Bel-Maind merupakan naskah garapan Ahmad Siddiq Putra Yuda yang dipentaskan dalam pertunjukan Teater Akbar Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia (Imasind), pada Rabu (20/09) di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Naskah ini terinspirasi dari pengalaman traumatis masa kanak-kanak sutradaranya.
Bel Maind merupakan teater yang mengusung tema mengenai kebosanan. Yuda mengaku bahwa di tengah kebingungannya mencari naskah atau konsep yang akan dibawakan dalam pertunjukan Teater Akbar, justru membuat Yuda mengingat kembali narasinya dari kecil hingga dewasa. “Ada traumatis ketika masa kanak-kanakku. Akhirnya kenapa nggak aku pakai yang lebih kuat dalam diriku aja, daripada harus keluar ke isu sosial, ke kritis, sok sastra, sok inilah. Lebih ke yang ada aja, data personal diriku aja,” terang Yuda.
Sebagai sutradara, Yuda menjelaskan bahwa judul Bel Maind terinspirasi dari kata bermain. “Apa itu bermain? Setelah kita coba otak-atik sedikit akhirnya jadi bahasa lain, kalau r-nya dijadiin bel main, tetapi itu juga tidak cukup keren. Bahasa Inggrisan lah, pakai d belakangnya,” ungkap Yuda dalam sesi apresiasi Teater Bel Maind.
Ada beberapa pembagian peran dalam pementasan Bel Maind. Yuda memberi porsi adegan tentang penggambaran traumatis masa kanak-kanak kepada Dawud, lalu Alan merepresentasikan tentang kebosanan, Kuspita merepresentasikan tentang seseorang yang selalu mengomeli Yuda saat ia masih kecil, dan dalam beberapa adegan Nain merepresentasikan beban yang ditanggung Yuda. “Aku jarang dapet stress yang berat. Tapi sebenernya tertekan sih, tapi cuma sesekali aja, makanya Nain munculnya sesekali,” kata Yuda.
Ada empat aktor yang turut berperan dalam pementasan teater Bel Maind, yaitu Dawud, Alan, Kuspita dan Nain. Dalam pemilihan aktor, Yuda memiliki kriteria tersendiri. “Paling nggak punya stamina bagus, kuat, cukup cerdas tubuhnya. Tapi pikirannya agak bodoh dan nggak peduli dengan apapun,” ujar Yuda.
Saat penonton masuk Gedung PKM, ada dua aktor yang sudah bermain teater di tengah ruangan, yaitu Dawud dan Alan. Dawud menaiki sepeda roda tiga sembari melantunkan na na na dengan nada lagu Bunda Piara. Berbeda dengan Alan, ia menampilkan teater tubuh yakni menggunakan bahasa nonverbal atau bahasa tubuh.
Dawud juga menyatakan bahwa adegan ketika dirinya menaiki sepeda roda tiga merepresentasikan rasa tertekan Yuda saat masih kecil. “Jadi, mengapa saya naik sepeda kecil itu semacam keterpaksaan, mungkin teman-teman di sini bisa mendengar nanana saya tadi tidak nyaman,” ungkap Dawud dalam sesi apresiasi.
Ada pula adegan ketika Alan membaca tulisan-tulisan yang tertera di kaleng. Alan mengaku bahwa adegan tersebut awalnya merupakan permintaan dari Yuda agar Alan berinteraksi dengan kaleng-kaleng yang menurut Yuda merupakan sebuah data. “Memang betul iklan itu bahasanya berlebihan, mungkin di situ, menurut saya sendiri sih menarik dalam pertunjukan, bahasanya memang bahasa hoax,” kata Alan. Dalam pementasan Teater yang berdurasi 1 jam 30 menit ini salah satu properti yang paling sering muncul adalah kaleng-kaleng yang sudah tak terpakai. “Kaleng punya narasi hoax yg cukup besar dan cukup estetik, kondisi suaranya dapet. Hoax kan terlalu banyak ketika iklan berpindah-pindah dan cepet gitu,” ujar Yuda.
Menurut Yuda, Teater Akbar tidak harus selalu dilaksanakan, karena tidak semua orang berminat untuk bermain teater. Sehingga, berakibat pada keterpaksaan beberapa pihak, misalnya harus menjadi sutradara atau aktor. “Tapi kalau ada keinginan, mungkin membikin teater nggak hanya buat hiburan, tapi juga bisa memproduksi pengetahuan, baik secara personal maupun komunal, nggak hanya bersifat hiburan saja, ada sisi pengetahuan juga,” ungkap Yuda.
Penulis : Yuniar Putri Pratiwi