Berusaha Wujudkan Kampus Responsif Gender, PSG Unej Care Terima Pengaduan Kekerasan Berbasis Gender
Pusat Studi Gender Universitas Jember (PSG UJ) telah mengadakan diskusi dengan tema “Hak Perempuan : Identitas, Solidaritas, dan Perlawanan” pada Sabtu (20/3). Dalam diskusi secara daring (dalam jaringan) tersebut, PSG UJ menyampaikan bahwa mereka memiliki layanan pengaduan kekerasan seksual bernama PSG UNEJ CARE. Pelayanan ini sudah ada sejak Mei 2020.
Agustina Dewi Setyari, selaku koordinator divisi advokasi mengatakan bahwa PSG UJ memiliki empat divisi. Yakni divisi advokasi, publikasi, kajian, dan kerja sama. PSG UNEJ CARE merupakan bagian dari divisi advokasi. “PSG UNEJ CARE itu menjadi bagian dari divisi advokasi,” ujarnya pada Minggu (21/3).
Mengenai program di PSG UNEJ CARE, Dewi mengungkapkan bahwa mereka tidak hanya melakukan pendampingan pada penyintas saja. Namun juga mengupayakan pencegahan kekerasan seksual dalam bentuk sosialisasi dan kampanye. “Kalau kita bicara advokasi kan banyak komponennya di situ. Tidak hanya kita melakukan pendampingan saja. Namun juga kampanye, sosialiasi, dan upaya-upaya pencegahan. Jadi, ini salah satu program dari PSG, khususnya di divisi advokasi,” ungkapnya.
Dewi menjelaskan jarangnya pelayanan pengaduan terkait Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di perguruan tinggi menjadi alasan dibentuknya PSG UNEJ CARE. “Selama ini kebutuhan pelayanan pengaduan terkait KBG ini kan sangat jarang. Salah satunya di perguruan tinggi,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa sebelum ada kekerasan seksual di Fakultas Ilmu Budaya (FIB), ada beberapa kasus di fakultas-fakultas lain seperti Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan (FMIPA). “Sempat mencuat dan ramai kan dari FIB, sempat loh ya. Sebelumnya tidak ada? Ada. Misalnya di FKG, saya sempat dengar tuh FKG yang mahasiswanya sempat setres, terlepas itu beneran atau enggak. Kemudian ada kasus di FMIPA, ada banyak sebelum merebaknya (kasus kekerasan seksual) FIB,” tambahnya.
Terpendamnya kasus kekerasan seksual tersebut menurut Dewi karena adanya pengaruh budaya meliputi stereotype, marginalisasi, peran ganda, dan sebagainya. Hal itu yang membuat para penyintas tidak berani berbicara dan juga menguatkan alasan terbentuknya PSG UNEJ CARE. “Hanya saja bahwa KBG khususnya kekerasan seksual ini kan karena kaitannya dengan pengaruh budaya membuat penyintas ini tidak berani, mereka enggan untuk speak up. Yang kemudian membuat PSG berinisiasi untuk mendirikan layanan PSG UNEJ CARE ini,” terangnya.
Untuk pengaduan yang PSG UNEJ CARE terima, Dewi mengungkapkan jika di tahun ini belum ada pengaduan. Sedangkan pada tahun 2020 ada sekitar delapan pengaduan yang masuk. “Di tahun 2021 belum ada, kalau tahun 2020 ada. Seingat saya delapan,” tuturnya.
Mengenai tindak lanjut dari pengaduan yang PSG UNEJ CARE terima, Dewi mengatakan jika masih dalam tataran saran dan penguatan berupa dukungan. Para penyintas masih belum berkenan untuk menyelesaikan perkaranya. “Sampai sekarang pengaduan yang mereka lakukan masih dalam tataran mereka butuh advice, mereka sekadar curhat, kemudian kami beri penguatan dan support. Ketika didorong untuk masuk ke litigasi, semuanya belum berkenan, sehingga istilahnya masih non litigasi,” ujarnya. Litigasi berarti penyelesaian perkara melalui jalur hukum, sedangkan non litigasi merupakan penyelesaian berdasarkan itikad baik dan di luar jalur hukum.
