Saya masih ingat mengapa folder berisi lagu-lagu Sarasvati ada di laptop ini. Malam itu ketika saya sedang ngenet, ternyata tak sengaja saya telah mencopinya ke flashdik. Saya sendiri tak paham, mengapa folder ini tiba-tiba masuk flashdik saya. Bukan sok mistis, mungkin saya sedang kelelahan yang efeknya menjadi pelupa.
Setelah itu saya mencoba mendengarkan. Mungkin ini test tingkat akhir bagi keberadaan sebuah lagu dalam hardisk laptop ini, bagi lagu yang tidak mengusung apapun dalam liriknya, ya langsung aja ctrl-alt-del.
Lagu pertama yang saya putar judulnya Bilur. Saya langsung terpaku mendengarnya. Perasaan saya seolah berbicara kepada otak, lagu ini punya latar belakang sejarah yang pahit. Padahal saya tidak tau arti bahasa sunda (mungkin sunda) yang jadi backsoundnya. Selain itu lagu ini terasa khas musik tradisional (seruling dan sinden) dengan campuran irama piano. Maka apa ruginya ikut rambu dari intuisi.
Kemudian saya search di kuburan mbah Google. Wah, banyak sekali ternyata yang sudah bercerita tentang lagu ini. Satu-satu saya baca. Perlahan saya semakin ngeri membacanya. Fase setelahnya saya mulai merasa sedih. Fase selanjutnya saya hanya ingin bercerita tentang lagu indah ini. Ya, hanya bercerita.
Saya baru tau kalau Sarasvati itu bernama asli Risa Saraswati. Memang saya sering memutar lagu Homogenic, yang paling sering lagu berjudul ‘Yang Terpisah’, saya suka liriknya. Tapi sayang sekali saya tak pernah mencari tau siapa saja nama personilnya. Rasanya seperti membaca buku tanpa peduli siapa penulisnya.
Ternyata Risa sendiri pernah tergabung dalam Homogenic. Bagi para pecinta musik pasti hal ini aneh. Seperti saya mengenal Cobain dulu baru grunge. Lebih tepatnya mengenal Grunge lewat Cobain dan Nirvanaya.
Irama lagu Bilur memang aneh sekali. Sepertinya ada kepedihan yang ingin dikomunkasikan. Kalau lagu ini adalah bangunan kepedihan, maka susunan bata yang merangkainya terbuat dari hasil fermentasi realitas yang perih. Lalu saya terkaget ketika mencari tau arti kata Bilur dalam KBBI. Artinya, luka panjang pada kulit (bekas kena cambuk). Mungkin semacam kulit yang membiru dan lebam setelah terpukul oleh benda yang tumpul. Bukankah itu luka yang tersembunyi dalam selimut yang bernama kulit. Luka yang tidak kasat mata mungkin. Akan tetapi dari semua itu, tetap saja sakit tak akan mampu disembunyikan.
Jujur saja ketika menulis cerita ini, banyak hal aneh yang saya temui. Misalnya laptop yang tiba-tiba terjatuh dan saya mengetahuinya selepas mengheningkan cipta dalam kamar mandi. Selain itu mungkin imajinasi saya berlebihan, ketika menulis ini, seperti ada seorang wanita berambut panjang diam-diam membaca setiap kata yang sedang saya tuliskan. Akan tetapi hal ini terjadi pada Risa juga. Pada 22 juli ‘10, ketika Sarasvati tengah merilis album barunya di Bumi Sangkuriang Bandung. Ketika dia menyanyikan lagu Bilur, mendadak listrik mati. Lampu, kamera, dan benda penting lainnya tidak berdaya. Akhirnya tidak ada yang berhasil mengabadikan moment itu.
Kembali kepada muatan lirik Bilur. Sebentar saya copi dulu liriknya.
