Menggurat Visi Kerakyatan

Kapan Universitas Jember Tuntaskan Regulasi Penghapusan Kekerasan Seksual?

27,089

Terhitung sudah dua bulan sejak Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual melakukan aksi turun ke jalan. Salah satu tuntutan mereka adalah pembuatan regulasi tentang penghapusan kekerasan seksual di Universitas Jember (UJ). Banyak hal yang dilakukan berbagai pihak demi terwujudnya regulasi tentang penghapusan kekerasan seksual di UJ.

Pada Kamis (9/5) Muhammad Jazuli sebagai Kabag Kemahasiswaan UJ menyerahkan rancangan Sistem Operasi Prosedur (SOP) dan Surat Edaran kepada Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual Universitas Jember. Tujuan Jazuli menyerahkanan SOP dan Surat Edaran tersebut adalah agar Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual memberikan koreksi. Setelah itu, Jazuli berencana akan menyerahkan SOP dan surat Edaran tersebut kepada rektor UJ.

Rancangan SOP tersebut berisi tentang prosedur pelaporan dan penanganan korban kekerasan seksual. Sementara,  Surat Edaran berisi tentang pembuatan Sistem Informasi Pelaporan Korban Pelecehan Seksual (SI-PSIKOPES). SI-PSIKOPES ini bertujuan untuk memfasilitasi laporan korban tindakan kekerasan seksual agar mendapatkan kepastian segera ditindaklanjuti dan mendapatkan perlindungan.

Setelah menerima SOP dan Surat Edaran dari Jazuli, Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual berkumpul di Kedai WTC. Ada sepuluh mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual yang bergabung. Mereka mengokoreksi beberapa hal dalam SOP dan Surat Edaran tersebut, serta membuat rekomendasi mengenai regulasi penghapusan kekerasan seksual.

Setelah merevisi SOP dan Surat Edaran serta membuat poin-poin rekomendasi regulasi, Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual tidak bisa langsung menyerahkan ke Jazuli. Sebab mereka harus membuat janji dengan Jazuli terlebih dahulu. Setelah SOP, Surat Edaran, dan rekomendasi regulasi diserahkan secara langsung kepada Jazuli, barulah mereka menyerahkan dalam bentuk softfile.

“20 Mei aliansi menyerahkan SOP dan Surat Edaran yang sudah direvisi kepada Pak Jazuli sekaligus memberi rekomendasi peraturan di UJ,” ungkap Dewi Diah Hardiati salah satu mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual. Untuk Surat Edaran, Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual mengoreksi pilihan kata dan ejaan. Sedangkan pada SOP ada beberapa hal yang dikoreksi, yaitu bagan pelaporan, bentuk-bentuk kekerasan seksual, serta pilihan kata. Bentuk-bentuk kekerasan seksual mengacu pada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Draft rekomendasi regulasi yaitu, mengenai pencegahan, pelaporan, dan penanganan. Upaya pencegahan terdiri atas sosialisasi, publikasi humas UJ, edukasi kepegawaian, dan infrastruktur. Kedua, pelaporan bisa melalui sister ataupun melapor langsung melalui pos pelayanan pengaduan. Sedangkan mengenai penanganan Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan seksual mengusulkan pembentukan tim.

“Harapannya tentu semoga sistem penanganan korban dan pelaku kekerasan seksual di kampus segera terealisasi begitu juga tim penanganan kasus kekerasan seksual bisa segera terbentuk,” harap Dewi.

Selain Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual yang terus memperjuangkan terciptanya regulasi mengenai penghapusan kekerasam seksual, The Center for Human Rights Multiculturalism and Migration (CHRM2) juga turut berupaya membikin rekomendasi regulasi. CHRM2 mengadakan workshop pada Rabu (22/5). Acara tersebut bertemakan “Mewujudkan UJ sebagai Kampus Modern, Aman dan Ramah Gender”. CHRM2 bekerjasama dengan Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jentera Perempuan Indonesia, Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH) Fakultas Hukum UJ, dan Kelompok Riset Perlindungan Perempuan dan Anak  Fakultas Hukum UJ.

