Menggurat Visi Kerakyatan

Agenda Pembangunan Pasca-2015: Akankah Suara Orang Lapar Didengar?

610

ROMA (IPS) – TUJUAN Pembangunan Milenium (MDGs) akan berakhir pada 2015 dan diganti dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dengan maksud memperkuat keterlibatan masyarakat internasional dalam mengentaskan kemiskinan dan kelaparan.

Selama penyusunan SDGs, pentingnya ketahanan pangan dan gizi jadi isu krusial. “Di dunia yang menyediakan cukup pangan bagi semua orang, tidak ada alasan bagi siapapun menderita kelaparan,” ujar David Taylor, penasihat kebijakan keadilan ekonomi untuk Oxfam Internasional.

Namun, Program Pangan Dunia (WFP) menaksir masih ada 842 juta penduduk yang menderita kekurangan gizi, setara satu dari delapan orang di seluruh dunia.

Sementara target awal MDG “mengurangi separuh persentase penduduk yang menderita kelaparan pada 2015 tampaknya dapat tercapai, kelaparan kronis masih terjadi di banyak wilayah, terutama di sub-Sahara Afrika, yang menandakan ketimpangan masih berlangsung,” ujar Taylor.

Karena alasan ini, dia percaya “tantangan utama dalam masalah pangan dan pertanian masih tetap,” dan, konsekuensinya, “agenda pasca-2015 harus memetakan jalan baru menuju target nol kelaparan (zero hunger).”

Pembahasan seputar SDGs sebagai sebuah kerangka kerja pengganti MDGs dimulai Juni 2012 saat Konferensi Rio+20. Selanjutnya, pada Januari 2013, “Kelompok Kerja Terbuka (OWG) dibentuk untuk merumuskan proposal mengenai SDGs,” ujar Dorian Kalamvrezos Navarro, koordinator SDGs pasca-2015 dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).

Pada 2 Juni, OWG yang terdiri dari negara-negara anggota dari lima benua, melansir Zero Draft tentang SDGs dengan 17 tujuan yang diusulkan untuk dicapai pada 2030. Kelompok ini juga disokong Tim Teknikal Sistem PBB, yang terdiri 40 perangkat PBB.

Banyak target dari Zero Draft OWG yang dapat diterima Oxfam, ujar Taylor, “termasuk target mengakhiri, bukan hanya mengurangi, kelaparan serta penekanan pada dukungan terhadap produsen skala kecil, kaum perempuan, dan kelompok marjinal.”

“Bila kita punya satu kerangka kerja efektif, kita perlu mengidentifikasi indikator yang bisa diterapkan. Ini sangat menantang,” kata Jomo Kwame Sundaram, asisten dirjen Pembangunan Ekonomi dan Sosial yang memimpin FAO untuk pasca-2015.

Sebelumnya muncul kritik seperti dari Olivier de Schutter, Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pangan, yang berpendapat 18 target MDGs diputuskan berdasarkan ketersediaan data yang paling mudah dikumpulkan serta mengabaikan akar penyebab kemiskinan dan kelaparan.

Sundaran menunjukkan, dalam penyusunan SDGs, komunitas internasional perlu mengidentifikasi tujuan yang sesuai dan target yang mudah diukur, berdasarkan data yang tersedia dan penting.

“Sebuah langkah awal ke depan adalah memasukkan tujuan mengurangi ketimpangan dan perubahan iklim –dan tentu saja ketahanan pangan,” catat Taylor.

Ini sangatlah penting, ujarnya, mengingat “dua ketidakadilan utama terus merongrong upaya jutaan orang melepaskan diri dari kemiskinan dan kelaparan: ketimpangan dan perubahan iklim.”

Tetapi “selagi negara-negara anggota membahas draf berikutnya dan memperbaiki jumlah tujuan dan target, tujuan mengenai ketimpangan dan iklim berisiko dipotong,” ujarnya.

Sementara MDGs telah berhasil memobilisasi momentum publik dan politik dalam mendukung efek pembangunan, tujuan dari agenda pasca-2015 justru memperkuatnya, terang Navarro.

Tantangan itu penting karena tingkat Bantuan Pembangunan Luar Negeri (ODA) menurun. Menurut Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), tingkat bantuan turun empat persen secara riil pada 2012, setelah penurunan dua persen pada 2011.*

 

Penulis: Genevieve L. Mathieu
Penerjemah: Fahri Salam
Editor: Budi Setiyono & Kholid Rafsanjani
 
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau, IPS Asia-Pasifik, dan LPMS-Ideas
Leave a comment