Menggurat Visi Kerakyatan

Kendi

3,251

Karya: Muhammad Lutfi

Aku dan Baba saling berebut sebuah kendi yang katanya punya keajaiban. Ayahku meninggalkan kendi ini di dalam sebuah peti perak yang dia kubur di bawah pintu. Sebelum akhir menjelang hidupnya, ayah berpesan kalau dia hanya punya sebuah warisan yang bernama kendi ajaib. Sejak aku kecil sampai dewasa aku belum pernah melihat kendi itu. Bahkan aku belum pernah melihat ayah memamerkan kendi itu kepada kami. Dia hanya selalu sibuk untuk bermalam di bawah bintang.

Ayah memang orang yang unik. Orang lain bilang kalau dia ini aneh. Punya rumah sendiri, tetapi kalau tidur lebih memilih tanpa alas dan di luaran rumah. Dingin dan sunyi malam tidak dia risaukan. Kebiasaan itu aku  perhatikan sejak ayah pulang dari bertapa. Dia tak pernah mau makan makanan manusia yang umum. Ayah selalu minta makan daun-daun saja. Mungkin karena habis bertapa, gaya hidupnya mulai tidak memikirkan duniawi.

Menjelang akhir, dia katakan padaku bahwa dia simpan sebuah kendi di bawah pintu. Aku disuruh menggalinya. Aku serius menggali tanah di bawah pintu. Aku temukan sebuah peti perak terkubur. Kubuka isi peti perak tersebut. Terdapat sebuah kendi yang layaknya kendi wadah air biasa. Kendi itu tidak terlalu istimewa jika diperhatikan dari luar. Tapi dia berkata, kalau kendi itu kendi ajaib yang bisa mengabulkan permintaan.

Sebuah kendi yang masih berdebu dan tertutup sebuah kain warna emas. Aku usap dengan kain bajuku. Kendi itu bergetar. Menggetarkan seluruh badanku. Aku terguncang. Kulemparkan kendi itu ke tanah. Aku berusaha menjauh. Aku takut jika itu nanti meledak atau berisi sesuatu yang tidak aku ketahui.

Sebuah kepulan asap berwarna ungu kebiruan keluar dari dalam kendi tersebut. Dia hanya berupa asap. Namun dapat berbicara layaknya manusia. Dia perkenalkan diri padaku, bahwa dia bernama Salam. Asap yang bernama Salam itu memintaku untuk mengucapkan keinginanku. Dia akan mengabulkan permintaan itu katanya.

Aku mencobanya dengan meminta sebuah rumah bagus. Semenjak aku kecil sampai dewasa, aku anya tinggal dalam sebuah rumah yang sederhana. Aku ingin sekali tinggal di rumah yang bagus dan mewah. Aku ingin merasakan lantai marmer dan kamar-kamar yang membuat tidurku nyaman. Aku ingin ibuku bisa merasakan kemewahan sebuah rumah.

“Aku minta sebuah rumah yang bagus dan mewah!”

“Kabulkan!”

Setelah dia berucap kabulkan, aku bagai terguncang dengan guncangan ke bawah alam sadar. Aku bagai melewati lorong-lorong. Aku merasakan tubuhku menciut dan membesar. Tiba-tiba aku berada dalam sebuah rumah mewah dan bagus. Aku lihat, ini bukan rumahku. Aku lihat ke luar, ternyata halaman yang sama dengan rumah yang dahulu. Dia tidak berbohong. Dia benar-benar kabulkan permintaan yang aku inginkan.

Ayah benar-benar mewariskan warisan yang sungguh berharga. Dia wariskan kendi itu padaku. Sayang, aku hanya boleh meminta dua permintaan saja. Tertinggal satu permintaan. Aku akan menyimpannya untuk sementara. Aku akan mengucapkan keinginan kedua ketika aku sudah selesai melunasi utang kepada keponakanku sendiri yang bernama Baba. Walaupun kami masih saudara, dia orang lintah darat yang haus duniawi.