Pemateri dalam workshop tersebut, yaitu Al Khanif, Ph.D sebagai Direktur Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia yang menyampaikan pembahasan tentang bagaimana mewujudkan Kampus Modern dan Ramah Gender. Trisna Dwi Yuni Aresta sebagai perwakilan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual menjelaskan kegiatan aliansi mahasiswa peduli penghapusan kekerasan seksual. Sedangkan Asisten Peneliti CHRM2, Sonia Candra memaparakan Hasil Kuisioner Sexual Harasshment di UJ.

Workshop ini diadakan setelah ada gerakan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Kekerasan Seksual yang mendesak UJ untuk membuat regulasi mengenai kekerasan seksual. “Awalnya kita terinspirasi dari temen-temen aliansi yang memblow up info tentang kasus Ruri ini,”ungkap Sonia Candra selaku ketua panitia dari workshop tersebut. Kasus Ruri merupakan kasus kekerasan seksual di Fakultas Ilmu Budaya (FIB UJ) yang diberitakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa IDEAS (LPM IDEAS).

Selain terinspirasai oleh gerakan aliansi, Sonia mengatakan bahwa acara ini juga berlandaskan data-data kuisioner yang telah disebar kepada mahasiswa UJ. Kuisioner tersebut berisi tentang survei kekerasan seksual yang terjadi pada mahasiswa. Ada 962 responden. 25% laki-laki dan 75% perempuan. “Setelah kuisioner tersebut ditutup data dari kuisioner tersebut kami jadikan landasan untuk mengadakan workshop, jadi disertakan di Term Of Reference (TOR) sebagai latar belakang, biar pondasinya kuat,” terang Sonia.

Sonia mengaku bahwa tujuan workshop ini adalah untuk merancang rekomendasi peraturan terkait dengan penghapusan kekerasan seksual yang terjadi di area kampus UJ, serta pihak UJ dapat mewujudkan kampus ramah gender. “Untuk merekomendasikan mekanisme penyusunan peraturan terkait dengan pengahapusan kekerasan seksual  di area kampus, serta mewujudkan kampus ramah gender agar dapat diimplementasikan oleh Pak Rektor,” ujar Sonia.

Setelah pemaparan oleh pemateri dan sesi tanya jawab. Acara dilanjutkan dengan agenda Focus Group Disccussion (FGD). Pembawa acara membagi forum menjadi tiga kelompok, yaitu perumusan regulasi dalam rangka pencegahan terjadinya kekerasan seksual di kampus UNEJ, pendampingan korban secara hukum dan non hukum, serta penindakan pelaku secara hukum dan non Hukum. FGD tersebut bertujuan untuk menyusun rekomendsi mekanisme  pemantauan dan peninjauan peraturan kampus UJ, serta tukar pengalaman dan tanya jawab. Panitia membebaskan peserta untuk memilih di kelompok mana akan bergabung.

Adapun rekomendasi tersebut ialah pertama, Rektor UJ membentuk tim penyusun regulasi (Kode Etik) yang di dalamnya mengatur penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual. Kedua, Rektor UJ membentuk Tim Pencegahan, Tim Pendampingan terhadap Korban, dan Tim Penindakan bagi pelaku.

Rekomendasi dari Tim Pencegahan, tim ini membagi upaya pencegahan dimulai dari tiga aspek yaitu: sosialisasi, penyediaan fasilitas, dan penguatan kelembagaan. Kemudian dari Tim Pendampingan terhadap korban yaitu pertama, pendampingan secara hukum mulai dari visum et repertum, visum psikiatrikum, melaporkan ke pihak polisi, memantau perkembangan kasus, dan membantu korban mengajukan restitusi. Kedua, Membuat alur pendampingan. Ketiga, memastikan identitas korban dirahasiakan. Ketiga, memastikan korban mendapat layanan baik secara fisik, psikis maupun hukum. Keempat, menyediakan konselor, psikolog, tenaga medis, dan pskiater. Kelima, sinergi antar unit untuk melakukan asesmen.