Selendang bersulam sutra, biduri lembayung jingga
Saksi mati tuk bersaksi, gelimang pesona diri
Belia usia dulu, ruap cinta tlah menggebu
Samar kulihat dunia, tak sadar semua fana
Semerbak dupa iringi kumelangkah
Cungkupku hanya tanah
Bilur hati merambah
Dan akan datangkah bagiku kesempatan
Bila tak ada titian diri yang rupawan
Sekilas lihatlah mega, anugerah tiada tara
Ini tak adil untukku, halimun hitam merasuk
Ceracau getir ibunda, gemertak sengap hatinya
Firasat tak pernah salah, hanya kuberbuat ulah
Ada kalimat yang dinyanyikan oleh ida dalam bahasa Sunda yang saya curi dari blog orang, “Duh, teungteuingeun.. tuntung lengkah.. geuning.. bet peurih.” Saya sama sekali tidak tau apa arti bahasa Sunda itu.
Kemudian saya bertemu dengan blog teman dekat si Risa itu. Dia bercerita banyak tentang proses pembuatan lagu ini. Di antaranya ketika Risa berupaya minta tolong kepada seorang sinden bernama Ida, tentu saja untuk mengisi backsound suara dari lirik berbahasa sunda. Ternyata ketika membuat lirik itu, Ida merasa sangat kesulitan. Sampai akhirnya bantuan datang dari Mae. Mae membantu menyelesaikan lirik berbahasa sunda itu. Ida sendiri adalah teman seprofesi dengan Mae. Lantas siapakah Mae?
Aku liris dalam teks lagu ini adalah Mae. Dalam kalimat ini, “Saksi mati tuk bersaksi, gelimang pesona diri,” terlihat kalau konon Mae adalah seorang wanita berparas paling cantik daripada wanita di sekitarnya. Atau dia punya kecantikan yang meruah, melimpah, kaya. Sedangkan diceritakan pada kalimat pertama, Mae merupakan biduan atau penyanyi yang selalu memakai selendang dan bakat suaranya selalu memukau para penonton.
Mae memang seorang wanita yang selalu menurut pada titah orang tua. Akan tetapi tiba saatnya ketika dia dijodohkan oleh orang tuanya. Mae mencoba mengingkari titah dan lebih tertarik pada lelaki yang dia pilih sendiri. Keinginan untuk mengingkari semakin berkobar atas bantuan umur belia yang membuatnya labil. Setelah hasrat untuk mengingkari ternyata berujung pada musibah yang mendesak hidupnya. Mae baru tersadar jika nafsu individu yang selama ini dia tunggangi hanyalah untuk menggapai suatu keinginan yang pasti habis dimakan waktu. Dalam artian keinginan untuk memiliki sesuatu yang ternyata hanya akan bisa dimiliki sesaat, setelah itu habis tak tersisa.
Entah bagaimana caranya, kemudian Mae berserah diri pada ajal. Proses dirinya menuju kematian menjadi misteri. Mungkin karena ada yang terus-menerus menyembunyikannya di tempat yang paling bisu. Akan tetapi perlahan kisah itu terungkap setengah-setengah. Mae ternyata mati terkubur bersama janin dalam kandungannya.
Saya mendadak merinding, ketika baru tau apa arti kata “cungkup,” ternyata artinya adalah atap sebuah makam. Ketika telah terpisah dari waktu, Mae bercerita, “Semerbak dupa iringi kumelangkah. Cungkupku hanya tanah”. Bukankah semua makam beratap tanah. Apakah Mae kecewa akan hal itu. Kalau dia merasa kecewa, bisa dikatakan ada penurunan struktur lapisan sosial yang dia terima. Entahlah cungkup yang indah bagi Mae harusnya seperti apa. Sedangkan iringan dupa ketika dia disemayamkan, merupakan penunjuk waktu atau suasana masyarakat yang masih kental pada ritual tradisional.
Tak ada lagi kesempatan untuk kembali. Di luar waktu, Mae terus-menerus menggandakan penyesalannya. Apa daya perih semakin semburat, berlarian menyusuri perasaan. Apa jadinya jika luka menyebar pada sekujur tubuh. Apalagi pada tubuh rasa. Duh, Mae![]