Aku periksa keberadaan ibuku di rumah baru tersebut. Rumah yang dulu hanya dua kamar saja, kini aku punya enam kamar mewah dengan kamar mandi dan aset yang serba ada dan lengkap semuanya. Aku cari ibuku, ternyata berada di kamar kedua. Dia sedang tidur, seperti posisi tidrunya sebelum rumah ini berganti. Aku tutup kendi itu kembali, khawatir kalau ada orang lain yang tahu perihal kendi ajaib ini, mereka pasti akan mencurinya. Asap itu kembali masuk ke dalam kendi yang sudah aku tutup kembali. Aku sembunyikan kendi itu di dalam bajuku.

Orang yang sangat tidak kuharapkan nongol, masuk ke dalam rumah mewah milikku. Dia adalah lintah darat yang ingin menagih utang padaku. Bahkan kerap mengancam padaku.

“Sudah kaya kamu sekarang! Sungguh suatu keajaiban. Hal yang aneh di mataku. Tadi siang aku lihat rumahmu masih reyot, sekarang sudah menjadi rumah mewah bagaikan kerajaan. Kamu pasti pakai sihir!”

“Jangan seenaknya kalau bicara tanpa bukti! Aku tahu kedatanganmu ke sini bukan untuk memuji dan bersinggah kemari. Kamu menagih utang padaku kan!?”

“Orang kaya baru sudah mulai sombong!”

“Aku akan bayar dua kali lipat utang itu!”

Dalam hati aku berkata, kalau yang melakukan sihir bukannya aku, tetapi Salam. Hasil rumah ini memang sihir keajaiban. Aku ambil sebuah peti berisi tumpukan emas dan berlian di atas meja yang juga baru ini. Aku ambil sebongkah emas di tanganku, untuk membayar utangku supaya lunas dan dia tidak menggangguku.

“Sebongkah emas dan dua berlian aku berikan untuk membayar lunas semua utang-utangku dan Ibuku, segera pergi dari sini jika tidak ada niat baik darimu!”

“Sombong!”

Dia segera keluar pergi meninggalkanku dan meludah ke lantai yang masih mengkilat. Dia benar-benar tidak memiliki moral dan niatan yang baik. Sekarang aku sudah tidak punya urusan dengannya. Semua utang sudah kulunasi. Aku tutup pintu yang berhiaskan permata milik rumahku ini. Aku buka kembali bajuku, kukeluarkan kendi ajaib warisan ayahku. Kukecup kendi itu sebagai tanda terima kasihku padanya. Aku gosok kembali kendi ajaib itu.

Kali ini aku akan meminta untuk pergi dari sini. Pergi jauh dari Baba, pindah ke negara lain yang lebih aman dan damai. Tidak ada lagi ruang yang mengusik ketentramanku sebagai orang yang menikmati keindahan surga dunia.

Salam mulai keluar kembali dari dalam kendi setelah kugosokkan tanganku di kendi tersebut. Dia berikan salam dan hormat padaku. Dia tanyakan permintaan ke dua yang akan aku ucapkan. Saat aku ingin mengucapkan permintaan ke dua-ku ini, Baba nyelonong masuk ke dalam rumah dengan sendirinya membuka pintu yang lupa aku kunci. Dia rebut kendi itu dari tanganku. Benar-benar gawat. Jika kendi itu sampai jatuh ditangannya, dia akan menggunakan khasiat kendi itu untuk bertindak sewenang-wenang. Aku berusaha merebutnya kembali. Kutubruk tubuhnya hingga terjatuh ke lantai. Kendi itu terlempar ke tanah.

Dia memang orang yang sangat mengganggu. Orang yang tidak bisa melihat kedamaian dan keberhasilan orang lain dengan hati tentram. Dia selalu iri pada orang lain. Aku harus bersusah payah merebut kendi itu kembali. Dia tarik bajuku sampai celanaku hampir melorot. Aku tarik bajunya, sampai bajunya robek. Kami main tarik-tarikan. Baju kami robek. Aku dan Baba bergulung-gulung di lantai. Aku tampar wajahnya. Dia menampar wajahku kembali dan berusaha menendangku. Aku bisa menahan tendangan itu.