Selanjutnya dari Tim Penindakan bagi Pelaku yaitu, pembentuk penegak etik. Kedua, menjatuhkan sanksi kedinasan bagi pelaku. Ketiga, bekerja sama dengan lembaga terkait untuk pendampingan psikologis dan rehabilitasi bagi pelaku yang tergolong ringan. Keempat,terhadap pelaku yang tergolong berat, akan dilakukan pelaporan kepada polisi. Rekomendasi dari tiga kelompok tersebut belum bersifat final.

Sonia mempersiapkan acara ini dalam waktu tujuh hari. Dimulai dari pembuatan dan penyebaran kuisioner hingga pelaksanaan workshop. Singkatnya waktu persiapan acara karena mempertimbangkan pergantian Rektor UJ pada September. “Kalau pemimpinya ganti otomatis birokrasinya kan juga ganti, itu akan jadi rumit kalau kita mengusulkan rekomendasi mekanisme peraturan tersebut,” terang Sonia.

Harapan Sonia setelah ada workshop ini adalah birokrat kampus UJ dapat menerima dan menerapkan rekomendasi yang telah terumuskan. Ia juga berharap kampus dapat menyuarakan tentang kasus kekerasan seksual dan juga tidak melanjutkan budaya kekerasan seksual. “Seluruh pihak kampus UJ ini bisa lebih inklusif lagi dalam menyuarakan tentang kasus kekerasan seksual dan juga berkomitmen untuk enggak melanjutkan culture yang kayak tentang pelecehan seksual, kekerasan seksual,” harap Sonia.

Terhitung 51 haridari acara workshop, Al Khanif menyatakan bahwa surat rekomendasi hasil dari workshop tersebut belum diajukan. “Perkembangan sampek di draft, mau diajukan ke Rektor tapi besok saya mau ke Jogja sampek tanggal 9 Juli. Jadi mungkin setelah tanggal 9 itu mungkin bisa,” terang Al Khanif.

Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa sebelum surat rekomendasi tersebut diajukan, pihak CHRM2 membentuk Pusat Kajian Gender untuk menyusun berupa Profil peneliti, roadmap penelitian, roadmap pengembangan dan roadmap jaringan serta advokasi. Hal tersebut dilakukan agar lebih meyakinkan atau memperkuat surat rekomendasi. Jadi pihak CHRM2 akan mengajukan dokumen Pusat Kajian Gender bersama surat rekomendasi tersebut. “Kayaknya bahan yang diajukan ke rektor kurang kuat kalau cuman rekomendasi, makanya saya minta ke temen-temen untuk membuat Pusat Kajian Gender itu. Jadi saya besok mengajukan berkas-berkas dari Pusat Kajian Gender itu sama rekomendasi,” ujar Khanif.

Pusat Kajian Gender  adalah suatu kelompok riset yang mengkaji isu-isu gender termasuk sexual harrasment. Kelompok riset tersebut terdiri atas lima belas pengurus dari Universitas Jember. Pengurus di dalam Pusat Kajian Gender ini terdiri dari pengajar yang berasal dari beberapa fakultas. “Pusat Kajian Gender dimaksudkan akan fokus pada isu-isu gender termasuk sexual harrasment,” jelas Khanif.

Pengawalan proses pembuatan regulasi terus berlanjut. Jazuli menyatakan bahwa surat laporan pelaksanaan tugas telah diselesaikan bersamaan dengan lampiran SOP dan Surat Edaran. Sehingga tinggal menyerahkannya ke rektor. Jazuli menilai bahwa ia telah menepati janji dengan Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Seksual. Terhitung 20 hari dari aksi #kamiruri ia telah menyelesaikan SOP dan Surat Edaran. Hal itu sesuai poin ke dua dalam tuntutan aksi #kamiruri. “Itu sudah selesai tanggal 22 Mei dan tinggal diserahkan ke sekertaris. Surat resminya sudah jadi tepat 20 hari,” terang Jazuli.

Menurut Jazuli, karena ia belum menemukan bagaimana format dan isi undang-undang penghapusan kekerasan seksual, maka solusi sementara untuk meminimalisir tindak kekerasan seksual di UJ adalah pembuatan Sistem Elektronik pelaporan korban kekerasan pada aplikasi Sister. “Karena undang-undang penghapusan kekerasan seksual belum ada. Jadi jalan yang paling disegerakan untuk melindungi mahasiswa dari predator itu adalah Sistem Elektronik pelaporan korban Universitas Jember,” terang Jazuli.