Dewi mengungkapkan bahwa para penyintas belum memanfaatkan lembaga yang bekerja sama dengan PSG UNEJ CARE, seperti Himpunan Psikolog Jember (HIMPSI Jember), Unit Medical Center UJ (UMC UJ), dan Badan Pelayanan Bantuan Hukum UJ (BPBH UJ). “Mereka juga belum memanfaatkan layanan konseling, misalnya konseling psikologis. PSG UJ kan punya kerja sama dengan HIMPSI Jember, UMC UJ, dan BPBH UNEJ. Tetapi kebetulan para penyintas yang melapor masih belum berkenan untuk masuk ke ranah itu,” ungkapnya.
Dewi juga menjelaskan jika PSG UNEJ CARE akan membantu para penyintas dengan memberikan pilihan. Sedangkan yang mengambil keputusan tetaplah para penyintas sendiri. “Kita di advokasi tidak bisa memaksakan mind set kita ke penyintas, kan tidak boleh. Advokasi tetap menggiring, posisi kita hanya memberikan pilihan pada penyintas. Mereka harus bisa mengambil keputusan sendiri karena itu kehidupan mereka,” jelasnya.
Dari semua pengaduan yang ada, Dewi juga menuturkan jika belum ada yang sampai ke ranah hukum karena para penyintas belum berkenan dan berani. “Mereka masih belum berkenan. Sebagian besar memang tidak berani untuk mengambil jalur hukum. Ketika kami dorong misalnya ada kasus perkosaan, atau kasus KDRT yang kebetulan agak banyak, kami dorong mereka untuk masuk ke ranah hukum. Jika tidak ke ranah hukum kami tawarkan untuk dilaporkan pada institusi yang bersangkutan misalnya. Itu mereka masih belum berkenan,” tuturnya.
Jika dihadapkan dengan kasus yang berat tetapi para penyintas tidak mau membawa kasusnya ke jalur hukum, PSG UNEJ CARE akan membantu semestinya seperti pelayanan psikologis. PSG UNEJ CARE juga tidak memaksakan kehendak mereka. Hal itu karena semua bukti hanya dimiliki oleh para penyintas dan keputusan kembali pada mereka. “Kalau memang butuh konseling psikologis, ya akan kami lakukan. Kebetulan UMC kan ada layanan psikologi. Misalnya kasusnya berat tapi penyintas tidak mau didorong ke ranah hukum, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Karena tetap kembali lagi kepada korban,” ujar Dewi.
Kembali melihat pengaduan yang diterima PSG UNEJ CARE, Dewi mengatakan semua penyintas adalah perempuan dan satu penyintas yang bukan berasal dari UJ. “Sampai saat ini dari tujuh atau delapan kasus yang masuk dilaporkan itu semuanya masih perempuan, belum ada yang laki-laki. Itu pun tidak hanya dari lingkungan UJ, ada yang dari luar UJ meskipun hanya satu. Ada yang penyintasnya bukan orang UJ tetapi yang melaporkan itu bagian dari UJ,” ujarnya kembali.
Dewi menambahkan, pelayanan yang diberikan oleh PSG UNEJ CARE tidak memungut biaya untuk para penyintas, terutama mereka yang masih bagian dari UJ. Hanya saja PSG UNEJ CARE berencana untuk melakukan negosiasi dengan rektor untuk penyintas dari luar UJ. “Kami tidak menarik biaya sama sekali, terutama kalau dari kampus seperti mahasiswa, dosen, dan tendik yang jadi penyintas. Tapi jika penyintas dari luar kampus belum dibicarakan secara detail dan masih akan kami negokan dengan rektor,” tambahnya.
Untuk menghubungi PSG UNEJ CARE dapat langsung menghubungi nomor yang tertera pada pamflet instagram PSG UJ. “Di flyer (pamflet) kebetulan nomor aktif yang digunakan adalah nomor saya dan Bu Ni’mal Baroya. Dua nomor itu menjadi nomor untuk layanan pengaduan,” terang Dewi.
Mengenai harapannya, Dewi berharap agar UJ dapat menjadi kampus yang responsif gender yaitu kampus yang mengatur kebijakan dengan memperhatikan kesetaraan gender. Kemudian para penyintas berani speak up sehingga UJ dapat membuat regulasi penangan kekerasan seksual. “Harapan kami ya UJ bisa menjadi kampus yang responsif gender dan semakin banyak yang berani speak up agar bisa mendesakkan regulasi penanganan kekerasan seksual yang ada di kampus,” tuturnya. []