan warga Aceh berkumpul dan melakukan demonstrasi besar-besaran, menghancurkan kantor Koramil, dan berakhir dengan banyaknya korban yang tewas oleh tembakan tentara. Chik Rini mepaparkan dengan jelas bagaimana wartawan-wartawan tersebut memberanikan diri untuk siap sedia, merekam segala momen di tengah konflik. Nyawa mereka taruhannya.
Agus Sopian, penulis kedua, menulis tentang kisah salah seorang terpidana kasus teror bom di Jakarta, Taufik bin Abdul Halim. Detail kehidupan yang melekat pada terpidana tersebut tersaji di sini, tentang keluarga, organisasi-organisasi yang ia geluti. Hingga ke mana saja ia singgah untuk melancarkan ambisinya. Bahkan bagaimana ia dan teman-teman jihadnya melancarkan aksi dengan membom tempat-tempat incaran mereka, ternarasikan persis seperti sebuah fiksi kriminal.
Hikayat Kebo adalah tulisan ketiga yang saya baca. Ditulis Linda Christanty. Sebelumnya, saya telah dibisiki beberapa teman, bahwa tulisan ini hampir serupa dengan cerita pendek. Berbau khas fiksi. Pembaca tak akan merasa bahwa ini adalah kisah nyata yang berawal dari reportase mendalam. Seperti bukan rentetan fakta berita. Dan benar, saya merasakannya. Kebo adalah seorang pemulung di Jakarta yang dibakar dan berakhir mati di gerobak. Linda menuturkan dengan ‘sangat enak’, tentang alur hidup Kebo sebagai pemulung yang dipandang tak menyenangkan. Bahkan dibenci oleh orang-orang di sekitar. Hingga hari na’as ia dibunuh beramai oleh pemulung-pemulung yang sudah kadung marah padanya. Dia dianggap sebagai penyebab kebakaran bilik-bilik rumah.
Di sini juga disuguhi mengenai fenomena kekerasan dan tindak kriminal yang semakin marak di awal tahun 2000-an. Salah satunya karena para pelaku mengaku meniru apa yang dipaparkan dan ditampilkan di media massa. Terutama dari berita kriminal di televisi. Mereka mempraktikkan apa yang mereka lihat.
Tulisan memikat selanjutnya milik Coen Husain Pontoh yang membawa kisah di balik majalah Tempo dan orang-orang di dalamnya. Konflik Nan Tak Kunjung Padam. Tentang bagaimana awal Tempo berdiri, tentang intrik yang berkembang dan lika-liku perjalanan yang dilalui majalah yang pada awal pembentukannya ini dianggap meniru Time. Hingga masalah-masalah internal antara masing-masing awaknya. Saya baru dibuat terbuka mata tentang bagaimana media sebesar Tempo harus mengenyahkan kompetitor-kompetitornya. Entah mana yang bisa dipercaya jika kemudian terjadi ketidak-fair-an yang merugikan salah satu pihak antara dua yang berkompetisi.
Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan milik Alfian hamzah kemudian menjadi tulisan favorit saya. Tentang bagaimana ia mengikuti segala aktivitas keseharian tentara Indonesia di Aceh selama dua bulan lamanya. Membaca tulisannya seperti membaca jurnal harian seorang yang kocak. Ketakutan dan kengerian yang seharusnya menjadi image dari kehidupan tentara di tempat rawan konflik, berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan untuk dirunuti. Ada beberapa istilah-istilah unik yang khusus dipakai oleh tentara-tentara Indonesia di sana. Baik untuk menyebut penangkapan orang-orang yang dicurigai anggota GAM. Hingga eksekusi mati yang mereka lakukan pada masyarakat yang telah mereka yakini adalah bagian dari gerakan separatis tersebut.
Terdapat satu bagian dari tulisan ini yang sangat menarik menurut saya, juga seperti ironi. Tentang ujar salah seorang serdadu saat truk tentara yang ia naiki melakukan operasi pasukan rutin di pemukiman penduduk.
“…Tapi ada juga yang tak acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. ‘Anak-anak Aceh,’ kata seorang serdadu, ‘hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita.’” (Jurnalisme Sastrawi, hal. 225)
Tulisan mengenai dilema media massa di massa konflik yang dipicu oleh perbedaan agama, kemudian menjadi bacaan selanjutnya. Milik Eryanto. Koran, Bisnis, Perang. Tentang masalah dua kubu agama di Maluku yang kemudian merambat pada redaksi pemberitaan dalam Suara Maluku. Islam dan kristen. Wartawan yang beragama islam merasa tak dianggap karena berita yang mereka tulis mengenai konflik yang merugikan masyarakat islam selalu tak dimuat dengan alasan yang lebih sering tak masuk akal. Sementara sebaliknya, pemberitaan mengenai korban konflik yang berasal dari kampung dengan mayoritas beragama kristen selalu diutamakan. Konflik internal ini kemudian menjadi puncak dari terbentuknya media baru yang dianggap akan berpihak pada masyarakat beragama islam, Ambon Ekspres.
Budi Setiyono menulis tentang keluarga seniman yang menjadi salah satu grup musik yang melegenda di Indonesia. Koes Bersaudara. Koes Ploes. Grup musik yang dikenal dengan genre pop rock ‘n roll-nya ini, pernah merasakan dipenjara di masa pemerintahan Orde Lama. Soekarno menolak adanya musik-musik barat berkembang di Indonesia. Kalau kata Soekarno, musik Ngak-Ngik-Ngok. Koes Bersaudara dianggap tak patuh aturan karena terus-menerus menyanyikan lagu The Beatless atau sejenisnya. Pada akhirnya, mereka dianggap sebagai lambang kebebasan atas penindasan penguasa lama dan kesewang-wenangan politik.
Tulisan kedelapan, sekaligus penutup antologi ini adalah milik Andreas Harsono. Salah satu pengembang adanya jurnalisme sastrawi di Indonesia ini, menulis tentang The New Yorker dan segala proses yang telah dilalui majalah ini. Banyak tulisan hebat yang telah lahir dari majalah ini yang kemudian menjadikannya salah satu majalah terbesar di Amerika Serikat. Seperti Hiroshima milik Jhon Hersey, In Cold Blood milik Truman Capote, juga Silent Spring milik Rachel Carson. Seperti alur kehidupan, The New Yorker juga mengalami pasang surut dalam proses ia berkembang, tetap berupaya bertahan menjadi majalah yang prestisius hingga saat ini.
Membaca antologi ini membuat saya semakin menggebu untuk mengetahui lebih dalam mengenai genre penulisan jurnalisme sastrawi. Sepertinya, menulis berita yang biasanya akan mengundang kerut di dahi akan lebih menyenangkan jika ditulis dengan gaya penulisan seperti ini. Selain itu, pemaparan yang lebih detil dalam peristiwa yang diangkat, bisa jadi akan lebih mudah diingat oleh pembaca dibanding penulisan berita yang hanya sekilas mengangkat unsur-unsur umum dari kejadiannya saja.[]
Peresensi: Siti Hanifah