“Kamu memang orang yang serakah dan tidak memiliki moral!”

“Ternyata kekayaanmu itu dari kendi itu. Aku tidak akan biarkan kamu jadi orang kaya. Kamu harus selalu lebih misikin dariku.”

“Dasar orang yang tamak. Kamu akan merasakan ketamakan-mu itu!”

“Kamu hanyalah penganggu kecil saja bagiku. Tidak ada apa-apanya!”

“Dasar Iblis!”

Aku tendang dia hingga membentur lantai. Aku berlari meraih kembali kendi warisan ayahku. Ayahku sudah bersusah payah mendapatkan kendi itu. Kendi itu dia dapatkan dari gurunya saat di pertapaan. Saat menjalani bertapa, ayah selalu mengabdi pada gurunya itu. Hal itu membuat gurunya senang. Gurunya mewariskan sebuah kendi yang katanya kendi dari Baghdad. Kendi yang sekarang aku pegang ini. Kata ayahku, kendi ini jangan sampai jatuh di tangan orang yang salah. Atau dunia juga bisa rusak karena itu.

Tidak akan kubiarkan orang tamak seperti Baba memiliki kendi warisan ini. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjauhkan tangannya dariku. Aku tendangi tangannya itu supaya tidak meraih bajuku yang sudah sobek ini. Dia masih sekuat tenaga merebut kendi ini. Dia raih bajuku yang sudah robek dengan tenaganya yang sudah terengah-engah.

Ketika kami saling berebut kendi warisan ini, aku lihat sebuah tangan mengangkat kendi itu ke atas. Tangan itu adalah tangan ibuku. Dia teriaki kami yang sedang bergelut ini. Dia belum tahu perihal kendi warisan ayah. Ayah bahkan belum pernah memperlihatkan kendi itu dan menceritakannya pada ibuku. Hanya aku saja yang boleh membukanya.

Ibuku memperhatikan kendi itu. Dia pikir kendi itu kendi air untuk minum. Dia kocok-kocok kendi itu untuk mengetahui kendi tersebut berisi air atau tidak.

“Kendi wadah air kok dibiarkan tergeletak di lantai. Kendi itu tempatnya di atas, bukan di bawah!”

“Jangan, Bu…!”

“Jangan apa… ini kan wadah air minum. Bukannya di isi air malah dibiarkan kosong. Lagi pula, kamu ngapain bawa aku ke rumah orang mewah seperti ini?”

Aku diam saja. Dia tidak tahu kalau ini adalah rumahku. Dia juga tidak tahu kalau kendi itu adalah kendi ajaib yang jika dibuka akan berisi asap untuk mengabulkan permintaan. Sepertinya, ibuku mulai menggerakkan tangannya untuk membuka tutupnya yang berwarna keemasan. Ini benar-benar bertambah genting. Dia tidak tahu perihal sebenarnya kendi tersebut.

“Kendi penutupnya dari emas, ini pasti kendi pemilik rumah ini. Lagipula ke mana pemilik rumah ini? Malah ada Baba juga di sini. Pergi kamu! Ngapain kamu ikuti kami ke sini. Sampai berantem dengan anakku, pergi!”

Ibuku marah-marah melihat aku bergelut dengan Baba. Dia usir Baba yang masih berusaha memegangi bajuku. Dia akhirnya membuka penutup kendi itu.

“Asap…, wah… tolong… kebakaran! Ada asap, bawa aku kembali ke rumahku. Aku ingin  asap kebakaran ini segera dihilangkan!”

Tanpa sadar, ibuku sudah mengucapkan dua keinginannya. Dia meminta untuk kembali ke rumahnya yang dahulu, dan meminta asap itu dihilangkan. Dia meminta asap itu dihilangkan, yang berarti kendi itu juga sirna: hilang. Semua kembali ke rumah yang dahulu aku tempati.

(Pati, 2020)

Muhammad Lutfi, seorang penyair dan sastrawan dari Pati, Jawa Tengah.

 

Leave a comment