Pembuatan Sistem Elektronik ini adalah salah satu usulan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Penghapusan Kekerasan Seksual. Dengan begitu mahasiswa yang mengalami tindak kekerasan seksual dapat langsung melapor melalui aplikasi tersebut. “Jadi nanti tinggal unduh di playstore begitu ada tindakan kekerasan seksual, itu sudah tinggal lapor begitu,” jelas Jazuli.

“Kalau ini sudah disetujui Pak Rektor dan sistem ini sudah dibuat, langsung kita blow up gitu kan, sehingga predator-predator itu mikir dua tiga empat kali kalau melakukan itu,” ungkap Jazuli. Jazuli mengatakan bahwa agar tidak lagi ada civitas akademik yang berani melakukan kekerasan seksual, maka Sistem Elektronik akan segera dibuat setelah mendapat persetujuan rektor dan akan menyebarluaskan informasi mengenai aplikasi tersebut.

“Ketika itu kita blow up ada keyakinan mahasiswa bahwa ini privasinya terlindungi,” ucap Jazuli. Jazuli berharap mahasiswa tidak ragu untuk melaporkan tindak kekerasan seksual, karena identitas pelapor pasti akan dilindungi dan tidak disebarluaskan.

Jazuli mengatakan bahwa aplikasi pelaporan korban kekerasan seksual ini aman digunakan. Aplikasi ini dapat menjamin keamanan korban. Hal tersebut karena hasil pelaporan tersebut hanya akan diterima oleh tim penanganan laporan korban kekerasan seksual. “Kemarin disepakati bahwa tim penanggulangan terdiri dari Tim hukum, Tim psikologi, Tim psikiater, dan Tim psikiatri, empat orang itu. Jadi makanya jaminan itu yang kita berikan kepada korban, pada saat melapor,” ucap Jazuli.

Selanjutnya mengenai pengaksesan. Aplikasi tersebut tidak hanya civitas akademik saja yang dapat mengakses sistem pelaporan korban kekerasan seksual, akan tetapi tidak menutup kemungkinkan orang di luar civitas pun juga dapat mengakses. Civitas akademik yang dimaksud adalah dosen, mahasiswa, dan karyawan. “Jadi yang bisa lapor itu dosen, mahasiswa, dan karyawan bahkan nanti akan saya minta juga mungkin laporan diluar tiga civitas akademika itu,” tambah Jazuli.

Perwakilan aliansi dua kali menanyakan perkembangan penyusunan peraturan penghapusan kekerasan seksual kepada Jazuli melalui pesan singkat. Namun responnya selalu masih belum ditandatangani rektor. Sehingga pada Senin (1/7) Dewi bersama dengan satu orang reporter IDEAS mendatangi Kabag Kemahasiswaan di ruangannya. Mereka  menanyakan sekaligus mewawancarai perkembangan mengenai penyusunan pereaturan penghapusan kekerasan seksual. Usai wawancara Jazuli mengajak dua reporter IDEAS untuk menemui sekertaris rektor dan bertemu langsung dengan rektor. Namun, pada saat itu rektor sedang tidak ada di tempat. Sehingga Jazuli pun menitipkan berkas-berkasnya yang berupa Laporan Pelaksanaan Tugas, SOP, Surat Edaran, berserta rekomendasi peraturan tersebut kepada Sekertaris Rektor, yaitu Dhimas Darmadhiar Irawan.

Pada Selasa (2/7), Jazuli memberi informasi bahwa Sistem Elektronik tentang pelaporan Korban Kekerasan Seksual sudah ditandatangani oleh Rektor UJ. Rektor UJ meminta agar Jazuli segera mempersiapkan Sistem Elektronik tersebut. Di hari yang sama Jazuli menemui Kepala UPT TI untuk mengkomunikasikan mengenai Sistem elektronik tersebut. []

 

Leave a comment